Minggu, 11 Maret 2018

Kisah Rubianto Berjualan dan Reparasi Topi Laken Sejak 1974

Rubianto, penjual topi laken di Pasar Besar Batu, bersama barang dagangannya yang digantung, kemarin.

Topi laken biasanya sering dipakai para petani di Kota Batu. Rubianto pernah mengalami kejayaan dalam penjualan dan reparasi topi ini. Kini, kondisinya sepi. Meski begitu, Rubianto tetap berjualan topi laken karena menganggap tren topi laken tetap eksis.

Cuaca mendung dan udara yang lumayan sejuk di dalam Pasar Besar Batu membuat beberapa pedagang tidur di antara tumpukan dagangannya. Tampak seorang pria paruh baya ikut terlelap di antara dagangan topinya. Beberapa pedagang di sana kemudian berteriak dari jauh, membangunkan si bapak tua. Setengah bangun, Rubianto, penjual topi laken itu, menyapa ramah dan mempersilakan koran ini melihat-lihat dagangan topinya.

"Silakan. Harga mulai Rp 125.000 sampai Rp 500.000," ujar Rubianto kemarin (10/3).

Sambil menemani koran ini melihat-lihat, Rubianto mengingat-ingat ketika dia mulai merantau ke Kota Batu. Sejak 1971, ketika dirinya berusia 23 dan waktu itu masih bujang, Rubianto nekat hijrah dari Blitar ke Malang untuk mencari peruntungan. Tekadnya, dia ingin mengubah nasibnya dari seorang petani kecil.

"Awalnya saya buka konveksi di plaza batu, kecil-kecilan, dengan modal seadanya. Lalu, tahun 1974 saya jualan topi," kata dia.

Ide menjual topi muncul ketika dia melihat para peternak dan petani pada masa itu sering mengeluhkan topi yang mereka gunakan gampang rusak. Memang, kala itu, topi-topi terbuat dari anyaman. Karena sempat berkenalan dengan juragan topi di beberapa daerah di Jawa Timur, Rubianto akhirnya berani menjual topi impor. Tapi, bukan topi baru, melainkan second. "Kalau yang punya topi mahal ya mandornya, atau tuan tanahnya. Dan itu belinya di Surabaya, bukan di Batu," ucap pria dengan enam anak ini.

Awal membangun usahanya, dia membeli sekitar satu karung topi. Isinya 100 buah. "Ya, dulu harganya satu topi Rp 10.000–RP 50.000 per buah," ujarnya.

Rubianto tampak semringah mengenang masa kejayaannya dulu. Ceritanya, banyak orang yang singgah dan berebut topi second-nya. Samar-samar dia ingat, ada pejabat yang juga pernah singgah ke lapaknya dan memuji topi yang dijualnya itu bagus dan selalu mengikuti tren.

"Dulu, 100 buah topi saja saya laku per minggu. Paling lama 20 hari," kata dia bernostalgia.

Rata-rata, topi yang didatangkan Rubianto ini berasal dari Kansas dan Texas. Beberapa topi ada juga yang dibuat di Hongkong. Masuknya topi-topi ini tidak hanya dari Surabaya. Ada yang dari Jombang dan Kediri.

"Saya beli kondisi 90 persen. Kalau 80 atau 70 persen, saya betulkan dulu," tambah pria berumur 70 tahun.

Rubianto membuka reparasi topi dan menunjukkan cara memperbaiki topi. "Kalau bikin (topi), saya tidak bisa. Bukan tidak bisa, bahan dan alatnya nggak tahu beli di mana. Kalau ada (bahan dan alatnya), saya bisa. 100 persen yakin," jelasnya sambil terus memeragakan cara reparasi topi.

Berbicara soal keuntungan yang didapatkan pada masa itu, siapa pun tidak akan menyangka bahwa penghasilan dari berjualan topi rata-rata per bulan setara dengan setengah kilogram emas. Itu sudah pendapatan bersih.

"Saya ndak tahu itu berapa. Pokoknya dibelikan emas jumlahnya segitu pada saat itu," tutur Rubianto.
Beda zaman, beda minat, beda keuntungan. Kini, topi-topi dagangannya makin menumpuk di rumahnya. Sekitar 400 topi menghiasi lapak dan beberapa disimpan di rumahnya.

"Sekarang belum tentu 100 biji laku satu tahun," ungkap pria yang hanya mengenyam pendidikan sampai bangku SD ini.

Mulai kapan sepi peminat? Rubianto butuh beberapa menit untuk mengingatnya. "Zamannya Gus Dur pokoknya. Tiba-tiba di sini sepi pengunjung," ucapnya.

Sekarang, dalam seminggu, belum tentu ada satu topi yang laku. Tetapi, meski sepi pengunjung, Rubianto mengaku akan tetap membuka lapaknya, dan selalu percaya pasti akan ada orang yang membutuhkan topinya.

Disinggung mengenai penerus yang akan mewarisi dagangannya, pria yang masih energik ini mengaku tidak akan memaksa putra-putrinya.

"Ya biar anak-anak pilih profesi mereka. Yang penting semua lancar, semua bahagia. Saya tidak mau memaksa. Biarkan Tuhan yang merencanakan," ujar pria yang tinggal lama di Desa Beji ini.

"Yang jelas, dari usaha saya, enam anak saya mentas kuliah, sudah bekerja dan bekeluarga. Jadi, jangan salah. Biar sepi dagangannya, yang penting anak-anak saya semua harus lebih baik dari saya," tutupnya.

Pewarta: Sandra Desi
Penyunting: Aris Syaiful
Copy Editor: Arief Rohman
Foto: Sandra Desi

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search