Dimas sendiri mengaku tak pernah merencanakan atau bahkan memprediksi iklannya akan menjadi viral. Menurutnya, banyak bagian menarik dari karyanya yang dibuat secara spontan.
"Saya coba buat yang saya pikirkan. Seperti ibu-ibu di dalam magic jar itu spontan. Dan hal-hal spontan itu bisa terjadi karena saya nyaman, tidak ada tekanan," ujarnya saat ditemui CNNIndonesia.com di kediamannya di kawasan Ampera, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Dimas memaparkan bahwa selama ini dirinya menciptakan iklan hanya dengan menjalani langkah-langkah yang masih mengacu aturan periklanan, dengan tambahan improvisasi dan inovasi.
"Pesan yang sederhana tapi tetap efektif penyampaiannya, sama berani berimprovisasi dalam mengambil jalan cerita. Memang tidak semua berhasil, terkadang formulanya sudah sama tapi tidak berdampak apa-apa, makanya harus inovatif," katanya.
Menekuni profesi sebagai sutradara telah dilakoni Dimas sejak 1996, tapi untuk menyutradarai iklan sendiri menurutnya baru dia jalani empat tahun setelahnya. Baginya, itu yang kemudian membuatnya keluar dari zona nyaman.
"Aktif di iklan baru tahun 2000, dulu masih di PH (production house), masih mengerjakan film dan video musik juga, jadi sulit konsen di satu bidang. Akhirnya pada 2006, saya memutuskan harus konsentrasi ranah atau bidang baru," tuturnya.
Demi mengembangkan kemampuan diri pada ranah baru, sejak itu Dimas memutuskan untuk lebih serius di bidang iklan saja. Keseriusannya itu diawali dengan bergabung pada dua PH yang dianggapnya dapat mengelola dirinya dengan benar.
Tantangan yang lebih besar menjadi alasan utama Dimas kemudian yakin mencobanya.
"Iklan memang medannya beda, saingan bukan hanya orang Indonesia tapi juga negara tetangga, sama orang bule kalau kita pitching ya. Dan kita dapat job-nya harus pitching dulu. Aturannya itu PH-nya ada beberapa, masing-masing sutradara kasih treatment, kasih director's treatment, lalu bujet, dan jadwal. Ketiga ini harus sinkron," tuturnya.
Dimas melanjutkan, "Jadi dari situ mau tidak mau kita harus mendorong diri untuk bisa mendapatkan job itu."
Di samping itu, masalah disiplin juga menjadi hal utama yang harus dipatuhinya. Itu berbeda dari dunia film atau video musik yang sebelumnya ia geluti.
"Kalau video musik dan film bisa dibilang masih agak santai, kalau iklan ini kliennya orang kantoran yang orientasinya uang, uang, dan uang. Jadi kalau ngomong harus ada taktiknya, ada dalihnya, tidak bisa hanya oke saja. Jadi memang levelnya beda, tingkat kesulitan lebih tinggi," ungkapnya.
Di sisi lain, Dimas pun menganggap menggarap video musik sebagai ajang mencari pengalaman sebagai seorang sutradara. Sedangkan ia menetapkan iklan sebagai wadah dalam mencari nafkah.
"Saya harus jujur, apresiasi di iklan secara materi memang lebih layak ketimbang di video, video saya anggap sebagai media eksperimen kalau mencari nafkah sulit," ujarnya.
Meski demikian, Dimas tak menampik bahwa besarnya pendapatan yang didulangnya dari iklan sebanding dengan tanggung jawab yang harus diembannya.
"Tantangannya itu bukan hanya presisi saat syuting, tapi menghadapi klien dan agensi itu bisa satu SKS sendiri kalau kuliah," katanya.
Sineas kelahiran 1973 itu memaparkan bahwa saat berhadapan dengan klien, ia harus bertutur kata yang halus tapi juga saklek.
"Memang seni yang berbeda, memang tidak seksi. Orang mana sih dulu yang lihat iklan? Mungkin karena terlalu begitu-begitu saja, makanya banyak orang luar yang mengerjakan."
Atas kondisi tersebut, Dimas berpikir agar tetap bisa hidup dengan pendapatan yang ia peroleh dari menggarap video pariwara, namun, di saat yang sama, dia menikmati pekerjaan itu. Karenanya, ia mengaku cukup selektif dalam memilih iklan.
"Jadi saya tetap pilih-pilih, karena saya ingin tetap senang, enggak ingin menjadi buruh banget. Memang uangnya menarik, tapi tidak mau begitu [asal ambil] amat. Bukan hanya sekedar uang, tapi tetap harus ada senangnya juga," katanya.
Dimas pun mengungkapkan bahwa dua iklan garapannya yang belakangan viral itu berkat kebebasan yang diberikan oleh pihak agensi dan klien. Faktor kebebasan itulah yang lantas dianggap membuatnya lebih lepas dalam menggarap iklan.
Proses Kreasi Iklan Kreatif
Dimas memaparkan bahwa proses kreatif dalam menggarap iklan terbilang cukup panjang. Dia menyimpulkan setidaknya untuk pengerjaan satu iklan kurang lebih menghabiskan waktu tiga minggu. Namun, ia sendiri biasanya memegang dua proyek iklan dalam satu bulan.
Umumnya, tutur Dimas, konsep iklan rata-rata datang dari agensi setelah berdiskusi dengan klien dan menghasilkan konsep dasar yang dinamakan agency board. Setelah itu, agency board itulah yang dilempar ke sutradara, dan kemudian dikerjakan.
"Sutradara macam-macam nih, ada yang menelan mentah-mentah dari agency board, ada yang olah sendiri. Namun tidak menutup kemungkinan olahan itu mental kalau terlalu mengada-ada dan kembali ke agency board," katanya.
"Ada lagi yang memang kolaborasi, jadi si sutradara mengisi banyak agency board atau mengubah. Itu saya modelnya begitu. Banyak mengubah, tapi yang penting tidak esensi dasarnya," lanjutnya.
Tak jarang, Dimas merasakan bahwa banyak pihak yang masih sering mencampuri padahal bukan ranahnya. Itu menjadi hal yang kemudian menghambat prosesnya.
"Proses kreatif itu tidak mudah, karena banyak kepala, dan juga banyak klien yang tidak di bidangnya komentar. Banyak banget, jadi tidak proporsional. Orang marketing, melihat marketing saja, tidak masuk area kreatif," tuturnya.
Oleh karena itu, Dimas menyebut kolaborasi sebagai elemen penting dalam terciptanya karya yang menarik dan tepat sasaran.
"Klien menghormati ide kreatif, agensi secara konseptual, dua pihak ini juga menghormati kita sebagai orang yang mengeksekusi konsep tersebut. Kita pun, harusnya menghormati agensi yang memiliki ide secara konsep dan klien yang punya duit. Bagaimanapun saling menghormati," ujarnya. (res)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar