Selasa, 14 Februari 2017

Kisah Suana Kuliahkan Putrinya dari Jualan Nasi Boranan

Suana di rumah dinas Wakil Bupati Lamongan, Kartika, saat nasi boranan dagangannya diborong pada Sabtu, 11 Februari 2017. (VIVA.co.id/Nur Faishal)

VIVA.co.id - Suana (48 tahun) bukan nama asing di mata sebagian warga Kota Lamongan, Jawa Timur, terutama bagi para pedagang dan penikmat kuliner malam. Bila perut keroncongan saat bergadang atau beraktivitas malam, ibu tiga putri yang dikenal dengan sebutan Bu Suana itu biasa jadi andalan.

Suana adalah pedagang nasi boranan yang biasa mangkal di perempatan Rangge, Kota Lamongan. Disebut boranan karena nasi yang dijual disimpan di dalam keranjang terbuat dari anyaman bambu. Nasi disajikan dengan daun pincuk. Lauk khasnya urap-urap dan rempeyek. 

Penjual boranan baru buka menjelang magrib sampai malam. Suana satu dari sedikit penjual makanan tradisional Lamongan itu. "Sudah 20 tahun jual boranan," katanya kepada VIVA.co.id di Kota Lamongan, Jawa Timur, pada akhir pekan lalu.

Warga Dusun Kautan, Desa Sumberrejo, Kecamatan/Kabupaten Lamongan itu adalah generasi ketiga sebagai penjual nasi boranan. Neneknya, Mbah Seh, semasa hidup mencari rezeki dengan berkeliling dari kampung ke kampung menjajakan nasi boranan.

Pekerjaan itu lalu dilanjutkan anak Mbah Seh alias ibu Suana, Tokah. Sekira tahun 1970-an, Suana kecil kerap diajak keliling kampung oleh ibunya menjajakan nasi boranan. "Ibu keliling menggendong nasi boranannya. Jalan kaki," ujarnya.

Suana menikah di akhir 1980-an. Dia pindah rumah bersama suaminya, masih di Desa Simberrejo tapi beda kampung dengan ibunya. Semasa masih pengantin baru, Suana mengaku mengandalkan hidup dari pekerjaan suaminya sebagai buruh tani.

"Tidak punya sawah sendiri," ujarnya. Dia murni ibu rumah tangga.

Suana baru terpikir untuk jualan nasi boranan ketika ibunya meninggal. Waktu itu, 1996, anak keduanya masih bocah. Pekerjaan sang suami sebagai buruh tani tak mencukupi untuk membiayai pendidikan. "Suami saya selalu bilang, anak-anakku harus bisa kuliah. Saya juga begitu," katanya.

Berangkat dari semangat menguliahkan anak, Suana memutuskan berjualan boranan. "Jualan pertama habis dua kilo beras. Modal cuma Rp30 ribu. Pulang-pulang bawa untung bersih Rp10 ribu. Lima tahun saya keliling kampung-kampung gendong boranan. Baru setelah itu mangkal di Rangge sampai sekarang," ujarnya.

Dahulunya, setelah makanan selesai dimasak, dagangan kulinernya dibawa bersama suami dengan menunggangi sepeda angin. "Beberapa tahun kemudian baru pakai motor. Tiga tahun lalu suami meninggal, saya pakai becak ke tempat mangkal," katanya.

Usaha Suana lambat laun meningkat setelah mangkal di perempatan Rangge. Sekarang, setiap hari dagangannya menghabiskan beras tujuh kilo. Bermodal Rp700 ribu sekali masak komplet, Suana bisa membawa untung bersih Rp200 ribu sekali jualan. "Alhamdulillah selalu habis. Jualan dari jam lima sore sampai sembilan malam. Kalau sepi sampai jam 11 malam," ujarnya.

Suana mengaku bersyukur. Dari hasil jualan Nasi Boranan, dia sudah mampu membiayai kuliah dua putrinya. "Anak saya pertama sudah lulus kuliah di kampus Lamongan. Sekarang sudah berumah tangga dan ikut suaminya."

Sedangkan putri keduanya, Ani, masih semester tujuh Jurusan Bahasa Asing Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya. Beban Suana lebih ringan karena putri keduanya itu tergolong pintar dan mendapat beasiswa. "Jurusannya Bahasa Jerman," katanya.

Adapun putri terakhir Suana masih kelas VI SD. Dia yang selama ini biasa menemani Suana di rumah. "Saya sering ditanya orang, wis ping piro munggah kaji (sudah berapa kali naik haji), saya bilang belum. Enggak apa-apa belum mampu haji asal anak semuanya bisa kuliah," katanya. (one)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search