REPUBLIKA.CO.ID, KARANGASEM -- Rasa syukur tiada tara dipanjatkan Alfian (35 tahun) kepada Allah SWT. Istri tercinta Alfian, Muri Ariani (29) berhasil melahirkan putra ketiga di tengah suasana mengungsi 5 Oktober 2017 lalu.
Sambil berurai air mata, pasangan suami istri dari Kampung Muslim Seren Jawa, Kabupaten Karangasem, Bali ini menyambut kelahiran buah hati yang diberi nama Komang Agung. Namanya serupa dengan gunung suci umat Hindu Bali yang tengah bergejolak sejak sebulan lalu.
"Gunung Agung adalah gunung suci dan tertinggi di Bali. Harapannya putra kami kelak menjadi anak sukses dan berhasil," ujar Alfian kepada Republika.co.id, Senin (16/10).
Muri menceritakan, ia bersama kurang lebih 24 orang dari keluarga besarnya mengungsi di salah satu posko bentukan Dompet Sosial Madani (DSM) Bali di Desa Bukit. Sehari sebelum bersalin, Muri merasakan kontraksi hebat kemudian dibawa segera ke bidan terdekat.
Tensi darah perempuan berambut panjang ini tinggi, sehingga bidan menyarankannya dirujuk ke puskesmas. Dokter yang memeriksa di puskesmas kemudian membuat surat rujukan untuk Muri ke RSUD Karangasem.
Muri pasrah karena tak mempersiapkan apa-apa untuk kelahiran anaknya. Rumahnya ditinggal begitu saja karena masuk ke dalam kawasan rawan bencana (KRB) Gunung Agung. Gempa-gempa yang masih terasa dari aktivitas Gunung Agung membuatnya trauma untuk pulang dan mengambil perlengkapan yang dibutuhkan.
Muri terus berdoa dan berikhtiar agar bayinya lahir selamat. Ia pun berusaha untuk tetap melahirkan normal, sebab jika operasi caesar, maka biaya yang dibutuhkan berlipat ganda. Akhirnya bayi gagah itu lahir dengan persalinan normal. "Setelah beberapa jam, putra saya lahir normal di rumah sakit," ucap dia.
Lingkungan pengungsian sangat riskan dan rentan bagi bayi baru lahir. Alfian dan Muri memutuskan berdiam sementara di rumah salah satu anggota keluarganya yang baru saja mendapat bantuan bedah rumah dari Pemerintah Provinsi Bali.
Pasangan suami-istri ini pun tinggal di rumah yang terletak di tengah kebun. Namun, Alfian sudah memastikan lokasinya masuk ke dalam zona aman.
Alfian yang berasal dari keluarga kurang mampu berharap bantuan dermawan untuk meringankan biaya persalinan dan perawatan selama istrinya melahirkan. Ia masih belum melunasi pembayaran di rumah sakit. Keluarga masih kekurangan uang, apalagi sejak ia tidak lagi bekerja setelah Gunung Agung ditetapkan status awas atau level empat sejak 22 September lalu.
Kekhawatiran juga dirasakan ibu-ibu pengungsi yang memiliki bayi, seperti Dayu Putri (22), pengungsi asal Desa Ababi, Kelurahan Abang, Karangasem. Putrinya, Ayu Desiana Putri (9 bulan) terserang batuk dan flu selama berada di pengungsian.
Dayu menetap sementara di Posko Pengungsian Gedung Olah Raga (GOR) Kompyang Sudjana, Kota Denpasar. Sebelumnya, ia menumpang tinggal di rumah kenalannya di Abiansemal.
Hal paling ditakutinya dari erupsi Gunung Agung adalah asap dan awan panas. Demi si buah hati, Dayu rela mengungsi jauh bersama keluarga besarnya yang berjumlah tujuh kepala keluarga. "Sementara paman saya yang masih berada di Ababi untuk ikut menjaga rumah. Namun, dua kali sepekan pasti datang ke sini," kata Dayu.
Flu dan batuk, kata Dayu, adalah penyakit umum pada bayi. Meski hidup di tengah pengungsian, Dayu mengaku tidak kesepian karena pengelola posko mencukupi semua kebutuhan pengungsi dengan baik. Sesama pengungsi pun bisa saling bersosialisasi dan berinteraksi setiap harinya.
Posko Induk Kompyang Sudjana sementara dihuni 37 kepala keluarga (KK) pengungsi atau sekitar 132 jiwa. Mereka terdiri dari 16 orang anak usia 0-5 tahun, 37 orang anak, 69 orang dewasa, dan 10 lansia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar