Sabtu, 16 Juni 2018

Mereka Merindukan Kehadiran Seorang Gembala (Kisah P. Yanto Naben, SVD Di Amazon, Brasil)

Pater Yanto Naben, SVD
Pater Yanto Naben, SVD (Foto: Dok)

Mereka Merindukan Kehadiran Seorang Gembala (Kisah P. Yanto Naben, SVD Di Amazon, Brasil), Amorpost.com  –  (Kerinduan Umat Sossego yang Selama 20-an Tahun Tidak Dikunjungi Pastor)

Nama stasi itu adalah Sossego. Dalam bahasa Portugis Sossego artinya tenang dan damai. Memang, nama tempat itu sesuai dengan situasi tempat dan kondisinya yang sangat tenang dan damai. Jauh dari keramaian.

Tidak ada hingar bingar dan keributan. Terpencil dan terpisah dari stasi lainnya. Letaknya di pedalaman Amazon, di perbatasan antara negara bagian Rondonia dan Amazonas. Deru motor kendaraan tidak pernah terdengar, kecuali suara motor rabeta alias sampan bermotor dari orang setempat. Yang dominan malah kicauan burung atau suara binatang hutan lainnya.

Secara administratif pemerintahan, Sossego masuk wilayah negara bagian Rondônia, Brasil. Sementara kami tinggal di negara bagian Amazonas. Di lingkup gereja pun Sossego masuk dalam wilayah Keuskupan Agung Porto Velho. Sedangkan kami bekerja di wilayah Keuskupan Humaitá.

Melalui seorang perantara kami diundang untuk mengunjungi stasi terpencil ini. Akhir April 2018 lalu, Padre Norberto Foester berkunjung ke stasi Sossego. Dia ditemani Bacurau, pengemudi voadeira, dan Francisco, perantara yang memperkenalkan kami dengan umat stasi Sossego.

Francisco adalah mantan guru dan aktivis gereja basis. Dia pernah mengajar beberapa tahun di Sossego. Melalui dia, umat di Sossego meminta kunjungan pastor. Maka dia pun meminta kesediaan Pastor Norberto untuk berkunjung dan mengenal stasi itu. Norberto pun menyanggupi.

Kunjungan Norberto itu adalah kunjungan pertama dari kami sebagai misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) setelah kami menangani misi bersama kaum pinggiran di pesisir sungai Madeira. Stasi ini memang tidak persis di pesisir sungai Madeira. Dari sungai Madeira, kami harus melalui satu sungai kecil yang bernama Igarapé Mirari.

Butuh kurang lebih selama dua setengah jam dengan speedboat alias voadeira dengan motor berkapasitas 15 HP (horse power) dari Humaitá menuju Sossego. Setelah kunjungan inilah Padre Norberto mengagendakan kunjungan kedua di pertengahan bulan Mei dan sayalah yang berkunjung ke sana.

Pagi-pagi sekali saya dan Bacurau sudah mengarungi sungai Madeira menuju Sossego. Kami mampir merayakan ekaristi di satu stasi bernama Laranjal. Stasi ini hanya berjarak kurang lebih setengah jam perjalanan dari Humaitá.

Pater Yanto Naben, SVD
Pater Yanto Naben, SVD (Foto: Dok)

Saya merayakan ekaristi bersama umat yang tidak begitu banyak. Saya tidak bisa berlama-lama di stasi ini karena harus melanjutkan perjalanan ke Sossego. Mereka maklum karena memang butuh waktu yang lama untuk bisa sampai di sana.

Bacurau pun melajukan voadeira menuju Sossego. Kami menyusur sungai Madeira. Lalu, kami pun berbelok ke Igarapé Mirari. Sewaktu aktif sebagai nelayan, Bacurau sudah sering melewati sungai kecil ini. Bacurau tidak bisa melajukan voadeira dengan kecepatan yang tinggi karena banyak kelokan dan banyak kayu tumbang sepanjang aliran sungai. Belum lagi tumbuhan eceng gondok yang memenuhi badan sungai dan menghalangi perjalanan kami. Saya menikmati pemandangan indah sepanjang perjalanan dan kicauan burung di tengah deru motor voadeira.

Di tengah perjalanan kami berhenti dan memberi tumpangan kepada Francisco bersama dua anaknya yang juga akan ke stasi yang sama. Kami sudah janjian untuk mengadakan kunjungan ini bersama. Dari rumah mereka menumpang rabeta. Francisco sudah sering ke sana dan tahu betul jalan ke sana. Diego dan Leidiane, kedua anak Franciso, akan membantu dalam liturgi. Bertambahnya penumpang membuat voadeira sedikit melambat.

Sekian lama perjalanan membuat saya merasakan pegal. Berulang kali saya mengubah posisi duduk. Francisco yang bersebelahan dengan saya merasakan kegundahan saya. Dia hanya tersenyum.

"Padre sudah capek duduk?" tanya Francisco. Saya mengangguk saja.

"Sebentar lagi kita sampai," sambungnya. Raut wajah saya berubah ceria.

Bacurau pun membelokkan voadeira keluar dari aliran sungai dan masuk ke tempat seperti rawa-rawa. Kami pun berperahu di antara pohon-pohon besar. Bacurau sampai harus berdiri untuk bisa melihat jalur perahu. Tidak gampang mengendarai voadeira di antara pohon-pohon.

Rumah-rumah penduduk mulai kelihatan. Di dua rumah pertama, kami berhenti. Francisco turun dan memberitahukan bahwa akan ada missa jam dua sore. Kami melanjutkan perjalanan lagi hingga tiba di tempat yang ada kapelanya.

Saya menarik badan lama-lama begitu menginjakkan kaki di tanah. Duduk menekuk kaki sepanjang perjalanan selama dua jam lebih adalah hal yang tidak mudah bagi orang baru seperti saya.

Kami menuju salah satu rumah untuk beristirahat. Si tuan rumah menyambut kami begitu kami menaiki tangga rumah. Domingos Alves, begitu nama si tuan rumah. Dialah tetua di Sossego. Istrinya pun keluar menyambangi kami. Judite Prestes namanya. Keduanya berusia kurang lebih tujuh puluhan tahun. Sudah lebih dari setengah umur mereka habiskan di tempat itu.

Pater Yanto Naben, SVD
Pater Yanto Naben, SVD (Foto: Dok)

Domingos pun menyulut petasan. Dentuman petasan itu untuk memberitakan ke yang lain bahwa pastor sudah tiba. Mereka sudah tahu bahwa akan ada kunjungan pastor dan misa para hari itu.

"Saya datang mencari kedamaian dan ketenangan," kataku berseloroh usai memperkenalkan diri.

"Padre sudah temukan di sini," timpal Domingos sambil tertawa.

"Bagaimana bisa sampai dan tinggal di tempat terpencil seperti ini?" tanyaku.

"Saya dulu penyadap karet. Banyak pohon karet di sini. Ketika tiba di sini, saya langsung menyukai tempat ini dan saya pun memilih menetap di sini. Sekarang, saya dan keluarga saya tinggal di sini. Beberapa anak saya pun sudah sudah bikin rumah di sini," kata Domingos.

Bagi Domingos, Sossego adalah tanah yang memberinya hidup. Dia tidak lagi menyadap karet karena memang tidak punya harga pasaran lagi. Dia hanya bisa bercocok tanam dan mengumpulkan hasil hutan. Hasilnya dia jual ke Humaitá. Apa yang dihasilkan dan didapat dari tempat itu sudah cukup untuk hidup setiap hari.

"Kenapa tidak keluar saja dari tempat ini?" tanyaku lagi.

"Ini tempat saya. Ini rumah saya," jawab Domingos singkat sambil tertawa memamerkan giginya yang sebagian sudah tanggal.

Katanya, dia pernah diajak seorang anaknya yang tinggal di Porto Velho untuk pindah. Bahkan cucu-cucunya sudah menyiapkan sebuah kamar untuk dia di sana. Tapi Domingos memilih kembali ke Sossego. Di Sossego, Domingos menemukan ketenangan dan kedamaian yang tidak ditemukannya di kota.

Di usianya yang sudah senja, dia pernah kehilangan penglihatan. Sempat berputus asa karena bakal tidak bisa melihat lagi di sisa hidupnya. Dia pun bernazar kepada Santa Luzia, pelindung mereka yang sakit mata bahwa kalau sekali kelak dia bisa melihat lagi sekalipun hanya salah satu matanya saja, dia akan membangun satu kapela berpelindungkan Santa Luzia. Tuhan pun mengindahkan permohonan Domingos. Mata kanannya pulih. Dia bisa melihat. Mata kirinya tetap buta. Maka dia pun membangun sebuah kapela.

"Sudah sejak dua tahun lalu saya bangun kapela ini. Saya mau kapela itu diberkati. Kami rindu kunjungan pastor juga. Sudah lama sekali kami tidak dikunjungi," kata Domingos.

Dona Judite pun mengamini. Katanya banyak orang dewasa di Sossego yang belum menerima komuni pertama. Bahkan ada yang belum dibaptis padahal sudah dewasa. Pastor terakhir yang mengunjungi mereka sebelum Padre Norberto yang datang bulan lalu adalah Padre Viana. "Sudah lama sekali sejak Padre Viana mengunjungi kami dan setelah itu tidak pernah ada lagi pastor yang mau ke sini. Kami butuh kehadiran pastor di sini," pintanya.

Cerita kami menghangat hingga waktu makan siang pun sudah lewat. Perut saya mulai mengiris. Lapar. Belum ada tanda-tanda mau makan siang. Saya mulai cemas bakal tidak ada makan siang. Bacurau mengeluarkan bekalnya. Hanya sebungkus biskuit. Kami pun berbagi sambil menunggu hidangan siang. Beruntung tuan rumah menghidangkan makan siang ala kadarnya. Nasi dan kuah ayam kampung terasa nikmat sekali dalam keadaan lapar seperti itu.

Sembari kami menikmati makan siang, umat pun berdatangan. Untuk kedua kalinya Domingos membunyikan petasan. Pertanda sebentar lagi kami akan merayakan ekaristi.

Tidak banyak waktu istirahat setelah makan siang itu. Kami pun bergegas ke kapela. Kapela kecil itu penuh dengan umat yang hadir. Ekaristi pun berlangsung dengan hikmat. Ini perayaan ekaristi yang kedua setelah sekitar dua puluhan tahun tidak dikunjungi pastor. Kunjungan berikutnya baru akan dibuat bulan September. Masih lama memang. Tetapi mereka akan menunggu saat berahmat itu.

Baca juga: Tetap Bertekun dalam Iman Meskipun Merayakan Misa 4 Kali Setahun

Usai ekaristi kami berpamitan. Kami harus segera pulang supaya tidak kemalaman. Berlima kami menumpagi voadeira yang dikendarai Bacurau. Perlahan-lahan kami meninggalkan ketenangan Sossego. Di tengah perjalanan, Francisco dan kedua anaknya berpindah ke rabeta mereka untuk kembali ke rumah mereka. Bacurau dan saya melanjutkan perjalanan ke Humaitá.

Sekitar pukul tujuh malam baru saya tiba di pastoran. Lelah memang sekian jam duduk meringkuk di voadeira. Namun, kebahagiaan saya jauh lebih besar karena bisa ada bersama umat Sossego yang sekian lama merindukan kehadiran seorang gembala.*

Silakan Berikan Komentar Anda

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search