Sabtu, 29 Juli 2017

Kisah Transmigran Lampung Berjibaku dengan Gajah

KOMPAS.com - Panas matahari masih begitu menyengat di provinsi paling selatan Pulau Sumatra pemilik semboyan "Sai Bumi Ruwa Jurai", Lampung kala itu. Tepatnya di desa Tegal Yoso, Purbolinggo, Lampung Timur, senyum seorang wanita tua begitu cerah, secerah kerudung merah yang ia kenakan saat keluar dari rumah dengan menenteng sebuah "sorok".

Di Lampung, sorok merupakan sebutan untuk sebuah tongkat dengan papan melintang di bagian ujungnya yang biasa digunakan untuk mengumpulkan kembali hasil panen usai proses penjemuran dilakukan.

Kali ini, Kati, nama wanita tua berusia sekitar 60 tahun itu, tengah menyambut hasil panen jagungnya.

Halaman rumahnya yang luas dipenuhi biji jagung yang telah "dipipil" (dipisahkan dari tongkolnya). Dengan bertelanjang kaki, Kati dengan yakin menapaki lantai halaman yang tentu cukup panas setelah terpapar teriknya matahari selama seharian penuh.

Kati dan suaminya, Atmo Parigi (70) telah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk tinggal di kawasan paling ujung sebelum memasuki posko konservasi gajah, ERU (Elephant Response Unit), Taman Nasional Way Kambas tersebut.

Baca juga: Berkah Buah Naga di Tanah Gersang Para Transmigran

Transmigran asal Jawa Tengah

Atmo Parigi berkisah, ia yang dilahirkan di Wonogiri, Solo, Jawa Tengah bertransmigrasi ke Ibu Kota untuk tinggal bersama pamannya pada tahun 1950. "Saya dibesarkan paklik (paman) saya waktu itu. Tapi tiba-tiba keadaan berubah," kisah Atmo saat ditemui Kompas.com di kediamannya pada Jumat (28/7/2017).

Pada tahun 1965, lanjutnya, berdirinya rezim Orde Baru dan naiknya Soeharto ke panggung kekuasaan membuat kondisi Jakarta semakin tak menentu. "Jadi waktu itu ada gonjang ganjing politik Gestapo yang membuat hidup saya menjadi tidak 'jenak' (tenang)," kata dia.

Gestapo sendiri merupakan asosiasi dari istilah "gestapu" yang merupakan akronim dari "Gerakan 30 September" yang merupakan peristiwa semalam dimana tujuh orang perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha kudeta.

Saat itu gerakan gestapu dinilai sama kejamnya dengan tindakan gestapo dalam gerakan Nazi, Jerman.

"Sesampainya di Purbolinggo, saya membeli sebidang tanah dari hasil penjualan tanah di Solo dan membangun rumah sedikit demi sedikit," ucapnya.

Tak lama berselang, ia menikahi Kati yang merupakan tetangganya di kampung yang sama-bertransmigrasi dan mendapatkan enam orang anak. "Tidak hanya saya dan keluarga, di sekitar daerah sini juga ada transmigran-transmigran lain yang juga mengadu nasib di sini," ujarnya.

Para transmigran tersebut tak hanya datang dari Solo. Namun ada juga yang datang dari Kebumen, Sunda hingga Banyumas.

"Hingga saat ini masih ada blok-blok yang mengatasnamakan nama daerah mereka masing-masing sebelum transmugrasi ke Lampung, seperri Tegal Yoso Solo, Tegal Yoso Kebumen, Tanjung Inten Banyumas dan Tambah Dadi Pacitan," paparnya.

Baca juga: Cerita Transmigran dari Jawa yang Dianggap Perambah Hutan

Melawan gajah

Di Lampung Atmo dan istrinya bekerja sebagai petani. Dengan menanam berbagai jenis palawija Atmo mengais pundi-pundi rezeki di tanah rantau yang telah menjadi bagian penting dari hidupannya tersebut.

Pada tahun 1980-an Atmo sempat mengalami kejadian paling tak terlupakan sepanjang hidupnya. Ketika itu dia harus bertaruh nyawa untuk menyelamatkan hasil panenya.

"Saat itu saya menanam padi dan sudah waktunya panen. Saya sudah selesai memotong padi dan menumpuknya di tepi sawah. Tiba-tiba empat ekor gajah datang dan mendekati tumpukan panen saya," kisahnya.

Dia lantas berusaha mengejar gajah-gajah tersebut untuk menyelamatkan penennya. Namun tak disangka-sangka, keempat gajah justru balik mengejar Atmo yang kala itu hanya seorang diri.

"Waktu itu sungai-sungai belum ada lampu, saya tidak tahu di depan saya ada sungai dan saya tercebur saat kondisi air sedang banjir dan saya tenggelam," kata dia.

Ia berenang ke tepian dan berusaha meraih batang pohon terdekat. Ketika tubuhnya berhasil tiba di tepian, ia terkejut karena melihat kawanan gajah masih menunggunya di tepi sungai.

"Saya takut sekali dan berusaha memanjat pohon yang batangnya hanya sebesar paha saya itu. Di bawah gajah menggeram. Kalau dia dorong batang pohon yang saya panjat, sudah pasti saya akan jatuh dan jadi bulan-bulanan si gajah," sebutnya.

Tak lama kemudian ia melihat di seberang sungai ada beberapa orang pegawai kecamatan datang namun tak berhasil melihat dirinya yang tengah berada di atas pohon.

"Waktu itu mungkin keluarga saya curiga kenapa saya tidak juga kembali lalu melapor ke kecamatan. Tapi mereka tidak tau saya di pohon dan tidak tau ada empat gajah di dekat saya karena tertutup semak yang cukup tinggi, saya juga tidak bisa berteriak karena takut gajah akan marah," ucapnya.

Baca juga: Lahan 3 Hektar Tak Diberi, Transmigran Ini Jadi Satpam Bergaji Rp 76.000 Sehari

Para petugas kecamatan kemudian pergi meninggalkan tepi sungai. Atmo pun tak dapat melakukan apapun selain berdoa dan berharap para gajah segera pergi.

"Saya manjat jam 10 malam dan gajah baru pergi jam 4 subuh. Saya langsung pulang dan menemui keluarga saya menangis, dikira saya sudah mati," sebut dia.

Atmo mengatakan, kini ERU cukup membantu dirinya dan petani lain untuk menjaga gajah liar tak memasuki area pertanian dengan melatih sejumlah gajah untuk membantu mengusir kawanan gajah-gajah liar.

Hingga hari ini, hanya ucapan syukur yang dapat dia panjatkan. Syukur untuk kesempatan yang diberikan Sang Khalik sehingga ia dan keluarganya dapat tetap hidup di tanah rantau. Syukur untuk kondisi pertanian yang jauh lebih aman dengan kehadiran ERU yang telah menghadirkan "diplomasi" antara manusia dengan para gajah liar.

Kompas TV Lucu! Induk Gajak Ini Coba Selamatkan Anaknya yang Tenggelam

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search