BLORA - Seorang doktor filsafat lulusan Plekhanov Institute Moskow Rusia sekaligus adik dari satrawan Pramoedya Ananta Toer, rela menjadi pemulung sampah di Blora Jawa Tengah. Setiap malam, pria berusia 81 tahun itu mengais bak sampah untuk mendapatkan barang-barang yang masih bisa dijual untuk mendapatkan rupiah.
Pria yang tak lagi muda itu bernama Soesilo Toer. Raut wajahnya dipenuhi kumis dan jenggot yang telah memutih. Begitu pula dengan sebagain besar rambutnya juga telah beruban. Meski begitu, suaranya masih terdengar nyaring dengan nada suara tegas ketika berbincang dengan Okezone selama 40 menit.
Dia tak langsung menjawab saat diminta komentar tentang kesehariannya yang dianggap tak lumrah, bagi orang bergelar akademik tertinggi. Dengan bahasa yang lugas, Soesilo memilih lebih dulu menjelaskan latar belakang pendidikannya di negara berpaham komunis.
"Saya dulu lulus doktor filsafat pada 1971. Dulu itu saya berangkat dan dibiayai oleh Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan zaman Soekarno tahun 1962," tutur Soes, panggilan akrabnya, ketika mengawali wawancara, Senin (28/5/2018).
Menurutnya, saat berangkat memenuhi tugas belajar itu terikat perjanjian wajib bekerja kepada pemerintah selama 10 tahun, selepas tamat kuliah. Namun, pergolakan politik kala itu berubah setelah Orde Lama tumbang digantikan Orde Baru.
"Setelah tamat, kewajiban saya adalah bekerja kepada pemerintah selama 10 tahun. Jadi begitu saya selesai, rencana langsung pulang untuk mendaftar. Tapi oleh Keduataan Indonesia di Moskow, saya disuruh wajib lapor dulu enggak boleh langsung pulang. Jadi saya wajib lapor selama dua tahun," terangnya.
Kala itu, Soes termasuk orang yang masuk dalam daftar tahanan politik (tapol) sehingga ketika tiba di Tanah Air langsung dibawa ke penjara. "Saya pulang ke Indonesia pada 1973, langsung dijemput (petugas berwajib) di lapangan terbang, masuk bui enam tahun, dan baru bebas pada 1978. Jadi saya ditahan selama enam tahun," kenangnya.
Dia juga mengingat tentang perjanjian bekerja kepada pemerintah setelah menyelesaikan studinya. Meski masih menyimpan dokumen perjanjian itu, namun semuanya pupus, bahkan ijazah yang diperoleh juga tak mendapat pengakuan.
"Ijazah tidak diakui (pemerintah). Anggap saja selama enam tahun ditahan itu sudah kerja sama pemerintah. Jadi sebenarnya masih ada utang empat tahun, seperti perjanjiannnya. Semua dokumen masih ada lengkap. Habis itu tidak ada teguran apa pun dari pemerintah sampai hari ini, tapi enggak apa-apa saya ikhlas," lugasnya sembari tertawa.
Setelah menjalani masa hukuman, Soes banyak hidup di jalanan. Dia bekerja serabutan di luar kompetensinya sebagai doktor filsafat. Tanpa canggung dia berjualan pakaian dalam secara berkeliling. Meski dengan penghasilan tak menentu, profesi itu tetap dilakoninya.
"Kalau enggak cinta Tanah Air, saya enggak pulang. Karena secara hukum saya ini kan Warga Negara Belanda, kenapa karena Belanda mengakui Indonesia itu pada 1949, sedangkan saya lahir 1937. Jadi waktu itu banyak yang nawari saya ke Belanda, untuk bekerja di perpustakaan Amsterdam. Saya kan juga anggota Amnesty International," bebernya.
Sebelumnya
1 / 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar