Sabtu, 27 Agustus 2016

Kisah Stasiun Bekasi Jadi Saksi Pembantaian Puluhan Serdadu Jepang

PADA masa revolusi, terlebih lagi saat umur republik ini baru sekira tiga bulan, hampir semua kelompok yang memiliki senjata api dan tajam punya aturan sendiri. Mereka enggan tunduk pada instruksi pemerintah pusat.

Bekasi adalah salah satu kawasan yang tergambarkan itu. Justru, Bekasi dikenal sebagai "tempat berkumpulnya" para jago dan kombatan revolusioner yang ingin unjuk diri. Unjuk diri yang cenderung ingin balas dendam, terutama kepada Jepang.

BERITA REKOMENDASI


Catatan kelam masa revolusi di Bekasi salah satunya adalah Insiden Kali Bekasi. Tepatnya pada Oktober 1945, sekira 90 serdadu Kaigun (Angkatan Laut Jepang) dibantai di tepi sungai dekat Stasiun Bekasi ini.

Kronologi singkatnya berkisah saat 19 Oktober 1945, datang satu rangkaian kereta api (KA) dari arah Stasiun Jatinegara dengan tujuan Subang. Seperti dikutip dari buku 'KH Noerali: Kemandirian Ulama Pejuang', rencananya puluhan serdadu Kaigun itu akan dipulangkan melalui jalur udara dari Kalijati, Subang.

Tapi saat melintas Stasiun Bekasi, rangkaian KA tersebut dicegat. Meski sudah menunjukkan surat jalan yang bertanda tangan presiden pertama RI, Soekarno, sekelompok personel Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pimpinan Letnan Dua (Letda) Zakaria tetap melakukan sweeping (penggeledahan).

Padahal, sebelumnya Letda Zakaria juga sudah menerima instruksi dari komandannya, Mayor Sambas Atmadinata, akan ada rombongan KA pemulangan tentara Jepang. Namun, Letda Zakaria keukeuh akan tugas pokoknya untuk tetap melakukan pemeriksaan pada setiap KA yang lewat Stasiun Bekasi.

Saat dilakukan penggeledahan, sebuah tembakan meletus dari pihak Jepang. Sontak masyarakat sekitar turut mengepung rangkaian KA. Puluhan tentara Jepang itu pun sempat ditahan di sebuah tempat di seberang Kali Bekasi.

Tapi kemudian entah atas perintah siapa, satu per satu mereka disembelih. Leher mereka digorok di tepi Kali Bekasi dan tubuhnya pun dilemparkan ke Kali Bekasi.

Mendengar kabar pembantaian ini, perwira Kaigun yakni Laksamana Tadashi Maeda berang dan minta penjelasan pemerintah republik. Tokoh militer Negeri Sakura yang "menyediakan" tempat bagi lahirnya teks proklamasi itu, tak terima atas insiden tersebut.

Saat kapolri pertama, Kombes Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, dan seorang staf Departemen Luar Negeri RI menghadap, mereka pun diamuk Laksamana Maeda. Sementara Kapolri pun hanya bisa minta maaf dan memberi penjelasan bahwa insiden itu berada di luar kemampuan pemerintah republik.

Diuraikan pula bahwa memang di kawasan Bekasi, belum semua masyarakatnya tunduk pada arahan pemerintah dan mereka sudah berusaha menolong, walau akhirnya gagal. Singkatnya, Maeda bisa memaafkan walau berat dan berharap, kejadian serupa tak terulang.

Terlepas dari amukan Maeda itu, dikatakan muncul sejumlah "penampakan" di situs itu beberapa waktu kemudian. Dalam buku Robert B. Cribb bertajuk 'Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945–1949', masyarakat sekitar acap dihantui arwah-arwah serdadu Jepang yang tidak tenang.

Sebagai pengingat peristiwa ini, Pemerintah Kota Bekasi membangun Monumen/Tugu Kali Bekasi di tepi sungai atas kerjasama Pemerintah Jepang. Setiap tahun pada 19 Oktober, warga Jepang di Indonesia juga acap melakukan ritual tabur bunga di tepi Kali Bekasi demi mengenang peristiwa pahit tersebut.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search