Siang itu, Ebi berdiri menunggu calon pembeli di depan kiosnya yang terletak di Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat. Ia menggunakan kaos, serta celana kanvas panjang dan sandal, layaknya penjual barang antik lainya.
Ebi bercerita, sebelum berdagang barang antik, ia sempat bekerja di salah satu perusahaan bus. Namun tahun 1998, ia keluar dari pekerjaannya.
Ebi membuka kiosnya setiap pukul 08.00 hingga sore hari sekitar pukul 17.00. Ia mengatakan lebih senang dengan pekerjaannya sebagai penjual barang antik. Sebab lewat pekerjaan ini, ia juga dapat menyalurkan hobinya.
"Ini kita menyalurkan hobi dapat duit ya kan. Kita yang ngatur." celetuknya.
Kiosnya nampak padat dengan tumpukan barang antik, mulai dari lampu-lampu khas zaman dulu, piring khas China sampai patung dewa-dewa. Perlu diketahui, sepanjang Jalan Surabaya memang banyak pedagang barang antik. Menariknya, kios Ebi ini memiliki pelanggan dari berbagai macam daerah dan negara.
"(Pelanggan) di daerah Jogja, Muntilan itu banyak. Itu ada seorang belanja di sini (namanya) Pak Hanar yang punya Hotel Tugu Malang. Patung-patungnya baru kemarein dia belanja dua hari lalu," paparnya.
Ebi pun tidak pernah menjual barang antiknya dengan harga yang tinggi. Bahkan tidak ada satupun barang dagangannya yang ia hargai sampai Rp 10 juta.
"Kalau saya punya enggak sampai Rp 10 juta. Ada yang lampu kayak gini (harganya) Rp 2 juta," ujarnya sembari menunjuk ke sebuah lampu klasik yang biasa digunakan sebagai hiasan rumah orang Betawi.
Lelaki keturunan Medan-Padang ini dulunya sering aktif berkunjung ke berbagai kota di Indonesia untuk mencari barang-barang antik. Namun semenjak karyawannya berhenti, tidak ada lagi orang yang menjaga kiosnya, sehingga setiap harinya ia harus menjaga tokonya sendirian.
"Dulu ada satu (karyawan). Sekarang saya sendiri," tuturnya.
Ebi juga mengeluhkan kondisi pasar yang sepi sejak beberapa tahun belakangan. Memang terkadang ada masanya ramai, tapi itu pun karena ada acara yang diadakan oleh pemerintah setempat.
"Sekarang pasar lagi sepi juga. Udah beberapa tahunlah. Biasanya awal tahun yang ramai, biasanya. Tapi enggak tentu juga sih, tergantung ada acara apa (dari) pemerintah," keluhnya.
Seiring berkembangnya zaman, sebagian besar orang yang memiliki kios kini juga memanfaatkan internet untuk menjajakan barang dagangannya secara online. Namun, Ebi enggan untuk membuka online shop.
"Enggak (ada online shop). Tapi banyak orang-orang (beralih ke) online. Saya ribet online online. Itu nanti enggak sesuai dengan barang." katanya.
Selama berjualan barang antik, Ebi mengaku pernah menyesal karena menjual barang kesayangannya, yang tentu saja memiliki memori tersendiri. Barang tersebut berupa kain bekas neneknya.
"Kain itu dulu saya bawa dari rumah Medan. Rupanya waktu itu enggak mahal sih saya jualnya. Sekarang ini kalau saya teringat buat apa saya jual itu. Ada memorinya di kain itu, memorinya sama nenek saya, dipakai nenek saya. (Dijual ke) orang Amerika." ujarnya.
Menurut pengamatannya, ada perubahan kebiasaan yang ditunjukkan oleh masyarakat dalam memandang sebuah karya seni. Hal ini memang selain adanya konstruksi sosial yang mempengaruhi, faktor ekonomi juga sangat berpengaruh.
"Kalau dulu orang berdasarkan hobi, enggak dinilainya uang didapatnya. Kalau sekarang material orang. Zaman dulu itu kan detail ukirannya. Tengok ukirannya itu detail dengan hati dia kerja. Kalau zaman sekarang, kalau bisa pakai mesin karena udah dinilainya dengan uang. Satu hari misalnya dia kerja udah dijualnya satu hari Rp 150 ribu. Jadi dia dikejar sama materi. Kalau zaman dulu, orang-orang itu apalagi orang kampung, kesenangan pribadinya, kepuasan yang dicarinya," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar