Pada saat itu, cerita Risma, ada seorang bapak yang mengatakan kepadanya bahwa anaknya tidak dapat mengikuti ujian sekolah di Surabaya. Bukan hanya satu anak, tetapi ketiga anak si bapak tersebut tidak dapat mengikuti ujian.
Si bapak kemudian menyampaikan dirinya belum membayar uang sekolah hingga akhirnya tiga anaknya yang berada di SMK, SMP, dan SD terancam tidak dapat mengikuti ujian.
"Bagaimana bisa? Kok tiga-tiganya tidak boleh ujian padahal sekolah sudah gratis. Makanya saya menyamar untuk bertemu dengan gurunya," tuturnya.
Dalam penyamarannya, Risma menjelaskan bahwa setiap anak diberikan beban sebesar Rp900 ribu rupiah untuk ujian akhir. Rinciannya, Rp450 ribu untuk kursus, sisanya untuk jalan-jalan sekolah.
Tidak hanya ketiga orang anak dari si bapak yang menemui Risma, ternyata masih ada sekitar sembilan orang anak lainnya yang mengalami nasib serupa.
"Akhirnya saya memutuskan kalau saya akan bayari semua yang hampir Rp5 juta tadi itu," tambahnya.
Kemudian, Risma menyampaikan akan membayar seluruh kekurangan yang berada di sekolah tersebut. Namun, seorang guru yang mengajar di sekolah tersebut mengeluarkan pernyataan yang sangat kurang ajar, dan menyakiti hati Risma.
"Sakit saya saat ibu gurunya bilang, masa bayar Rp5 juta bisa, bayar Rp 450 ribu untuk jalan-jalan saja tidak bisa. Disitu saya langsung marah sekali. Saya bilang kalau saya ini kepala Bappeda," ungkapnya.
Tri Rismaharini menegaskan bahwa hal seperti itu, tidak dapat diterapkan secara terus menerus karena tidak akan adil untuk masyarakat miskin dan pendidikan hanya dinikmati untuk orang-orang kaya.
"Saya sudah pikirkan, kalau begini terus, ini tidak adil bagi anak miskin. Saya tidak mau hal ini terus menerus," kata Risma.
Cerita tersebut, bagi Risma sangat berharga untuk hidupnya saat ini yang sudah menjabat sebagai kepala daerah di Kota Surabaya dan membuat kebijakan yang baik untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat.
"Ini berharga untuk kebijakan pendidikan di Surabaya. Jujur, yang Mulia, saya tidak bisa terima jika ada anak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan secara layak," ucapnya.
Kehadiran Risma di Mahkamah Konsititusi sebagai Saksi atas gugatan terhadap UU No 23 Tahun 2014 tentang Pengalihan Wewenang Penyelenggaraan Pendidikan kepada pemerintah provinsi.
Perkara bermula dari empat orang wali murid yang tidak sepakat dengan adanya pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Kota kepada Pemerintah Provinsi tentang pendidikan melalui UU No 23 Tahun 2014.
Keempat wali murid, melalui kuasa hukumnya, Edward Dewaruci mengatakan bahwa pengalihan tersebut dirasa akan sangat mengurangi fasilitas yang sebelumnya selama ini dipegang oleh pemerintah kota/kabupaten.
Begitu juga dengan anggaran dari pemerintah provinsi Jawa Timur yang dirasa sangat kurang dibanding dengan pemerintah kota Surabaya. Gugatan tersebut akhirnya berperkara di MK dengan Nomor 31/PUU-XIV/2016.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar