Rabu, 29 Juni 2016

Kisah Para Militan yang Berubah

SOLO, KOMPAS.com - Di jantung Kota Solo, tidak jauh dari pondok pesantren, seorang staf dari sebuah restoran sederhana, bersiap menyajikan makanan.

Manajer, seorang pria bertubuh kurus dengan gesit di dapur yang sempit, menjatuhkan bahan ke dalam panci panas yang mendesis untuk membuat bistik. Dengan seorang istri dan dua anak, ia juga menjalankan bisnis penyewaan mobil dan layanan binatu.

Pemilik usaha kecil itu adalah Mahmudi Haryono, 40 tahun, juga seorang poster boy yang bertugas mentransformasi pembuat bom dan para jihadis untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif.

"Faktanya adalah bahwa saya dilatih di Filipina sebagai pejuang jihadis untuk membela umat Islam dan saya melakukan jihad hanya ketika umat Islam yang tertindas di daerah konflik. Itu adalah bagian dari masa lalu saya," kata Haryono dalam sebuah wawancara.

"Hari ini, prioritas saya dalam hidup mengurus keluarga saya dan bisnis dan memberitakan jalan untuk membantu mereformasi narapidana radikal."

Sebuah yayasan swasta telah bekerja secara intensif dengan Haryono sejak dia dibebaskan dari penjara pada tahun 2009, dan menjadikan dirinya sebagai contoh bagaimana militan bisa direformasi.

Kisah-kisah Haryono dibutuhkan, di saat beberapa ratus orang yang dipenjara karena pelanggaran terorisme telah dibebaskan dalam beberapa tahun terakhir ini.

De-radikalisasi

Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia, dengan bantuan AS dan Australia, telah banyak melakukan kontraterorisme dalam operasi intelijen mereka. Pemenjaraan hampir 800 orang militan dan membunuh lebih dari 100 orang dalam penggerebekan, telah melemahkan kelompok di bawah jaringan Jemaah Islamiyah al-Qaeda yang bertanggung jawab atas tragedi Bali dan puluhan serangan lainnya.

Namun upaya untuk de-radikalisasi militan di penjara kurang berhasil, sebagian karena kelompok Negara Islam (IS) menginspirasi mereka untuk terus menganut ekstremisme. Dua pelaku IS - yang terinspirasi bom bunuh diri 14 Januari di jakarta, telah dibebaskan dari penjara sesaat sebelum serangan itu.

"Kami harus mengakui program de-radikalisasi oleh kelompok non-negara, dan pemerintah, tidak cukup," kata Taufik Andrie, direktur eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian, sebuah lembaga yang membantu militan yang dibebaskan dan mendirikan restoran di mana Haryono bekerja.

Andrie memperkirakan bahwa 40 persen dari lebih 400 militan yang dibebaskan pada Desember tahun lalu, kembali ke jaringan radikal mereka.

Dia mengatakan beberapa dari orang-orang mungkin ingin hidup normal, namun ada beberapa orang ingin mempekerjakan mereka, atau bahkan menginginkan mereka tinggal di lingkungan mereka, kembali lingkaran radikal dan mereka akan disambut sebagai pahlawan.

"Ketika mereka dilepaskan, mereka sendiri. Bagi mereka, masyarakat adalah penjara kedua karena stigmatisasi," kata Andrie.

Damai

Di Ngruki Solo, mantan militan Joko Purwanto, yang menggunakan nama alias Handzollah, katanya telah perlahan-lahan memperoleh penerimaan dari masyarakat, yang sebelumnya menjauhi dia ketika dia dibebaskan dari penjara dua tahun lalu.

Handzollah, mantan mahasiswa di Al Mukmin, berjuang bersama Haryono dan ditangkap dalam serangan tahun 2010 di kamp pelatihan Bashir. Setelah dibebaskan, kata dia, tetangga mengabaikan salamnya, dan di masjid orang-orang memanggilnya seorang teroris yang harus dikucilkan.

"Saya menanggapi dengan melakukan yang hal baik," kata pria berusia 41 tahun ini. "Saya tidak menghindari mereka. Sebaliknya saya mencoba mendekati mereka.

"Secara bertahap, mereka menyadari bahwa saya sudah berubah."

Saat ini, Handzollah dikenal sebagai pengkhotbah dan sering bepergian. Bersama anak-anak dan istrinya, kini dia hidup ditopang bisnis makanan ringan untuk rumah makan dan toko-toko.

Dia sekarang mengatakan, jihad kekerasan tidak dibenarkan di Indonesia, karena umat Islam tidak diserang. Secara umum, ia mencela IS yang membunuh Muslim yang menolak interpretasi ekstrem Islam.

"Apa yang saya lakukan di masa lalu adalah sebuah kesalahan. Banyak ajaran Islam dilanggar untuk melakukan jihad, dengan melakukan serangan pemboman di tempat-tempat yang damai seperti hotel, pasar atau tempat umum lainnya yang menewaskan orang yang tidak bersalah," katanya.

Karena keahliannya dalam memperbaiki senjata, Handzollah mengatakan, pendukung IS telah berupaya merekrut dia lagi sejak dia keluar dari penjara.

Menurutnya, dia telah membujuk setidaknya oleh 10 pemuda untuk tidak melakukan perjalanan ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok IS.

Seperti Haryono dan mantan gerilyawan lainnya dari Jemaah Islamiyah yang diwawancarai oleh Associated Press, ia masih percaya Indonesia harus diatur oleh hukum Syariah Islam, bukan pemerintah sekuler, tetapi tujuan yang dicapai harus melalui cara-cara damai.

Namun Handzollah, belum bisa mengesampingkan militansinya.

"Tentu saja ideologi jihad tetap dalam diriku, karena itu adalah bagian dari Islam," katanya. "Saya percaya pada hukum Syariah dan negara Islam, sehingga, jika seseorang mampu meyakinkan saya dengan argumen tertentu - tapi ini sangat tidak mungkin bagi saya sekarang - mungkin membuat saya kembali." ASSOCIATED PRESS

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search