Minggu, 15 April 2018

Kisah Huang Hua, Mantan Pebulu Tangkis Dunia Asal China yang Menetap di Klaten

KLATEN, KOMPAS.com — Di tahun 1990-an, sosok perempuan asal China ini menjadi sorotan dunia. Kiprahnya di dunia bulu tangkis melesat setelah menjadi pemain perempuan nomor satu dunia.

Namun saat karirnya mencapai puncak, Huang Hua, yang asal Nanning, Guangxi, China itu memilih mundur dari dunia perbulutangkisan. Tak lama setelah mundur, Huang Hua menikah dengan pria asal Klaten, Jawa Tengah dan menjadi warga negara Indonesia.

Setelah 25 tahun menetap di Jalan Mayor Kusmanto, Sekarsulu, Klaten Utara, Klaten, Jawa Tengah, Huang Hua benar-benar tak aktif lagi di dunia bulu tangkis. Ia memilih menjadi ibu rumah tangga, mengurus tiga putranya, dan membantu bisnis properti suaminya.

Saat ditemui Minggu (1/4 /2018) dua pekan lalu di kediamannya, Huang Hua yang didampingi suaminya, Tjandra Budi Darmawan, menceritakan keinginannya dulu pindah dan menetap di Indonesia.

Huang Hua yang kini lancar berbahasa Indonesia juga menceritakan bagaimana susahnya move on dari dunia bulu tangkis. Selama dua tahun awal di Indonesia, Huang Hua mengalami kesulitan karena berada lingkungan baru dan tidak punya teman.

"Setelah pensiun dari tim China sejak tahun 1993, selama empat hingga lima tahun saya seperti susah terlepas dari bulu tangkis. Saya seperti kangen terus bermain bulu tangkis. Namun situasi sepertinya tidak memungkinkan saya main lagi. Dan dan akhirnya saya memilih fokus mengurus rumah tangga," ujar Huang Hua.

Walau tidak lagi bermain, Huang Hua masih mengikuti pertandingan di televisi. Sepuluh tahun setelah pensiun dari timnas China, ia masih sempat berkumpul dengan eks pemain dunia untuk reuni bermain di Jepang.

"Jadi mantan juara dunia kumpul bertanding di Jepang di Osaka," kenang Huang Hua.

Ia juga masih sering berkomunikasi dengan lawan mainnya, mantan pemain kelas dunia asal Indonesia, Susi Susanti. Bahkan sesekali, ia bersama suaminya menyambangi dan berdiskusi dengan Susi di markas pelatnas PBSI di Jakarta.

Setelah lama menetap di Indonesia, tawaran menjadi pelatih tunggal putri Indonesia pun pernah didapatkannya. Namun putri pasangan Huang Yu Hui dan Shi Juan itu tidak menerimanya.

Huang Hua di rumahnya di Klaten, Jawa Tengah.KOMPAS.com/Muhlis Al Alawi Huang Hua di rumahnya di Klaten, Jawa Tengah.
Bagi Huang Hua, melatih sebuah tim butuh totalitas waktu dan pikiran. Keberadaannya sebagai ibu rumah tangga yang harus menjaga tiga anak dan dan tinggal jauh dari Jakarta menjadi alasannya menolak menjadi pelatih pemain putri Indonesia.

"Setelah saya bicara dengan suami dan anak-anak bila saya jadi pelatih saya harus ke Jakarta. Semua waktu harus fokus melatih makanya bagi saya sangat berat. Apalagi bisnis suami saya semuanya di sini," kata Huang Hua.

Menurut dia, menjadi pelatih tidak bisa sambilan. Seorang pelatih yang baik harus mendidikasikan penuh waktu dan tenaganya untuk melatih pemainnya menjadi yang terbaik.

"Semua pelatih yang saya lihat penuh dengan dedikasi dan tidak bisa bekerja sambilan. Jadi pelatih juga harus mengikuti seluruh perkembangan pemain," ungkap Huang Hua.

Khusus tim putri bulu tangkis Indonesia, Huang Hua menilai tim tunggal putri Indonesia masih butuh perjuangan. Ia menilai pemain tunggal putri Indonesia main kurang percaya diri.

"Saya lihat pemain ladies single main kurang percaya diri. Padahal saya lihat mereka latihannya keras lho. Dan sekarang masih dibenahi sama Susi," jelas Huang Hua.

Gimana caranya tumbuhkan percaya diri, Huang Hua menyatakan mental dan teknis mainnya harus kuat. Ia mencontohkan pemain tunggal putri India dan Jepang yang berjuang gigih dan pantang menyerah saat bertanding.

Tak mau kehilangan generasi penerus, Huang Hua pernah mencoba melatih tiga putranya saat masih kecil, yaitu Tjandra Michael (22), Tjandra Christian (18), dan Tjandra William (18) agar tertarik bermain bulutangkis. Namun rupanya tiga putranya itu tak tertarik.

"Saat masih kecil saya pernah coba ajarkan mereka latihan. Saya ingin waktu itu anak saya lebih baik dari saya. Tetapi rupanya mereka tidak menyukai bulu tangkis, " kata Huang Hua tersenyum.

Dia sendiri mulai berlatih main bulu tangkis sejak kecil. Ia mengenal bulu tangkis sejak berumur sembilan tahun.

Dua tahun bermain di tingkat kabupaten, prestasi Huang Hua tidak begitu gemilang. Setelah berumur 11 tahun, ia dipilih masuk tim Propinsi Guangxi.

Uniknya, Huang Hua terpilih bukan karena dirinya menjuarai turnamen tingkat kabupaten atau propinsi. Tim pelatih saat itu memilih Huang Hua masuk karena fisik dan kemampuannya yang bagus.

Empat tahun bergabung di tim propinsi, Huang Hua akhirnya bertemu dengan Chen Yu Niang, pelatih yang ditunjuk pemerintah China saat itu. Ditangan Chen, Huang Hua menjadi pemain yang matang hingga menjadikannya pemain bulutangkis top dunia di era 1990-an.

Menurut dia, sebelum berkiprah menjadi pelatih, Chen yang masih bersaudara dengan Tjandra (suaminya), pernah tinggal di Indonesia. Chen pindah ke Hongkong kemudian diminta wakil perdana menteri saat itu untuk melatih tim bulutangkis putri China.

Awalnya Chen menolak. Namun Chen kemudian memberikan syarat, ia mau melatih asal ia memilih sendiri pemain-pemainnya. Persyaratan itu diterima pemerintah China.

Chen mulai melatih tim bulu tangkis putri China akhir tahun 1984. Chen memilih Huang Hua untuk dilatih karena menilai dia masih lugu. Tak hanya itu, Chen lebih memilik pemain yang belum juara agar mudah dibentuk pola permainannya.

Ia khawatir kalau mengambil pemain yang sudah jadi susah mengubah pola permainannya. Saat itu ia ingin mengubah karakter dan pola permainan seperti yang diinginkan.

"Makanya dia memilih saya karena lugu sehingga masih bisa ditanam apa saja," jelas Huang Hua.

Huang Hua bersama suaminya, Tjandra Budi Darmawan, berpose sebelum bermain ketoprak Rebut Kuasa pada perayaan Imlek di Klaten, Jawa Tengah beberapa waktu lalu. KOMPAS.com/Dokumentasi Tjandra Huang Hua bersama suaminya, Tjandra Budi Darmawan, berpose sebelum bermain ketoprak Rebut Kuasa pada perayaan Imlek di Klaten, Jawa Tengah beberapa waktu lalu.
Setelah berumur 20 tahun, karir Huang Hua mulai menonjol. Tahun 1991, Huang Hua menyabet gelar pemain nomor satu dunia. Saat itu pula berbagai gelar kejuaraan dunia  disabetnya.

Saat karirnya menanjak, Huang Hua terserang penyakit infeksi pankreas. Selama 40 hari, ia dirawat di rumah sakit. Saat menjalani perawatan di rumah sakit, Huang Hua dilamar Tjandra, pria asal Klaten, Jawa Tengah.

Huang Hua menerima pinangan Tjandra dan akhirnya menikah tahun 1993. Tak lama kemudian mereka menikah dan memutuskan tinggal di Indonesia.

Meski memiliki modal sebagai pemain nomor satu dunia, Huang Hua tak mengikuti jejak Susi Susanti yang berbisnis peranti bulutangkis. Pasalnya, namanya tidak sebesar Susi Susanti di Indonesia.

"Nama saya kurang besar untuk membuat itu. Saya sekarang malah pintar buat bakpao. Siapa tahu bakpao saya laku," ujarnya.

Tjandra mengenal Huang saat Huang mengikuti turnamen Indonesia Open di Malang tahun 1991. Setelah selesai bermain, Huang Hua diajak Chen, pelatihnya yang berkerabat dengan Tjandra, ke Klaten.

"Waktu itu saya mengikuti Indonesia Open di Malang. Terus pelatih saya, setiap tahun mengunjungi keluarganya di Klaten. Kebetulan saya saat itu sudah selesai main lalu saya diajak ke Klaten. Lalu berkenalan dengan Tjandra. Tetapi kenal hanya sekedar say hallo saja," kata Huang Hua.

Tjandra ternyata menyukai Huang Hua. Tjandra mulai intens ke China untuk lebih dekat dengan Huang..

"Untuk tambah dekat dengan Huang Hua saya sering ke sana. Dan di sana saya belajar bahasa Mandarin selama setengah tahun agar mudah berkomunikasi dengan Huang Hua," kata Tjandra.

Saat akan memboyong Huang Hua, Tjandra mengalami kesulitan. Apalagi saat itu posisi tim Indonesia dan China masih kuat di dunia bulu tangkis.

"Saat itu mau membawa Huang Hua keluar saja kesulitan. Pasalnya Huang Hua menjadi aset negara China saat itu," ujar Tjandra.

Tak hanya itu, ada media di China yang menulis Huang Hua berkhianat setelah menikah dengan Tjandra. Karena itu, Huang Hua memilih tidak bermain bulutangkis setelah menikah dengan Tjandra.

"Kalau Huang Hua main dari Indonesia maka finalnya pasti ketemu China. Kalau ketemu China kalah pasti dikiranya mengalah. Tetapi kalau menang ,Chinanya pastinya nggak senang," ujar Tjandra.

Usai menikah, Huang Hua dan Tjandra tidak langsung tinggal di Klaten. Keduanya memilih tinggal di Amerika Serikat (AS) hingga beberapa tahun. Di AS, Huang Hua belajar bahasa dan Tjandra sekolah di penerbangan.

"Dan tidak sampai seratus jam saya sudah lulus," jelas Tjandra.

Setelah puluhan tahun hidup di Indonesia, Huang Hua sudah akrab dengan masakan Indonesia. Ia menyukai rendang, rawon, ayam goreng hingga nasi kuning.

"Kalau masak masakan jawa belum bisa. Tapi kalau masakan China bisa dan enak," ungkap Tjandra.

Huang Hua bersama suami dan tiga anaknya. KOMPAS.com/Dokumentasi Tjandra Huang Hua bersama suami dan tiga anaknya.
Selain membantu suaminyanya berbisnis propterti di wilayah Soloraya, Tjandra pernah mengajak istrinya itu bermain ketoprak berjudul Rebut Kuasa pada perayaan Imlek 2018. Ia berperan sebagai Jagawara dan Huang Hua memerankan istri Jagarawa.

Tjandra menerima tawaran main ketoporak yang dimainkan warga keturunan tionghoa itu setelah ada permintaan Pemkab Klaten.

Meski sudah lancar berbahasa Indonesia, Tjandra menyatakan terkadang orang masih tersenyum mendengarkan Huang Hua berbahasa Indonesia.

"Orang lain dengarnya lucu. Omongnya masih terbalik-balik," ujar Tjandra.


Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search