Senin, 03 Juli 2017

Fakta Vs Kisah Mistis Dusun di Dieng yang Lenyap dalam Semalam

Liputan6.com, Dieng - Letusan Kawah Sileri pada Minggu 2 Juli 2017 adalah sebuah pengingat: bahwa Dataran Tinggi Dieng terkenal dengan panoramanya yang indah menyimpan potensi bahaya.

Sejarah mencatat, ancaman bencana nyata di balik kecantikan Telaga Warna, sunrise yang indah, bocah rambut gimbal, kelezatan carica dan kentangnya.

Dieng, dataran tertinggi kedua di dunia --2.000 meter di atas permukaan laut-- setelah Nepal, berlokasi di sisi Barat Gunung Sindoro dan Sumbing. Selain kompleks volkano, dataran itu juga merupakan kawasan candi peninggalan Hindu.

Kawasan itu telah menjadi daya tersendiri setelah ditemukan pada 1814 oleh tentara Inggris. Kala itu, tentara Inggris tak sengaja menemukan reruntuhan candi di tengah danau.

Karena merupakan kawasan volkano, Dieng bak menyimpan 'bom waktu' yang sewaktu-waktu dapat meledak kapan saja. Tanah di kawasan itu labil.

Dikutip dari website Rovicky Dwi Putrohari, ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, rovicky.com pada Senin (3/7/2017), "secara geologi Dieng merupakan sebuah kompleks gunungapi tua yang berada di Jawa Tengah."

"Gunung api Dieng merupakan kompleks gunung api yang memiliki banyak kawah," lanjut keterangan Rovicky.

Kawah-kawah itu kerap mengalami erupsi, yang biasanya diikuti dengan gempa.

Banyak insiden erupsi yang merenggut nyawa manusia. Peristiwa paling mengerikan terjadi pada 20 Februari 1979. Saat itu, salah satu kaldera Dieng, Kawah Sinila meletus melepaskan gas CO2. 149 orang tewas saat itu.

Tugu peringatan bencana hilangnya Dusun Legetang (Wikipedia)

Selain gas beracun, ada juga peristiwa horor yang terjadi di Dieng. Insiden itu disebut-sebut mengingatkan pada sejarah Pompeii di masa lalu.

Kala itu, pada 24 Agustus 79 Masehi, Gunung Vesuvius meletus dahsyat. Awan panas yang disemburkan hingga ketinggian 30 kilometer akhirnya mengguyur dan mengubur sejumlah kota, termasuk Herculaneum dan Pompeii.

Dua kota tersebut terkubur abu tebal dan terlupakan selama hampir 1.500 tahun. Keberadaannya baru terkuak pada 1738, dan baru pada 1863 arkeolog Italia, Guiseppe Fiorelli melakukan ekskavasi.

Lewat ekskavasi, terkuak puing-puing Pompeii. Fiorelli kemudian menyadari bahwa abu lunak di situs Pompeii adalah jejak kematian para penghuninya -- yang tragisnya terawetkan oleh abu. Jumlahnya ada sekitar 1.150 kerangka manusia.

Di Dieng, peristiwa sejenis pernah terjadi. Dusun Legetang, yang hanya berjarak 3 kilometer dari Kawah Sileri, tertimbun longsoran Gunung Pengamun-amun pada tahun 1955. Sebanyak 332 warga dan 19 penduduk dusun tetangga tewas.

"Tahun itu 1955, segala peralatan masih terbatas, jadi sangat sulit untuk mengevakuasi penduduk yang terkubur. Dan pemerintah lokal saat itu membiarkan desa itu terkubur," ujar Alif Fauzi, Ketua Panitia Penyelenggara Dieng Festival kepada Liputan6.com pada Senin (3/7/2017).

Hingga saat ini, penanda dari bencana itu hanyalah berupa prasasti.

Dulunya pascakejadian longsor Gunung Pengamun-amun yang menghilangkan Dusun Legetang, pemerintah selain membangun tugu beton juga memasang prasasti terbuat dari bahan besi.

Prasasti tersebut kemudian ditempelkan di dinding beton bertuliskan huruf kapital dengan ejaan lama, yaitu "TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955."

Seperti halnya Pompeii yang desas-desus bencana dijatuhkan karena tindak-tanduk orangnya, demikian pula dengan Legetang.

Banyak warga lokal mengatakan bahwa tertimbunnya Legetang karena penduduknnya yang tak tahu diri. Diberi kesuburan tanah, tapi berperilaku tak elok.

Benarkah? Berikut 2 fakta tentang Legetang. Liputan6.com mengutip dari berbagai sumber dan wawancara dengan penduduk lokal:

Saksikan video menarik tentang Dieng berikut ini:

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search