
Namanya Madina. Ia baru menginjak enam tahun saat tubuhnya tergeletak kaku. Tubuhnya yang mungil diserempet kereta api di perbatasan Balkan. Madina meninggal tanpa sempat melihat London, kota yang selalu ia impikan.
Madina adalah putri pasangan Rahmat Shah Husseini dan Muslima Husseini yang berasal dari Afghanistan. Keluarga Husseini pergi meninggalkan Afghanistan menuju Inggris pada 2015 silam.
Mereka bergabung dengan ribuan imigran lainnya yang melintasi rute Balkan, wilayah Eropa bagian tenggara, menuju Eropa Barat. Beberapa negara yang termasuk ke dalam wilayah Balkan antara lain Kroasia, Serbia, Montenegro, Slovenia, Albania dan Bulgaria.

Cerita bermula ketika Madina dan lima orang saudarannya tiba di perbatasan Kroasia. Menurut sang ibu, Muslima, mereka dicegat oleh polisi Kroasia dan diminta kembali ke perbatasan Serbia.
Nahas, saat berjalan menjauh dari perbatasan, tanpa sadar mereka berada di sepanjang jalur kereta api yang gelap.
"Kami mendengar suara yang sangat keras; sebuah kereta yang datang dengan cepat dari arah belakang," kata Muslima seperti dilansir AFP, Sabtu (9/12).
Muslima masih ingat betul betapa keras jerit tangisnya saat itu. Ia mendapati putrinya, Madina, tergeletak dengan genangan darah dan kepala yang hancur. Peristiwa kelam itu terjadi pada November (20/11) silam.
Madina pun dikebumikan di Sid, sebuah kota perbatasan di Serbia bagian utara. Tidak jauh dari kuburnya, ada tiga tumpukan tanah kecil lainnya bertuliskan nama imigran lain yang sudah lebih dahulu meninggal. Papan kayu itu bertulis nama Hamidi Hadere (1930-2015), Abu Shafar Mustafa (1970-2016), dan Mohamadi (1946-2016)--yang nama depannya sudah tidak dapat dibaca lagi.
Baca Juga :

"Kematian Madina merupakan peringatan bagi Uni Eropa dan pemerintah bahwa banyak orang masih berada dalam situasi yang berbahaya di Balkan," kata Andrea Contenta dari Medecins Sans Frontieres (MSF).
MSF, atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan 'Doctors Without Borders', adalah sebuah organisasi kemanusiaan independen yang memberikan bantuan darurat bagi masyarakat yang terkena dampak konflik bersenjata, bencana alam, serta orang-orang yang tidak mendapatkan layanan kesehatan.
"Praktik meminta para imigran agar pergi dari perbatasan Uni Eropa akan terus membahayakan kehidupan manusia," tambahnya.
Menurut MSF, setidaknya 143 imigran meninggal di wilayah Turki dan perbatasan Uni Eropa hingga akhir November 2017. Beberapa korban meninggal disebabkan oleh kecelakaan mobil dan kereta api, dan bahkan bunuh diri.
Contenta menuturkan, angka tersebut hanyalah angka yang diketahui publik.
"Kita tidak tahu berapa banyak orang yang telah kehilangan nyawanya saat menyebrangi wilayah (Eropa) ini," tutur Contenta.

Sementara itu, Rahmat Shah Husseini, menangis terisak di atas pusara putrinya. Sesekali ia melihat foto-foto putrinya di ponsel. Baginya, Madina tampak begitu menggemaskan dengan rambut pendek dan senyumnya. Foto itu diambil dua hari sebelum putrinya itu meninggal.
"Dia sering bertanya, 'Apakah kita sudah di sana? Apakah ini London?'," kenang pria berusia 39 tahun itu.
Husseini bercerita kala dirinya pergi dari Kabul, Afghanistan, bersama 14 anggota keluarganya. Ia memilih pergi dari Afghanistan setelah menerima ancaman karena telah bekerja untuk pasukan Amerika Serikat (AS).
Saat ketika peristiwa nahas itu terjadi, Husseini sedang tidak bersama keluarganya. Ia merasa begitu menyesal dan bersalah.

Menurut Rahmat, istrinya Muslima kala itu pergi dengan lima orang anaknya dari Serbia, termasuk Rashid (15), anaknya yang bisa berbahasa Inggris. Mereka pergi dengan kondisi keuangan yang sangat sulit.
Suatu sore, Muslima beserta anak-anaknya diturunkan dari taksi di dekat perbatasan. Setelah melewati lapangan dan pagar berduri, akhirnya mereka mengetahui bahwa saat itu tengah berada di Kroasia.
Saat petugas polisi tiba, Muslima meminta untuk diberikan suaka. Ia juga memohon agar para petugas itu menunggu paling tidak sampai esok hari setelah anak-anaknya beristirahat.
Tapi permintaannya itu ditolak. Polisi mengantar mereka ke jalur kereta api dengan lampu rambu yang sudah menyala--menandakan kereta akan segera melintas. Namun, polisi itu pergi meninggalkan mereka. Muslima mengingat betul peristiwa itu.
"Tidak ada yang memberi tahu kami bahwa kereta api akan segera melintas," tutur Muslima.

Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri Kroasia membantah keterangan tersebut dengan mengatakan bahwa Muslima telah diminta "secara sukarela" agar kembali ke Serbia.
Muslima membawa tubuh putrinya yang mulai kaku itu ke sebuah ambulans. Namun menurutnya, ia dipaksa keluar dari ambulans. Mereka bahkan terpaksa kembali ke jalur kereta api yang terlihat menakutkan itu.
Di Beogard, Serbia, keluarga besarnya baru mengetahui kematian Madina dua hari kemudian. Esok paginya, mereka diantar ke kota Sid dan diberitahu bahwa Madina harus segera dimakamkan.
Rahmat menolak. Ia meminta agar putrinya tidak dikuburkan di sana karena baginya itu sebagai tindakan yang tidak menghormati tradisi keluarganya.
"Kuburkan kami bersamanya!" pekik Rahmat Shah. Namun akhirnya, ia menyerah dan merelakan anaknya dimakamkan di sana, bersama dengan makam-makam imigran lain.

Menanggapi apa yang terjadi pada keluarga Husseini, Pemerintah Kroasia menegaskan bahwa polisi perbatasan Kroasia tidak boleh disalahkan atas kecelakaan dan kematian Madina. Apalagi menurutnya, kecelakaan itu terjadi di Serbia.
Di sisi lain, Juru Bicara pemerintah Serbia yang menangani permasalahan pengungsi mengklaim telah membayar semua biaya makan dan akan memenuhi setiap keinginan keluarga korban.
Meski dengan rasa kecewa, Rahmat ingin segera pergi meninggalkan Sid dan Serbia, tempat putrinya disemayamkan. Kekecewaan lagi-lagi harus ia terima. Dirinya terpaksa keluar Serbia tanpa adanya sertifikat kematian putrinya, yang akan ia perlukan di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar