Ngawi (beritajatim.com) – Minggu (18/12/2016) lalu, matahari dengan gagah beraninya menyinari bumi Desa Sekarputih, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Terik matahari yang kata orang bisa merusak kulit tersebut tidak menyurutkan warga Desa Sekar Putih, Kecamatan Widodaren, Kabupaetn Ngawi untuk berkumpul di lapangan desa setempat.
Tidak hanya warga setempat, namun juga puluhan seniman dari luar bumi orek-orek pun berdatangan. Uniknya, pakaian mereka tidak hanya satu ragam saja. Tidak hanya memakai satu macam pakaian berwarna putih, dengan jilbab besar. Tidak pula perempuan tanpa tutup kepala dengan memakai atribut keagamaannya.
Tak ada sekat, tak ada perbedaan yang perlu diperdebatkan. Ratusan orang dari berbagai suku, dari berbagai agama dan aliran kepercayaan hadir untuk menyaksikan upacara kebo ketan.
Gemuruh gendang jawa terdengar jelas di dusun Sendangmarga. Puluhan orang berpakaian seperti prajurit di kraton Solo siap mengawal kebo dengan tinggi 2.5 meter, Panjang 4.5 meter dan Lebar 1.5 meter. 10 orang lainnya menggontong kebo jadi-jadian tersebut. Hal itu membuat ramai happening art kebo ketan.
Upacara yang merupakan babak baru Upacara tersebut merupakan babak baru Mbah Kodok Ibnu Sukodok dengan pasangan gaibnya, Peri Roro Setyowati. Setelah sebelumnya, Mbah Kodok Ibnu Sukodok dengan peri Roro Setyowati di Sendhang Margo, Alas Begal, Kedunggalar, Ngawi, Oktober 2014 silam. Dari pernikahan tersebut Mbah Kodok mendapatkan momongan yang diberi nama Jaga Samudra untuk anak lelakinya dan Sri Parwati untuk anak perempuannya.
Alkisah setelah kedua anaknya itu beranjak dewasa, oleh Ratu Kidul, Mbah Kodok diminta memberangkatkan kedua anaknya itu untuk mengabdi dan belajar atau ngenger kepada Bagindo Milir. Bagindo Milir merupakan danyang Bengawan Solo.
Maulid Nabi Dirayakan Dengan Kebo Ketan
Kebo ketan yang merupakan episode lanjutan dari pernikahan Mbah Kodok rabi Peri bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Hal itu ditangkap oleh Sutradara pertunjukan seni berdampak Upacara Kebo Ketan, Bramantyo Prijosusilo.
Bramanto menuturkan Upacara Kebo Ketan merupakan sebuah karya seni kejadian berdampak. Dia mengatakan seni kejadian berdampak bukanlah event belaka. "Melainkan merupakan suatu revitalisasi atas seni upacara yang diyakini nenek moyang sebagai berdampak positif bagi kehidupan," katanya kepadaberitajatim.com
Kebetulan, lanju dia, saat membuat event Kebo Ketan kali ini masuk bulan Rabiul Awal. Dimana kelahiran Nabi Muhammad SAW. Bram mengatakan bahwa kelahiran nabi besar Muhammad bisa dirayakan dengan segala macam cara. Termasuk dengan cara seperti Kebo Ketan.
Budayawan Islam, Zastrouw Al Ngatawi bahkan menyebut event tersebut sebagai pengejawantahan ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. "Tidak usah khawatir, event kebo ketan bukan event Bitah dan Kafir, sudah direstui oleh ulama," katanya.
Dia mengaku event kali ini bisa dilihat, ada yang hanya memakai blankon, tank top, jubah besar. Namun semua kumpul bersama. Tidak ada perbedaan sama sekali. Acara kali ini bukan hanya menghujat satu kaum, bukan hanya membuat kerusuhan.
"Bagaimana tetap guyup rukun. Menebarkan kerukuanan. Mempertahankan persatuan. Jika di Jakarta ada FPI. Di Ngawi juga ada FPI. Tapi bukan hanya membela satu agama saja. Melainkan membela semua agam," tambahnya.
Mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU itu menegaskan dalam acara ini sama sekali tak ada unsur kemusyrikan atau syirik. Sebaliknya, acara ini justru terkandung nilai sangat luhur, di mana ajaran cinta kasih kepada hutan, penyelamatan air, membantu peri, membangun kesadaran masyarakat untuk bergotong royong dan saling tolong menolong. Termasuk membangun kebhinekaan.
Kebo Ketan Bukti Kebhinekaan
Tak hanya sekedar berkumpul dan melihat event kebo ketan saja, bukti kebhinekaan di event tersebut yakni pembuatan kebo jadi-jadian secara bersama-sama. Kebo ketan tersebut didesain oleh pelukis terkenal, Djoko Pekik. Kemudian Heri Dono membuat dan mencetak kepala sang kebo dari bahan fiber.
Sementara kulit olehana ketan terbuat dari 2 kuintal atau 200 kg ketan. Dimana kulit olahan ketan tersebut untuk ditempel di bagian tubuh kebo. 200 kg ketan tersebut tidak dipenuhi panitia sendiri. Warga sekitar juga guyup rukun membuat kulit ketan.
Kebo Ketan Tak Hanya Kebhinekaan
Kebo ketan tidak melulu tentang kebhinekaan. upacara Kebo Ketan yang digelar ratusan seniman di Kabupaten Ngawi, bukan sekedar seni kejadian untuk menghibur warga saja. Seni dan budaya, menjadi sarana untuk mengajak masyarakat menjaga kelestarian alam dari kerusakan dan kepunahan.
Kebo ketan yang menjadi simbol sebuah ritual pengorbanan. Dimana seluruh masyarakat tumplek blek, Kolaborasi pertunjukkan, menghipnotis ribuan pengunjung, yang haus dengan hiburan.
Dibalik pertunjukan seni dan budaya, dua buah mata air di kawasan hutan perhutani sekarat, Sendang Margo dan Sendang Ngiyom, menunggu ajal setelah ribuan tahun mengalirkan air, menghiasi keindahan peradaban lembah bengawan solo.
Kurang pedulinya pemerintah dan masyarakat, untuk melestarikannya. Kedua mata air ini, merupakan bagian alam yang menjadi korban efek negatif reformasi tahun 1998. Kelesuan ekonomi masyarakat saat krisis, kurangnya penegakan hukum, membuat penjarahan hutan jati dan hutan lindung meluas. Hasrat ekonomi, membuat mata air itu terancam punah.
Melihat nasib dua mata air, para seniman tergugah hatinya mencari cara membangkitkan kesadaran masyarakat melaui seni. "Gerakan melalui budaya berdampak. Pemerintah mulai sadar dan warga mulai peduli, sehingga kawasan mata air kemudian ditetapkan sebagai kawasan konservasi," kata sang sutradara, Bramanta.
Di sisi lain, Bupati Ngawi, Budi Sulistyono alias Kanang mengatakan sekarang, persoalan baru timbul. Ternyata diatas wilayah konservasi banyak warga yang bercocok tanam. Mereka mau pindah, jika ada lahan pengganti. Dari realitas itu, narasi upacara Kebo Ketan, meminta semua pihak untuk berkorban.
"Upacara Kebo Ketan tak sekedar mengajak warga untuk menyelamatkan Sendang Margo dan Sendang Ngiyom, tapi juga memunculkan narasi kritis mengajak warga menyelamatkan Sungai Bengawan Solo, yang sekarang ini sudah tercemar oleh berbagai limbah," tandas Kanang. (mit/kun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar