PROKAL.CO, Asam pauh dalima pauh, rama-rama batali banang. Ndiiiiiiih yaaaaaing. Ikam jauh aku jauh, sama-sama pada mangganang. Yaaaaaaaiiiing...
----------------
Taufik Rahman, atau yang akrab disapa Dalang Upik dengan suara lantangnya melantunkan tembang rindu. Bahkan, dengan tangan lincahnya ia memainkan Wayang pada gelaran Wayang Kulit Banjar di halaman Perpustakaan Daerah Provinsi Kalsel, Minggu (10/12) dini hari.
Diiringi tabuhan gamelan khas Banjar, cerita yang diusung Upik bersama anggota Sanggar Anak Pandawa, asal Desa Panggung, Barikin, Hulu Sungai Tengah (HST) mengangkat kisah Cinta di Ujung Malapetaka.
Cinta, tak memandang umur. Itulah yang terjadi pada Semar, salah satu tokoh fenomenal di kisah pewayangan. Kisah pergelaran malam itu, Semar yang sudah cukup tua jatuh hati kepada seorang gadis cantik jelita yaitu Dwi Dursilawati, keluarga Durna. Namun, kisah cinta Semar ternyata tak berjalan mulus. Untuk dapat mempersunting Dwi Dursilawati harus memenuhi beberapa syarat. Salah satunya menyediakan pakaian Gatot Kaca.
Singkat cerita, Gatot Kaca yang merasa pernah berhutang budi dengan Semar, lantas memberikan pakaian yang dikenakannya kepada Semar yang kemudian nantinya diserahkan kepada Durna. Awan hitam menyelimuti dunia pewayangan kala Gatot Kaca melepas pakaiannya. Hujan turun deras, kilat menyambar tak henti-hentinya karena ketika Gatot Kaca melepaskan pakaiannya itu berarti juga harus ditebus dengan nyawanya sendiri.
Itulah secuil kisah yang diangkat oleh Dalang Upik malam itu. Pergelaran selama semalam suntuk itu tak hanya menyajikan kisah romantika pewayangan. Tetapi, juga diisi dengan canda dan tingkah lucu melalui wayang-wayang lain yang dimainkan. "Saya suka alur ceritanya. Bahkan, saya tak bisa berhenti untuk tertawa ketika dalang menampilkan tingkah Semar yang sangat ingin menikah," papar Akbar, salah seorang penonton.
Dalam pertunjukan Wayang Kulit Banjar, bahasa yang digunakan adalah bahasa Banjar. Hal tersebut menyiratkan bahwa betapa erat hubungan bahasa Banjar dengan kesenian tradisionalnya. Sebelumnya, Dalang Upik menuturkan bahwa pementasan Wayang Kulit Banjar pernah mengalami masa kejayaan pada tahun 1970 hingga 1990-an. Masa itu juga merupakan kejayaan bagi ahli pembuat Wayang Kulit, mengingat banyaknya pesanan pembuatan wayang dari para Dalang. Baik di dalam maupun luar daerah Kalsel. "Dulu, cuma satu hari saja dalam seminggu yang tidak ada pementasan Wayang. Berbeda dengan sekarang, dalam seminggu hanya satu atau dua kali saja ada pementasan," jelasnya.
Setelah tahun 1990-an, permintaan pementasan wayang mulai turun secara drastic. Pembuatan Wayang pun juga terhenti. Sepinya permintaan pementasan karena generasi sekarang lebih tertarik serta menyukai hiburan yang berbau modern. "Mencari generasi penerusnya yang cukup sulit," tuturnya.
Upik kerap mengajak anak muda agar mempelajari kesenian tersebut. Di Sanggar Anak Pandawa miliknya, Upik tak hanya mengajarkan Wayang Kulit Banjar saja. Melainkan seluruh kesenian tradisional yang ada di Kalsel.
"Saya tak ingin memaksakan mereka yang ingin belajar. Saya bebaskan saja mereka ingin belajar apa. Entah itu dari soal alat serta musik tradisionalnya, hingga kesenian lainnya. Yang penting ada kemauan," ungkap dalang sekaligus perajin alat musik tradisional ini.
Seniman muda sekaligus pendiri kelompok penggerak seni asal Banua, Novyandi Saputra berharap Wayang Kulit Banjar jangan dipandang sekadar media hiburan. Wayang Kulit Banjar, menurutnya juga punya dimensional yang adiluhung sebagai tontonan, tuntunan, serta tatanan. "Wayang Kulit Banjar juga berfungsi menjadi tuntunan agar tercipta tatanan yang baik untuk para penontonnya," jelas Novy. Dia menyayangkan apabila para pengambil kebijakan 'lalai' terhadap keberadaan Wayang Kulit Banjar maka lambat laun seperti hidup segan, mati tak mau. Tentunya harus segera dipikirkan bersama.(war/at/dye)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar