TRIBUNNEWS.COM, BETUN --Serangan buaya terhadap manusia semakin meningkat intensitasnya belakangan ini. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi NTT mencatat sedikitnya 41 warga NTT kehilangan nyawa karena diterkam buaya.
Serangan terbanyak terjadi di Pulau Timor seperti di Kabupaten Malaka, TTU, TTS dan Kabupaten Kupang. Pada awal tahun 2018 ini serangan buaya di Kabupaten Malaka sudah menewaskan empat orang.
Ditemui di kediamanya, Rabu (14/3/2018), pawang buaya di Besikama, Kabupaten Malaka, Alfonsius Seran Kauk mengatakan buaya menyerang manusia karena merasa terusik, bahkan disakiti karena sering dipukul, dilempar dan dipotong hingga mati.
Alfons menjelaskan, sesuai kepercayaan setempat, buaya adalah penunggu sekaligus penjaga laut dan sungai.
Pada zaman dahulu setiap orang yang masuk ke wilayah buaya wajib memberitahu dan minta izin. Yang mencari ikan dan kepiting wajib meminta izin kepada tuan tanah agar buaya tidak marah dan memangsa manusia.
Namun, pada zaman sekarang banyak orang ke laut atau ke sungai tanpa izin kepada pemiliknya. Tak hanya itu, demikian Alfons, perilaku manusia zaman sekarang sering melanggar larangan yang diyakini masyarakat setempat.
Menurut dia, hal-hal yang dilarang bagi setiap orang yang yang masuk ke wilayah laut, yakni dilarang berhubungan intim serta makan dan minum dalam posisi berdiri.
Selain itu, sebut Alfons, dilarang mencuri benda-benda milik orang lain di wilayah laut, tidak boleh menyanyi dan tidak boleh membuka musik, baik menggunakan handphone (HP) maupun alat lainnya serta tidak memainkan gitar sambil bernyanyi.
Baca: Kisah Wanita Bali Meninggal Lalu Hidup Lagi, Kini Ia Mendapat Gelar Baru
Sejumlah larangan ini, kata Alfons, masih diyakini para orangtua hingga sekarang. Ketika seseorang mencari ikan dan kepiting di laut atau kali harus minta izin kepada buaya sebagai tuan tanah. Bila mengabaikan larangan tersebut, cepat atau lambat akan terjadi sesuatu pada dirinya atau keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar