PADA umumnya, pemuda yang kemudian jadi perwira tentara republik di masa perjuangan 1945-1949, tidak hanya punya bekal semangat dan nyali besar. Tapi juga kemampuan linguistik berbahasa asing.
Tapi tidak seperti pada umumnya, Edi B Somad yang hanya seorang prajurit Tentara Republik Indonesia (TRI, kini TNI) sekelas bintara di Batalyon V Resimen Cikampek di zaman perang, ternyata juga punya kemampuan dua bahasa asing, yakni Bahasa Belanda dan Jepang.
BERITA REKOMENDASI
Edi sendiri saat ini masih punya semangat yang besar berbagi kisah masa mudanya di zaman revolusi kemerdekaan itu, kala penulis menyambangi kediamannya di Tambun, Kabupaten Bekasi, bersama rekan penggiat sejarah komunitas Front Bekassi, Beny Rusmawan.
Edi jadi salah satu petarung republik di masa 1945-1949 yang setidaknya masih tersisa di Bekasi dan saat ini, menjabat Ketua Dewan Pimpinan Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kabupaten Bekasi. Seiring pengisahannya, ternyata diketahui Edi Somad masih lancar berbahasa Belanda dan Jepang.
Diceritakan, bahasa Belanda jadi "makanannya" sehari-hari saat mengenyam pendidikan HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Bogor. Edi berkesempatan makan bangku sekolah Belanda karena ayahnya bekerja di maskapai pelayaran Belanda.
Sementara bahasa Jepang, dikuasainya ketika Jepang menduduki Hindia Belanda sejak 1942 dan Edi, sempat ikut pendidikan Heiho Rikugun (Pembantu Tentara Angkatan Darat Jepang) selama enam bulan.
Nah, penguasaan bahasa asing ini pula yang nantinya, "berperan" besar menghindarkan nyawanya dari ujung bedil Belanda, pasca-Jepang menyerah dan Belanda masuk ke Indonesia lagi dengan membonceng sekutu.
Di Bagian I (pertama) sebelumnya, dikisahkan bagaimana Edi Somad yang pandai berbahasa Belanda, menyamar jadi pedagang jeruk untuk kemudian bersiasat merampas bedil tentara Belanda. Di Bagian II (kedua) ini, Edi mengisahkan bagaimana dirinya sempat diinterogasi tentara Belanda.
"Medio 1947 itu, saya lupa bulannya, pernah dikirim ke Bogor untuk misi merampas senjata. Beberapa waktu setelah menyamar, saya sempat kena razia tentara Belanda di Bogor, pas lagi tidur di asrama yang disediakan seseorang yang namanya Pak Toha," kenang Edi kepada Okezone.
Pria berusia 89 tahun itu kemudian dibawa sebuah truk ke daerah bernama Cilendek, dekat Semplak, Bogor. Tiga hari lamanya dia ditahan dan diinterogasi perwira Belanda 'totok' yang diingatnya bernama Letnan Leo dan Hendrick, seorang pribumi yang ikut pasukan NICA (Nederlands Indie Civil Administratie).
"Ye ben extrimist? War Ye huis? Ditanya begitu pakai bahasa Belanda sama Letnan Leo itu yang artinya apa kamu ekstremis (pejuang)? Saya jawab pakai bahasa Belanda juga. 'Nei meneer. Ik ben orange trader, meneer' (Bukan tuan. Saya pedagang jeruk, tuan)," sambung pejuang kelahiran Kemayoran 1928 itu.
"Naturlijk (benar)? Tanya dia. Naturlijk, meneer (Benar, tuan) saja jawab begitu. Besoknya saya diiterogasi sama NICA kulit hitam namanya Hendrick. Saya disuruh mengaku sebagai ekstremis dengan cara yang lebih kasar. Kerah baju saja diangkat, ditodongin senjata jidat saya," imbuhnya.
"Saya pasang (peluru di kepala) kamu ya! Gitu katanya. Saya tetap jawab tidak, saya bukan ekstremis. Habis itu saya dilempar ke lantai. Sementara itu ada orang lain yang juga ditahan tapi enggak bisa ngomong (bahasa) Belanda, dihantam popor (senapan) kepalanya. Disiksa segala macam," kenangnya lagi seraya matanya mulai berkaca-kaca.
Di hari ketiga, Edi kembali diiterogasi Letnan Leo. Seraya masih ditanya hal yang sama, seluruh pakaiannya diperiksa dan kemudian ditemukanlah kartu pelajar HIS di salah satu saku pakaiannya.
"Pas dilihat kartu sekolah HIS saya itu, kengototannya baru mencair. Saya akhirnya dibolehkan pulang setelah tiga hari ditahan. Tapi sebelumnya, saya minta surat jalan untuk pulang. Karena kan di mana-mana banyak Belanda," tuturnya lagi.
"Saya pulang ke Cikampek dari Bogor dari gerobak kereta (kereta barang.red). Di setiap stasiun yang dilewati, diperiksa tentara NICA. Wah, itu mereka ganas-ganas banget dah. Kalau lihat orang pakai pin merah putih, disuruh telan itu pinnya. Kalau enggak mau, dihantam popor kepalanya," tambah Edi.
Sementara Edi Somad, selamat sepanjang perjalanan berbekal surat jalan tadi. Setibanya di Cikampek, Edi melapor dan kembali bergabung ke induk pasukan Siliwangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar