Selasa, 04 April 2017

Kisah Boy Thohir Caplok Adaro dari Tangan Asing

Jakarta - Dalam pemikiran dan cita-cita para pendiri bangsa, sumber daya alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Mengacu pada hal tersebut, tambang-tambang mineral dan batu bara idealnya dimiliki oleh orang Indonesia, dikelola oleh orang Indonesia, teknologinya juga dikuasai oleh orang Indonesia, dan hasilnya untuk orang-orang Indonesia.

Meski demikian, dalam realitanya, kekayaan mineral dan batu bara Indonesia masih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan asing. Kekurangan perusahaan Indonesia dalam hal permodalan, teknologi, manajemen sering disebut-sebut untuk membenarkan dominasi asing di sektor pertambangan.

Tapi beberapa pengusaha nasional telah berhasil membuktikan bahwa anggapan itu tidak benar. Salah satu orang yang sukses mematahkan mitos superioritas asing itu adalah Garibaldi 'Boy' Thohir.

Bersama 3 orang pengusaha Indonesia lain, 12 tahun lalu Boy mengakuisisi PT Adaro Energy Tbk (ADRO), perusahaan tambang penghasil batu bara terbesar kedua di Indonesia yang awalnya dimiliki investor Australia.

Pria kelahiran 1 Mei 1965 ini bahkan berhasil membuat Adaro lebih besar dibanding saat masih dipegang orang-orang asing. Produksi batu bara Adaro yang pada 2005 masih 24 juta ton sekarang sudah melompat hingga 52 juta ton alias lebih dari 2 kali lipat.

Kinerja perusahaan pun makin kinclong. Kini Adaro juga bukan hanya berbisnis di pertambangan, tapi juga di logistik batu bara dan pembangkit listrik. Ini membuktikan bahwa orang-orang Indonesia mampu mengelola kekayaan alamnya sendiri.

Bagaimana kisah sukses Boy Thohir mengakuisisi dan membesarkan Adaro? Berikut petikan wawancara khusus detikFinance dengan Boy di Menara Karya pada Kamis (29/3/2017):

Bisa diceritakan bagaimana Anda mengakuisisi Adaro dari pihak asing bersama beberapa orang kawan?
Tahun 2003-2004 ada opportunity di Kalsel. Waktu itu saya ajak Pak Teddy Rachmat (Theodore Permadi Rachmat), ada konsesi, Alhamdulillah sampai sekarang masih jalan. Itu punya Almarhum Haji Sulaiman, Hasnur Grup, di Kalsel. Singkat cerita, saya sama Pak Teddy Rachmat join 50:50, kita join lagi sama Pak Haji Sulaiman, ada tambang beliau yang tadinya sudah kolaps di 2003-2004 kita kerjain dan mulai naik.

Kemudian Pak Teddy Rachmat bilang ke saya, "Kalau mau jadi pemain, jangan tanggung. Kalau mau jadi pemain, jadi pemain sekalian." Istilah Pak Teddy begitu lah, kita harus eksis, jangan cuma jadi penonton. Waktu itu Adaro masih dikuasai sama perusahaan Australia, namanya New Hope.

Ada opportunity, tahun 2005 harga batu bara mulai meningkat, mulai booming comodity. Kenapa? Awal 2001-2002 ekonomi China meningkat, China bangun infrastruktur gila-gilaan. Jalan, pelabuhan, PLTU, semua dia bangun karena ekonominya meningkat 10%, 11%, 12%, mereka perlu iron ore, bauksit, nikel, batu bara.

Mereka produsen batu bara terbesar dunia, tapi cadangannya di inner Mongolia, untuk transportasi batu baranya ke kota-kota pesisir mereka seperti Guangzhou, Delta River, Shanghai, mahal. Jadi mereka enggak bisa mengandalkan batu bara dari inland mereka, harus impor juga. Yang paling efisien secara geografis dari Indonesia, Australia agak jauh.

New Hope pada 1992 sudah masuk ke Indonesia, jatuh bangun, pada 2005 mereka berpikir harga sudah bagus, time to exit. Di situ lah saya sama Pak Teddy Rachmat lihat kesempatan, Pak Teddy kasih motivasi. Waktu itu Pak Edwin (Edwin Soeryadjaya) sama Pak Benny (Benny Subianto) sudah ada di Adaro, 60% dikuasai New Hope dan 40% oleh Pak Edwin dan Pak Benny. Singkat cerita, Pak Teddy bilang kita gabung saja sama mereka, why not? Makanya di 2005 kita take over dari New Hope. Kita bikin konsorsium baru yang terdiri dari Saratoga, Triputra, TNT, dan Persada Capital untuk take over Adaro Indonesia dari perusahaan asing.

Kita mempunyai satu cita-cita dan kesamaan pendapat bahwa ini ada kesempatan di batu bara, kita mau membuktikan bahwa aset-aset terbaik bangsa ini sebetulnya bisa dikelola oleh bangsa Indonesia. Pada 1992 masih asing semua, kita belajar pelan-pelan, di 2005 kita yakin pasti bisa. Saya di-support juga oleh partner-partner yang berpengalaman dan punya nama baik luar biasa, saya confident.

Tadinya Adaro di-manage dan di-operate oleh asing, akhirnya di 2005 kita yang take over. Menurut saya ini merupakan tonggak sejarah, milestone baru. Di 2005, dengan segala risiko yang ada, kemampuan yang terbatas, uang kita pinjam, tapi kita punya satu keyakinan bahwa bangsa Indonesia bisa mengelola aset-aset natural resources yang ada. Kita sebagai pengusaha nasional, pengusaha Indonesia ingin memberikan kontribusi lebih. Ini tantangan, tapi Alhamdulillah kita bisa.

Bagaimana situasi setelah Adaro diambil alih?
Enggak gampang. Kalau diingat waktu itu 2004 harga batu bara naik, eh 2006 turun. Kita sempat ketar-ketir juga. Tapi dengan kerja keras, efisiensi, fokus, value yang kita miliki, visi yang jelas semua bisa dilalui.

Waktu itu 2005 kita hanya fokus di tambang batu bara saja, belum ke yang lain. Kita melakukan efisiensi, konsolidasi ke dalam. Saya bilang ke manajemen, tolong support saya, tolong berikan dukungan penuh. Saya enggak mau teman-teman kita yang dari Australia mengatakan kalau di-take over orang Indonesia pasti kolaps.

Hampir 95% pekerja orang Indonesia, ekspatriat di Adaro dari dulu sedikit. Bahkan waktu masih dikuasai New Hope paling cuma 20 orang, sekarang paling hanya 7 orang. Tapi yang besar orang Indonesia. Saya tanya, siap enggak? Mereka (pekerja Indonesia) jawab, "Siap Pak, orang kita yang kerja kok." Saya bilang jangan ngomong aja, kalau nanti kolaps si orang-orang Australia menertawakan kita.

Dengan motivasi itu, Alhamdulillah 2005 waktu kita take over produksi batu bara Adaro masih sekitar 24 juta ton, sekarang sudah 52,6 juta ton.

Setelah itu bagaimana langkah-langkah untuk membesarkan Adaro?
2008 kita putuskan Adaro untuk menjadi perusahaan yang lebih besar dan lebih baik lagi, kita putuskan Adaro jadi perusahaan publik supaya lebih transparan lagi, dan sebagainya. Jujur juga, waktu itu kita pinjam, leveraged buyout, LBO. Kita perlu reduce ini supaya dapat dana dari publik untuk mengurangi itu.

Dan di 2008 itu juga kita memutuskan mengubah visi kita yang tadinya hanya bertumpu pada batu bara saja, waktu itu kita sepakat ke depan kita mau lebih integrated. Jadi tidak mau tambang batu bara saja, tapi logistik dirapikan, kita juga mau masuk ke bisnis pembangkit. Dari 2008 sampai sekarang, kita fokus ke 3 pilar,yaitu mining, logistic and sercvices, sama power. Kalau dulu tambang saja, sekarang pit to port to power.

Bagaimana Anda menghadapi berbagai tantangan di industri pertambangan seperti perizinan, lahan, CnC, fluktuasi harga komoditas?
Yang penting kita fokus, permasalahan begitu banyak tapi saya punya satu rumusan. Kita kan tiap hari bangun tidur pasti ada problem. Di kantor, di rumah, urusan keluarga, every day life, apalagi di perusahaan. Tapi kita fokus satu-satu, one at the time.

Masalah tanah, kita fokus ke tanah dulu. Masalah perizinan, kita fokus perizinan dulu. Dengan cara itu kita bisa solve satu-satu. Problem come and go. Tapi kalau kita punya tim yang bagus, fokus menyelesaikan satu per satu masalah ya lama-lama kelar.

Kita semua juga sepakat bahwa yang namanya harga jual itu enggak ada yang bisa kontrol. Siapa yang bisa kontrol nanti naik atau turun? Tergantung supply dan demand, feeling saja. Misalnya kemarin terjadi badai cyclone di Australia, mestinya harga batu bara naik karena suplai terganggu. Tapi kembali, harga jual enggak ada yang bisa prediksi.

Yang bisa kita prediksi adalah cost. Makanya kita mesti bisa kontrol cost. Cost, cost, cost. Harus efisien, harus efisien, harus efisien. Sehingga kalau kita menjadi one of the lowest cost producer, kalau harga lagi turun kita bisa survive. Kalau misalnya kita enggak efisien, sama seperti gempa bumi, yang rapuh-rapuh begitu kena gempa sedikit langsung rubuh. Kita mesti menjadi one of the lowest producer mining company. Namanya komoditi selalu up and down.

Kemudian enggak bisa bergantung pada satu bisnis saja. Kalau bergantung sama mining saja ya kolaps. Mesti ada tambang, logistic services, dan power plant (pembangkit listrik). Kenapa power plant? Kita ingin memberikan kontribusi lebih pada negara dan bangsa. Value added batu bara adalah listrik. Batu bara itu mau di-upgrading, ujungnya ke listrik. Jadi nilai tambahnya kita bikin batu bara ini jadi listrik. Kebetulan di Indonesia sumber batu baranya ada. Kenapa kita enggak pakai untuk pembangunan bangsa?

Apa tips dari Anda untuk pengusaha nasional lain yang ingin mengambil alih kepemilikan perusahaan tambang dari tangan asing? Bagaimana agar setelah diambil alih perusahaan bisa makin besar?
Ada 2 poin. Pertama, enggak ada yang namanya asing lebih baik. Kita bisa, kalau kita mau kita bisa. Medco membuktikan, Adaro membuktikan, Pak Supramu (Supramu Santosa) membuktikan. Bukan kita anti asing, tapi kita juga bisa. Kita bisa rekrut ekspatriat-ekspatriat yang bagus. Kita enggak boleh kalah dari asing.

Harus ada keinginan dan niat dari kita, bahkan kita lebih bisa. Bahasa di sini, bahasa kita. Kondisi alam di sini, alam kita. Negara, negara kita. Udara, udara kita. Tanah, tanah kita. Masak enggak bisa.

Kedua, dukungan dari pemerintah, harus ada keberpihakan. Kenapa? Kalau kita kan uangnya di sini, hidupnya di sini, matinya di sini. (mca/wdl)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search