Kamis, 09 November 2017

Rasisme, Tunggakan Gaji, dan Sederet Tragedi Lain Dari Potret Buram Pemain Asing di Asia ...

Ia sudah tak sanggup menebus biaya perawatan medis untuk penyakit yang seharusnya mudah ditangani karena gajinya tak kunjung dibayar oleh klubnya saat itu, Persis Solo

Tidak semua pemain asing di Asia Tenggara sepopuler Michael Essien atau Robbie Fowler. Ada pula pemain-pemain yang tidak semestinya kita lupakan, yakni mereka yang tutup usia dalam kondisi memprihatinkan lantaran situasi politik dan manajemen yang carut marut, atau bahkan seringkali juga karena korupsi akut yang terus-menerut menggerogoti sepak bola di seluruh penjuru wilayah ini.

Dalam setengah dekade terakhir saja, kisah-kisah memilukan tentang Solomon Begondo, Sekou Camara, Diego Mendieta, Bruno Zandonardi, dan WIlsom Mene Weyinmi perlahan mulai terlupakan. Mereka adalah lima pemain yang meninggalkan keluarga dan kampung halamannya demi bermain sepak bola di negeri orang, dan alih-alih kembali dengan bergelimang ketenaran serta materi, mereka justru pulang dalam peti mati.

Cerita tentang pemain Paraguay, Mendieta, yang meninggal pada tahun 2012 lalu, misalnya, berhasil menarik atensi dunia.

Ia sudah tak sanggup lagi menebus biaya perawatan medis untuk penyakit yang, seharusnya, mudah untuk ditangani, karena hak gajinya belum ditunaikan oleh klubnya saat itu, Persis Solo. Persatuan Pemain Asia, FIFPro Asia, bahkan menyebut kematian ini sebagai "aib bagi sepak bola"

Celakanya, kisah Mendieta ternyata hanyalah permulaan. Camara, pemain Pelita Bandung Raya berpaspor Mali, juga meninggal dunia akibat serangan jantung. Meskipun insiden ini terjadi dalam sesi latihan, tapi Camara diketahui mendapatkan perlakuan yang sama tak mengenakkannya seperti Mendieta, di mana gajinya selama hampir setahun tak dibayarkan oleh PSAP dan Persiwa Wamena. Situasi yang jelas turut andil memperburuk kondisi kesehatannya.

Tak hanya nama tenar yang patut dikenang. Foto: Weixiang Lim/FFT

Nasib yang sama dengan skenario berbeda juga dialami Begondo yang terpaksa bermain di turnamen antar kampung akibat tunggakan gaji selama berbulan-bulan yang tak kunjung dilunasi oleh Persipro hingga ia mengembuskan napas terakhirnya, selain itu ada juga Bruno Zandonardi, pemain Perskota Tangerang, yang berpulang akibat radang selaput otak.

Begeser ke Kamboja, penyerang berkebangsaan Nigeria, Weyinmi, masih berusia 25 tahun ketika dirinya kolaps dalam pertandingan yang dilakoni klubnya, Prek Pra FC pada tahun 2010 dan meninggal tak lama setelah dilarikan ke rumah sakit.

Banyak juga pemain lain yang pasrah menerima nasib mereka dan terpaksa menjalani kondisi latihan serta bermain yang mengkhawatirkan

Mereka yang jadi saksi mata di stadion menuding keterlambatan penanganan medis ikut berkontribusi terhadap kepergian sang pemain. Sebuah tragedi yang diyakini Ken Gadaffi, Presiden Asosiasi Masyarakat Nigeria saat itu, disebabkan oleh manajemen yang inkompeten.

Gadaffi yang selepas tragedi tersebut berbicara dalam suatu siaran radio Australia mengatakan, "Muncul pertanyaan bagaimana pola makannya, apakah ia mendapat asupan gizi yang mencukupi untuk menghadapi jadwal yang ketat dan padat dengan kondisi yang seintens itu."

Itu semua hanyalah beberapa kasus yang mencuat ke permukaan, namun ada banyak, banyak sekali pemain-pemain yang bungkam dan pasrah menerima nasib mereka dengan kondisi latihan dan bermain yang mengkhawatirkan dan terpaksa mereka jalani hingga memilih pulang ke negara asalnya, dengan tangan hampa, dan hanya membawa martabat dan nyawa mereka.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search