Bukan Cinta Malaikat
Sutradara: Aziz M Osman, Herdanius Larobu
Naskah: Aziz M Osman
Produser: Chandir Bhagwandas
Produser Kreatif: Dwi S Lobo
Durasi: 97 menit
Rilis Indonesia: Kamis 13 Juli 2013
Reyhan (Fachri Albar) adalah relawan kemanusiaan dari Bandung untuk pengungsi Suriah di Timur Tengah. Dewi (Nora Danish) adalah warga Malaysia yang sedang melakukan perjalanan umrah bersama neneknya. Mereka bertemu di suatu toko suvenir di Madinah dan belum saling mengenal.
Malam kemudian, mereka berjumpa lagi di kantor polisi. Dewi ditahan karena kesalahpahaman dengan petugas. Reyhan yang kebetulan datang, menolong Dewi supaya bebas. Dua momen kebetulan ini membuka cerita, sekaligus menjadi pintu masuk kedekatan mereka. Hubungan berkembang, dari yang awalnya sekadar kebetulan.Reyhan memaknai kebetulan ini sebagai suratan takdir. Dia berjuang keras untuk mendapatkan cinta Dewi, sekalipun harus menyusul ke Malaysia dan mengorek informasi mengenai kehidupan Dewi. Sementara di Bandung, ada Aliyah (Donita), teman Reyhan sejak kecil yang harus menerima bahwa mereka hanya bisa berteman.

(Foto: Dok. Ganesha Perkasa)
Dewi pun memiliki perkara hubungan serupa. Dia telah berpacaran sekian tahun dengan Adam (Ashraf Muslim), pria dari kelas ekonomi berbeda. Hubungan mereka tak bisa berlanjut karena suatu amanat yang ditanggung Adam dari pihak keluarga.

Aktor asal Malaysia, Ashraf Muslim, berperan sebagai Adam.
Sepanjang film, cerita bergulir mengikuti perjalanan kerumitan tersebut lewat perspektif Reyhan dan Dewi. Masalah yang dibawa keempat tokoh bertemu. Namun benang semakin kusut karena masing-masing kukuh dengan ego dan prinsip masing-masing.
Salah satu ganjalan utama datang dari kultur sosial-agama yang mereka hidupi masing-masing. Cinta menjadi seperti sebuah dosa. Nyaris tak ada tokoh bahagia karena apa yang mereka inginkan selalu dihimpit oleh aturan budaya. Sayangnya, aturan budaya juga tidak menjamin mereka dapat bahagia.
Film ini cukup berhasil membangun kompleksitas masalah secara bertahap dan efisien. Ketika satu tahap masalah tampak selesai dengan mudah, jangan harap itu benar-benar selesai. Ketegangan susul menyusul hingga akhir. Namun, rangkaian konflik ini dirusak oleh penutup cerita. Seolah kedua sutradara bimbang ingin membuatnya menjadi tragedi atau harmoni.
Setiap tokoh hampir selalu mengambil keputusan tindakan yang jauh dari kesan bijak. Barangkali hanya Adam satu-satunya tokoh yang tampak paling realistis. Namun tentu saja, film ini bukan tentang Adam, melainkan dua sejoli yang bertemu di Tanah Suci. Dalam perspektif mereka berdua, dunia mereka tampak begitu kacau untuk urusan cinta dan pernikahan.
Dengan menunjukkan kelemahan manusia dan aturan budaya, film ini terkesan sedang menggugat ritual pernikahan yang begitu mudah dijalankan tetapi sekaligus sangat teoritis dan tidak empatik. Namun, gugatan juga tidak cukup jelas karena di sisi lain, ada pemaknaan bahwa para tokoh adalah manusia muda yang tak lagi taat pada orang tua dan budaya.
Kisah mereka ibarat seorang istri yang begitu tersiksa karena terus menjadi korban kekerasan domestik rumah tangga. Sementara dia tak mampu bersuara dan terbelenggu oleh prinsipnya sendiri. Seorang istri harus patuh kepada suami, apapun yang terjadi.
Sangat terasa bahwa kedua sutradara punya ambisi untuk menceritakan banyak hal. Dari konflik kemanusiaan Timur Tengah, impian pergi ke Tanah Suci, aturan-aturan yang tidak empatik, restu keluarga, belenggu masa lalu, hingga konflik internal rumah tangga.
Berbagai elemen tersaji dengan runtut dan dapat dipahami. Namun sangat kentara terlihat, ambisi tersebut justru mempersulit tim produksi dalam mewujudkan kisahnya menjadi film yang memenuhi standar teknis abad 21. Aspek gambar, artistik, tata rias, serta efek audio visual menjadi hal yang sangat dipaksakan.
Bukan gaya visual yang menjadi masalah. Secara umum, film ini lebih tampak sebagai hasil dari kemauan yang besar kedua sutradara, tetapi tidak diimbangi dengan dukungan teknis setara. Bahkan, akses ekslusif ke masjid Nabawi untuk merekam gambar juga tidak banyak membantu. Alhasil, tragedi cinta keempat tokoh menjadi kacau dalam penyajian.
Dengan berbagai kekurangan aspek teknis, film ini akhirnya bergantung pada interaksi dan dialog antar tokoh. Untunglah para pemain melakukannya dengan cukup baik, terutama Fachri Albar dan Ashraf Muslim. Baris dialog setiap adegan sangat banyak, tetapi tidak membuat film menjadi terlalu cerewet.
Bukan Cinta Malaikat seperti berupaya menyajikan topik masalah yang mendasar dan familiar, tetapi gagal membuatnya serius karena pengerjaan visual dan audio yang begitu ganjil menggelikan. Ibarat pakaian, film ini memiliki jahitan yang tidak konsisten dan terlihat di mana-mana. Jika film adalah tambal sulam gambar dan suara, Bukan Cinta Malaikat menunjukkan jejaknya dengan sangat kentara.
(DEV)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar