Belakangan ini, publik Indonesia kembali disajikan dengan kabar buruk sekaligus menyedihkan terkait pahlawan devisa yakni Sdri. Adelina Sau (21 tahun), seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meninggal tanpa alasan pasti di negeri jiran, Malaysia. Adelina meninggal di rumah sakit Bukit Mertajam, Malaysia tanggal 11 Februari 2017 setelah bekerja selama tiga tahun sebagai pembantu rumah tangga.
Nasib naas yang menimpa Adelina menambah daftar baru kasus PMI asal NTT yang meninggal menjadi 9 orang pada awal tahun 2018 ini saja. Anehnya, kasus ini datang dari daerah yang boleh dibilang paling sering mendapatkan perlakuan menyedihkan khusunya dari para pemberi kerja Malaysia. Berdasarkan catatan Kementerian Luar Negeri, di tahun 2016 terdapat 46 kasus kematian PMI asal NTT dan 62 kasus meninggal lainnya tercatat di tahun 2017. Kasus-kasus PMI meninggal ini tidak bisa dipungkiri 97 persen adalah PMI ilegal bahkan menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking). Data ini kembali menujukkan pembenaran status NTT sebagai salah satu kantong human trafficking terbesar disamping DKI Jakarta, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Jika ditelusuri, kisah yang dialami almarhumah Adelina dan para penyumbang devisa lainnya yang kembali ke tanah air tak bernyawa, mengundang banyak pertanyaan terkait persoalan ekonomi, sosial dan keamanan khususnya di NTT. Sayangnya, selama ini Pemerintah selalu dijadikan kambing hitam atas kasus beruntun yang menimpa PMI di luar negeri. Lebih dari itu, kehadiran negara di luar negeri untuk melindungi warganya selalu dipertanyakan walaupun sesungguhnya persoalan ini berada dalam negeri. Terkait kasus ini, penulis melihat terdapat beberapa masalah mendasar yang terjadi di NTT dalam kaitan daerah ini sebagai salah satu penyumbang PMI ilegal, yaitu:
a. Penegakan Hukum
Hukum di sini harus dilihat secara luas mulai dari prosedur perekrutan dan penempatan sampai pada penyelesaian kasus PMI. Undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia secara tegas menekankan bahwa penempatan PMI hanya dilakukan di negara yang memiliki sistem perundang-undangan yang melindungan pekerja asing dan negara tersebut memiliki kesepakatan dengan Indonesia terkait pelindungan PMI. Fakta yang terjadi di lapangan, proses penempatan PMI termasuk di NTT masih di lakukan ke negara-negara yang belum memenuhi kriteria di atas seperti pengiriman pembantu rumah tangga ke Malaysia.
Di samping itu, Pemerintah selalu mendorong agar penempatan PMI ke luar negeri dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam hal ini melalui dua jalur, yaitu instansi terkait seperti Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI dan jalur swasta atau Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang ditunjuk Pemerintah. Pemerintah juga bahkan telah membentuk Pos Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) termasuk di NTT. Fakta di lapangan, masih jamak ditemukan proses penempatan PMI di luar jalur resmi di atas termasuk di NTT. Masih maraknya proses pencaloan melalui agen lepas (perseorangan) adalah salah satu fakta yang umum terjadi di NTT. Sayangnya hal ini tidak bisa dibasmi karena susahnya membongkar sindikat yang dinilai sangat lihai menjalankan bisnis ini ditunjang dengan lemahnya komitmen aparat negara dalam membongkar kasus-kasus PMI ilegal bahkan sindikat perdagangan Manusia.
Khusus untuk kasus pengiriman PMI secara ilegal dan perdagangan manusia, secara instrumen hukum boleh dibilang sudah sangat memadai. Sebut saja Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Perpres Nomor 69 tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang diperkuat dengan Peraturan Gubernur NTT tentang Gugus Tugas Perdagangan orang yang dikukuhkan melalui Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang. Gugus tugas ini bahkan melibatkan Satuan Tugas lintas Kabupaten di NTT. Namun demikian, kenyataan di lapangan masih marak terjadi proses perekrutan dan penampatan PMI secara ilegal, suatu hal yang sangat miris.
Penulis melihat hal ini adalah masalah mendasar yang perlu mendapatkan perbaikan dan peningkatan kedepan agar pengiriman PMI benar-benar edilakukan ke negara yang tepat dan sesuai prosedur yang ada. PMI ilegal sudah pasti rentan dengan berbagai masalah di luar negeri mulai dengan eksploitasi oleh agen lokal dan majikan, gaji rendah, tidak memiliki jaminan sosial, minimnya jam istrahat dan perlakuan buruk lainnya sehingga PMI mengalami stres atau tekanan jiwa yang menyebabkan mereka sakit atau berujung pada tindakan kriminal.
b. Lemahnya Pendidikan
Pendidikan adalah faktor penting yang membentuk karakter bangsa. Pendidikan yang baik tentunya menghasilkan karakter yang baik pula. Penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor WNI bekerja di luar negeri adalah karena lemahnya pendidikan. Data Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Kementerian Luar Negeri menunjukkan bahwa masih banyak PMI khususnya di Timur Tengah dan Malaysia merupakan tamatan SD dan SMP. Dipastikan kelompok ini adalah PMI ilegal.
Tidak sedikit PMI ilegal datang dari NTT karena pendidikannya yang rendah sehingga tugas Pemerintah adalah mendorong pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia termasuk membangun lembaga pendidikan di daerah-daerah terbelakang utamanya Sekolah Dasar dan Menengah termasuk di NTT untuk memastikan seluruh anak bangsa menikmati pendidikan secara luas. Hal ini akan terjadi apabila terdapat sinergi yang baik antara Pemda NTT dengan Pemerintah pusat yang selama ini penulis amati masih minim.
c. Terbatasnya Lapangan Kerja
Mencari penghidupan yang lebih baik adalah motivasi utama para PMI berbondong-bondong ke luar negeri. Hal ini terjadi karena tidak adanya jaminan kehidupan yang baik di daerah mereka. Salah satu jaminan itu adalah tersedianya lapangan kerja. NTT boleh dibilang adalah salah satu provinsi miskin di Indonesia. Provinsi ini bahkan selalu berada pada urutan buncit dalam daftar provinsi miskin senteru Indonesia. Salah satu faktornya adalah banyaknya rakyat NTT yang menganggur atau tidak memiliki akses atas pekerjaan yang layak.
Lagi-lagi kondisi ini menuntut campur tangan Pemerintah untuk menyiapkan lapangan pekerjaan yang memadai di NTT. Penulis mengamati bahwa dengan program "Indonesia Sentris" yang digaungkan oleh Presiden Jokowi harusnya lebih banyak menjangkau daerah-daerah luar jawa termasuk NTT. Memang hal ini sudah mulai terasa melalui program pembangunan infrastruktur yang sangat terlihat di NTT yang tentunya memberikan peluang dan kesempatan kerja bagi penduduk lokal. Seiring dengan upaya Pemerintah untuk mempermudah masuknya investasi asing ke Indonesia, masyarakat NTT tentunya merindukan agar Pemerintah dapat menjadikan provinsi ini menjadi target investasi berikutnya. Dengan demikian, dapat membuka lapangan kerja lebih luas bagi masyarakat NTT. Disamping itu, sinergi Pemerintah pusat dan daerah harus terus digaungkan untuk membuka lapangan kerja yang lebih memadai di NTT. Salah satu jalannya adalah mendorong pendirian badan-badan usaha misalnya bidang perikanan dimana NTT memiliki sumber daya laut yang memadai. Kondisi yang terjadi di NTT, masyarakat masih cenderung memilih menjadi PNS dari pada membuka usaha sektor swasta.
Besar harapan penulis melihat upaya serius Pemerintah pusat dan daerah dalam hal penegakan hukum, peningkatan pendidikan, dan perluasan lapangan kerja di NTT. Hanya dengan ini, pengiriman PMI ilegal asal provinsi ini dapat diberantas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar