Senin, 10 Juli 2017

Kisah Mayor Abdullah Sang Tukang Becak

tirto.id - Abdullah adalah satu dari 90 persen orang Indonesia yang buta huruf pada 1945. Seperti kebanyakan orang di masa itu, tanggal lahirnya pun tak diketahui. Pemuda asal Gorontalo ini, "Sewaktu masa kanak-kanaknya ia diambil sebagai anak angkat dari keluarga pelaut berasal Madura, dan keluarga inilah yang membesarkan pemuda Abdullah," tulis Radik Djarwadi, dalam buku Pradjurit Mengabdi Gumpalan Perang Kemerdekaan Bataljon Y (1959). Kawan atau orang terdekatnya kerap memanggilnya Dullah.

Dullah remaja "kerjanya ialah berlayar keluar-masuk pelabuhan Surabaya [….] Waktu ada krisis di Surabaya ia menjadi pengendara becak dan dalam zaman Jepang pun ia terus setia pada becaknya [….] Kemudian setelah Proklamasi tahun 1945, dia masih hidup mengendarai becak di kota Surabaya," demikian dicatat surat kabar Merdeka (12/10/1950) dalam artikel "Tewas dalam Melakukan Tugas untuk Ibu Pertiwi: Letkol Sudiarto dan Major Abdullah." 

Tapi, Abdullah tak sekadar menarik becak untuk bertahan hidup. Di masa pendudukan Jepang, menurut catatan Radik Djarwadi, dia masih sempat ikut latihan Jibakutai (Pasukan Berani Mati). Sebelum ikut Jibakutai, dia juga bergabung di serikat penarik becak Surabaya.

Waktu masih jadi penarik becak ketika Republik Indonesia baru berdiri, Dullah akan bermurah hati jika penumpangnya adalah orang-orang yang bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). "Jika becaknya diangkut oleh salah seorang anggota TNI, maka si penumpang itu tidak usah membayar. Sebab katanya adalah untuk kepentingan negara," tulis Merdeka.

Orang yang pernah menjadi penumpangnya adalah Andi R. Ahmad Aries. Ia adalah pelaut, Komandan Pangkalan Republik di bekas pangkalan Modderlust di Surabaya. Andi Aries mengenal Dullah. Setelah kedatangan pasukan Sekutu, yang terdiri tentara-tentara Inggris ditempel pasukan Nederlandsch IndiĆ« Civil Administratie (NICA) Belanda, suasana di Surabaya makin panas. Apalagi menjelang pecahnya Pertempuran 10 November 1945. Tentara Inggris yang kebetulan baru menang Perang Dunia II tentu bukanlah lawan mudah bagi orang-orang Indonesia.

Saat Surabaya dalam situasi panas itu, Dullah meninggalkan becaknya. "Setelah tanggal 10 November 1945, ketika sedang berkobarnya pertempuran dengan tentara Inggris ia menggabungkan diri pada TKR Laut dan memimpin regu," tulis Madjalah Sedjarah Militer Angkatan Darat (1951) seperti terlampir dalam buku Pradjurit Mengabdi Gumpalan Perang Kemerdekaan Bataljon Y. "Dalam pertempuran di sekitar Buduran-Sruni itulah pemuda Abdullah memperlihatkan kecakapan dan keberaniannya."

Pasukan kecil Dullah itu dikenal sebagai pasukan Badjak Laut.

"Ia tidak mementingkan segala macam tata cara penghormatan, tapi cukup berwibawa untuk mengendalikan para anak buahnya yang berasal dari rakyat biasa, yaitu pemuda-pemuda yang telah mengalami masa pahit di jaman kolonial Belanda dan penjajahan Jepang, yang berjiwa keras, tertempa oleh perjuangan hidup di lapisan terbawah dalam masyarakat. Tuntutan Abdullah pada anak buahnya hanyalah loyalitas kepada revolusi," aku Suhario Padmodiwiryo alias Haryo Kecik dalam Memoar Haryo Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995).

Pasukan-pasukan yang hanya berpikir soal Revolusi itu tak peduli pada hierarki militer. Pernah mereka tak memberi hormat pada Alexander Evert Kawilarang yang memakai tanda pangkat kolonel.


Beberapa orang perwira, seperti Letnan Kolonel Joop Frederick Warouw, memaklumi sikap itu. Sebab, saat itu adalah masa Revolusi. Namun, ada juga orang yang bersikap sinis terhadap Dullah. Harry Albert Poeze dalam buku Tan Malaka: Gerakan Kiri, Revolusi Indonesia IV (2014), mencatat seorang Mayor bernama Abdul Manan berbicara di belakang, menyebut Dullah sebagai 'supir becak' dengan nada menghina. 

Meski buta huruf, dalam waktu tak lama dia sudah menyandang pangkat kapten. Begitulah Revolusi yang bisa merubah banyak hal.

"Kemerdekaan memberi kesempatan padanya untuk mengembangkan bakat-bakatnya secara bebas yang pada zaman kolonial dirintangi penjajah," tulis Soe Hok Gie dalam Kisah Penumpasan RMS: Gerakan Operasi Militer IV (1965). Dalam buku terbitan militer itu, Soe Hok Gie begitu memuji Dullah. Gie menulis, "kecakapan, kejujuran dan sifat kepemimpinannya yang baik, ia sangat dicintai oleh bawahan-bawahannya."

Di masa Revolusi, banyak perempuan peranakan Eropa terancam. Jika tidak menjadi sasaran pembunuhan, ada saja yang menjadikan mereka pelampiasan birahi orang-orang Indonesia yang mengganas, tak jarang oleh mereka yang mengaku Republiken dan memegang bedil. Tak hanya yang perempuan Indo, perempuan dari kalangan keluarga yang dianggap kebelanda-belandaan tak jarang jadi korban.

Namun Wims Umampan, seorang janda asal Minahasa dan berpendidikan, aman hidupnya bersama Dullah. Padahal di zaman kolonial, juga Jepang, adalah mustahil laki-laki kaum kromo macam Dullah bisa memperistri orang berpendidikan.

"Dengan persetujuannya dan Andi Aries, ia dikawinkan dengan seorang janda berasal dari Minahasa. Adapun istrinja itu seorang guru dan dari padanja ia mulai beladjar A-B-C sehingga pandai membaca dan menulis," tulis surat kabar Merdeka. Mereka kawin sekitar Februari 1947.

Tak hanya istrinya, staf terdekatnya, Kapten F.J. Tumbelaka, juga ikut mengajarinya sehingga "Abdullah dapat membaca, menulis bahkan juga mengenal bahasa-bahasa Belanda dan Inggris secara pasif," tulis Madjalah Sedjarah Militer Angkatan Darat. Meski Angkatan Darat di masa lalu memujinya, sangat sulit menemukan perwira macam Abdullah di masa sekarang.

Menurut sumber militer Madjalah Sedjarah Militer Angkatan Darat, bulan April 1947, Dullah diserahi tugas memimpin unit Barisan Pelopor di Lawang yang adalah Pangkalan Angkatan Laut. Dulla saat itu masih dengan pangkat kaptennya. Pasukan ini gabungan dari Badjak Laut dan Pasukan 0032—pimpinan Letnan Soeharto. Setelah Agresi Militer Belanda 21 Juli 1947, Dullah dan lainnya pindah ke arah Blitar.

Bulan Maret 1948, Barisan Pelopor jadi menjadi Depot Bataljon dibawah Dullah. Pangkatnya pun naik jadi mayor. Bulan September 1948, Abdullah dan pasukannya dilebur dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Depot Batalyon yang dipimpin Dullah pun jadi Bataljon XVII Brigade I Divisi I. Panglima Divisi itu adalah Kolonel Sungkono.

Belum lama Batalyon itu terbentuk, pasukan Dullah itu ikut serta melawan tentara-tentara yang terlibat Peristiwa Madiun 1948. Setelah 19 Desember 1948, Dullah membagi dua pasukannya. Dua kompi ditugaskan bergerilya di sekitar Tuban dan dua kompi lain menuju Tretes Lawang.

Mayor Abdullah termasuk komandan penting di sekitar Jawa Timur bagian selatan. Di masa Revolusi, dia sama sohornya Mayor Sabarudin yang dekat dengan Tan Malaka. Bedanya, Abdullah punya nama yang lebih harum ketimbang Sabarudin—yang dikenal kejam dan sering melakukan tindakan indisipliner.


Di sekitar 1948 itu, menurut Harry Poeze, Dullah dan beberapa perwira lain bersekutu dengan Tan Malaka. Karena Tan Malaka lekat dengan kekiriannya, kedekatan itu membuat Dullah juga dianggap perwira kiri. Seperti Slamet Riyadi dan Slamet Sudiarto yang merupakan bagian Divisi Penembahan Senopati di tahun 1948. Seperti edua nama itu, di tahun 1950 Dullah juga ikut dikirim ke Indonesia Timur—menumpas Republik Maluku Selatan (RMS) di sekitar Ambon. Dullah dan pasukan dikenal sebagai Batalyon Abdullah, sesuai nama komandannya.

Kisah Mayor Abdullah Sang Tukang Becak

Sebelum ke Ambon, Dullah dan pasukannya sempat mendarat di sekitar Jeneponto di bulan April untuk melawan pasukan KNIL yang rusuh di Makassar—dalam konflik yang disebut Peristiwa Andi Azis. Pemberontakan serdadu-serdadu KNIL itu adalah penolakan kedatangan TNI dari Jawa. Bulan berikutnya mereka harus bertempur di sekitar Ambon melawan pasukan RMS yang sulit dilawan. Namun beberapa daerah berhasil direbut Batalyon Abdullah.


Menurut catatan Radik Djarwadi, Kepulauan Tanimbar terutama Saumlaki diduduki Batalyon Abdullah pada 25 Juli 1950. Lima hari setelahnya, giliran Tual, kepulauan Kai yang diduduki. Namun, pada 9 September 1950, ketika sang mayor mendarat di sekitar Lafa, dua peleton TNI dihadang satu peleton pasukan RMS. Di sekitar daerah itulah sang mayor tertembak peluru RMS. Berita kematiannya saat itu disangkal banyak orang yang percaya pada gosip bahwa Dullah kebal peluru.

Jenazah Dullah dimakamkan di Pulau Geser. Bekas Batalyon Abdullah belakangan ditempatkan di Sulawesi Selatan dengan nama Batalyon 711, setelah melawan RMS. Di seberang laut, Wims harus menjanda lagi. Suaminya yang tak pulang itu tinggal nama, yang belakangan menjadi nama jalan di Lawang, Jawa Timur.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi

(tirto.id - pet/msh) </b>

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search