
SIAGAINDONESIA.COM – Bertempat di ruang makan lantai dua Hotel Harris di Jalan Raya Gubeng, Surabaya. Moekari (92), pelaku sejarah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya wajahnya berseri saat mengisahkan perjalanan pertempuran yang dialami, 10 November 1945, silam.
"Saya selalu senang dan bahagia, dan menikmati hidup. Apalagi kalau ada yang mendengarkan cerita pertempuran 10 November tahun 45, yang saya alami," kata Moekari mengawali ceritanya dihadapan pengunjung, tamu undangan dan wartawan di Hotel Harris Surabaya, Selasa 8 November 2016.
Bapak dari empat anak itu menyebut, di tahun 1945, usianya antara 18 – 21 tahun. Dan, berdinas sebagai pasukan keamanan bentukan Jepang.
"Saat itu, saya usai mengikuti pendidikan Tokubetsu (Militer bentukan Jepang). Pusdik (Pusat Pendidikan) nya di Jalan Polisi Istimewa (sekarang jadi sekolah)," katanya.
Moekari bersama 360 pemuda lainnya, adalah pemuda terdidik, disiplin, trampil, dan mahir menggunakan senjata baik senjata ringan dan berat. Termasuk disiapkan untuk mahir di medan perang.
"Pendidikan nya saja satu tahun. Semua instrukturnya orang Jepang, yang punya disiplin tinggi. Kalau salah dihukum dan dipukul. Kami semua disiapkan sebagai pasukan garda depan, untuk menjaga keamanan dan bertempur, menghalau musuh. Kami semua disiapkan sebagai pasukan berani mati," urainya.
Seiring berjalannya waktu, kata Moekari, Jepang kalah di Pertempuran Asia Timur Raya, Kota Nagasaki dan Hirosima hancur oleh bom atom, dan itu terdengar sampai di telinganya. Pemerintahan Jepang di Indonesia pun goyah, termasuk yang ada di Surabaya. Bersamaan dengan itu, pasukan Sekutu masuk ke Surabaya, ikut membonceng Sekutu, juga ada tentara Belanda.
Disebutkan, saat itu Tokubetsu kehilangan pimpinan atau komando tertinggi, karena banyak petinggi/pejabat militer Jepang yang ditawan dan dipulangkan ke negaranya.
"Bapak Muhammad Jasin kemudian tampil memimpin pasukan kami (polisi istimewa). Bergerak mengamankan Kota Surabaya, melawan Sekutu dan juga Belanda yang kerap membuat onar," katanya.
Pasukannya, terus sibuk, melucuti persenjataan pasukan Jepang, mengamankan aset-aset, dan menjaga keamanan. Sisi lain juga berhadapan dengan Sekutu dan pasukan Belanda, yang merangsek ke semua wilayah di Jawa Timur.
"Jadi, ada yang lucu, Pasukan kami ini sebenarnya disiapkan untuk membantu Jepang, sebagai Garda depan. Tetapi, dengan jiwa kebangsaan yang tinggi dan cinta NKRI, kami berbalik melawan Jepang, dan mengusirnya," ucap lelaki tua ini.
"Pasukan kami juga sempat memberikan senjata hasil rampasan dari Jepang ke pasukannya Pak Jenderal Sudirman dan pasukannya Pak Gatot Subroto untuk dipakai bertempur," kenang Moekari.
Saat pertempuran semakin sengit, apalagi sejak Jenderal Mallaby tewas, tentara penjajah membabi buta, menggempur Surabaya. Polisi Istimewa mundur ke sejumlah daerah, Sidoarjo, Mojokerto, sampai ke Malang. Di semua daerah yang disinggahi, keberadaan pemuda-pemuda didikan Jepang itu pun tidak leluasa, tentara Belanda ada dimana-mana, sporadis melakukan penyerangan. Belum lagi, saat dipersinggahan, pasukan Tokubetsu itu dilaporkan oleh warga kepada Belanda, dan Belanda kemudian menyerbu.
"Banyak, teman-teman saya mati disergap Belanda. Tapi kami pantang menyerah, terus kita hadapi," ucapnya.
Di jaman itu, terus muncul pejuang-pejuang dari masyarakat, disebut laskar termasuk ada yang dari pesantren. "Di Surabaya ini, dari Ndesmo (Pesantren Sidoresmo), mereka juga cukup disiplin, karena dibekali 'kekuatan' oleh kiai nya," kata Moekari.
Dan, saat dipersembunyian, di sebuah bangunan pabrik gula, pasukannya berjumlah 15 orang, diberondong oleh tentara Belanda dari sejumlah sisi. Spontan mereka angkat senjata, balas menyerang. Namun, karena tidak seimbang, mereka berusaha lari menyelamatkan diri.
"Saat itu, saya tidak terasa kaki kiri saya tertembak," ucapnya.
Moekari tetap semangat, dan berpesan kepada generasi bangsa untuk mencintai kemerdekaan negaranya, karena dijajah atau harus berperang adalah cara untuk menjaga kehormatan bangsa dan negara.
Saat ini, Moekari menggunakan kaki palsu, dan berjalan menggunakan penyangga.
Dia mengaku bangga ikut membela negaranya, melawan dan mengusir penjajah, dan kemudian merdeka.
"Meskipun saya kehilangan kaki, dan harus memakai kaki palsu, saya bangga, bangga bisa berjuang mewujudkan cita-cita untuk merdeka," ucapnya dengan senyum, didampingi putri ke empat nya, Sri Utari yang juga menulis kisah perjuangan bapaknya, diberi judul 500 KM.
Kini, Moekari memimpin persatuan Veteran di Surabaya, Moekari pensiun dari Polri dengan pangkat Kapten. Namun, hingga saat ini belum memiliki rumah, dia tinggal bersama anaknya, Tari di sebuah asrama Polri.
Juga hadir di acara tersebut, pendiri Gerakan Peduli Pejuang Republik Indonesia (GPP-RI), Aiptu Pudji Hardjanto, Ketua Umum, Martudji serta puluhan orang anggotanya.
"Kita harus bangga dengan yang telah dilakukan oleh Bapak Moekari. Siapa yang mengatakan kita belum merdeka, saya ingin tahu?. Apalagi yang merendahkan atau menghina negara dengan berbagai aksi yang merongrong NKRI. Ini bukti perjuangan mereka (para pejuang), dan GPP-RI bertekad untuk memberikan kepada mereka-mereka, para pejuang dengan kiprah yang kita lakukan," urai Pudji Hardjanto saat memberikan sambutan.
Ketua Umum GPP-RI, Martudji menambahkan, GPP-RI adalah wadah gerakan sosial, anggotanya majemuk dari berbagai latar belakang dan melakukan yang terbaik untuk para pejuang bangsa.
"Menyalurkan bantuan, termasuk untuk renovasi, pembangunan atau bedah rumah. Seperti yang akan dilakukan di wilayah Desa Kedensari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo," ujarnya.tji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar