Lokasi penyerangan terhadap Presiden Soekarno di Perguruan Cikini, Jakarta Pusat. Foto: MTVN/Faisal
Jakarta: 30 November 1957 menjadi catatan hitam dalam lembar-lembar sejarah bangsa. Tragedi Cikini, begitu kejadian ini dikenal, disebut-sebut sebagai aksi terorisme pertama setelah Indonesia merdeka.
Tragedi Cikini begitu menggemparkan bangsa Indonesia saat itu. Pasalnya, aksi terorisme ini menyasar presiden Indonesia pertama sekaligus bapak proklamator, Soekarno.
Kejadian ini berawal dari kedatangan Presiden Soekarno ke Perguruan Cikini di Jalan Cikini, Nomor 76, Jakarta Pusat, untuk memenuhi undangan Johan Sirie, Direktur Percetakan Gunung Sari, dan Sumadji Muhammad Sulaimani, Kepala Perguruan Cikini dalam rangka peringatan ulang tahun ke-15 sekolah itu.
Budiono Kartohadiprodjo, salah seorang korban selamat dari Tragedi Cikini masih ingat betul bagaimana perayaan yang awalnya penuh canda tawa anak-anak seketika berubah menjadi jeritan dan kepanikan.
"Saya mendengar Bung Karno akan pulang, karena saya senang dengan hal-hal yang sifatnya ramai-ramai, saya langsung lari ke depan menunggu di pinggir mobil Bung Karno," ujar Budiono kepada Medcom.id, Kamis 30 November 2017.
Budiono mengatakan ia sempat berhadapan dengan Bung Karno yang saat itu hendak masuk mobil. Namun, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang begitu memekakan telinga. Suasana seketika berubah mencekam.
"Ketika granat pertama meledak, Bung Karno langsung diselamatkan oleh ajudannya. Suasana langsung kacau. Kondisinya gelap, banyak orang teriak-teriak minta tolong. Banyak sekali rintihan orang," terang Budiono.
Tak lama setelah itu, granat kedua kembali meledak. Kali ini jaraknya sangat dekat dengan tempat Budiono berdiri. Butuh waktu beberapa saat bagi Budiono bahwa dirinya terluka terkena serpihan granat.
"Jaraknya sekitar 1,5 meter. Saat itu saya tidak menyadari saya terluka, karena memang tidak terasa sakit. Lalu saya pegang dada saya, ternyata berdarah. Saya tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Darah saya keluar terus, napas saya tarikannya terus mengecil" lanjut Budiono.
Dalam peristiwa malam itu, Bung Karno berhasil diselamatkan oleh ajudannya yang sigap membawa Bung Karno bersembunyi ke rumah warga terdekat. Sementara mobil Bung Karno mengalami kerusakan berat.
Budiono diselamatkan oleh tim yang mencari korban, yaitu Mayjen Aziz Saleh. Oleh Aziz, Budiono dibawa ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan pertama. Tak lama setelah itu, dokter memutuskan mengambil tindakan operasi.
"Saya termasuk korban berat yang hidup. Ketika ledakan kedua itu terjadi, dokter mengatakan ada serpihan granat di tubuh saya, tepatnya masuk ke paru-paru," lanjut Budiono.
Ia menceritakan saat itu dokter memiliki dua pilihan, mendiamkan serpihan granat itu tetap berada di paru-parunya, atau mencoba mengangkat serpihan tersebut keluar dari paru-parunya.
"Ternyata dokter memutuskan untuk mendiamkannya, karena kalau memaksa diangkat, risikonya sangat besar. Dan ternyata didiamkan tidak apa-apa juga," tukas Budiono.
Siapa sangka, Tragedi Cikini masih terus menghantui Budiono bertahun-tahun setelah kejadian tersebut terjadi. Cita-cita Budiono untuk menjadi pilot harus kandas. Bekas operasi pasca terkena serpihan granat menggagalkan dirinya untuk bergabung ke akademi Angkatan Udra Republik Indonesia (AURI).
"Saya ikut tes di Bandung, dan saya salah satu yang lulus dengan nilai terbaik. Namun saat saya menyerahkan riwayat kesehatan dari dokter, saya dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk bergabung menjadi taruna AURI," imbuh Budiono.
Riwayat kesehatan Budiono menerangkan dalam proses operasi pasca terkena serpihan granat dalam Tragedi Cikini, dokter memutus salah satu pembuluh jantung Budiono, "Pembuluh jantung saya sudah menggunakan sambungan. Karena itu saya tidak bisa jadi pilot. Cita-cita saya runtuh di situ. Peristiwa Cikini benar-benar menggeser jalan hidup saya," tukas Budiono.
(FZN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar