Selasa, 11 Oktober 2016

Kisah Sukses Nelayan Sendang Biru Malang Jadi Pengusaha

Selasa, 11 Oktober 2016 | 12:40 WIB

Kisah Sukses Nelayan Sendang Biru Malang Jadi Pengusaha

Hasil tangkapan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pondok Dadap, Sendang Biru merosot dari 50-100 ton per hari menjadi 500 kilogram. TEMPO/Eko Widianto

TEMPO.CO, Malang - Pantang menyerah dan berani menghadapi tantangan menjadi pegangan hidup Sih Budi Hari, 48 tahun, nelayan Tamban Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Dia memulai bekerja di laut sejak berusia 14 tahun. Saat anak sepantaran tengah bersekolah, Budi telah mengarungi laut selatan yang dikenal berombak ganas. Berbekal perahu bermesin tempel, Budi memburu aneka jenis ikan tangkap seperti ikan tengiri, kerapu, gutita dan lobster.

Faktor kemiskinan yang memaksa Budi menjadi nelayan. Orang tuanya bekerja sebagai petani tak mampu membiayai pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Karena rumaah dekat dengan pantai Tamban, dia akrab dengan para nelayan. Menjadi nelayan dianggap pekerjaan yang paling mudah untuk mencari uang, meski risiko dan tantangannya besar.

"Untuk makan besok ya mencari hari ini," ucap Budi, Minggu 10 Oktober 2016.

Laut di ujung Pacitan sampai Banyuwangi di Jawa Timur telah diarunginya. Bekerja mulai malam sampai siang hari, Budi telah mengunjungi seluruh pelabuhan ikan di Jawa Timur. Tak puas hanya menjadi nelayan, Budi tertantang untuk memasarkan sendiri ikan hasil tangkapannya. Saat itu, ikan dibeli melalui tengkulak dengan harga murah yang merugikan nelayan.

Setelah membangun jaringan, pada 1983 Budi mendapat jalan memasok lobster ke seorang penguasaha di Surabaya. Saat itu harga lobster sekitar Rp 6 ribu per kilogram, dia mengumpulkan sebanyak satu ton lobster dari nelayan. Tak disangka, sang pengusaha melarikan diri. Sedangkan Budi harus tetap membayar untuk menjaga kepercayaan para nelayan.

nelayan Sendang Biru, Malang

Budi lalu mengajukan pinjaman Rp 6 juta ke kantor perbankan sejauh 10 kilometer dari rumahnya. Lahan sawah satu-satunya milik orang tuanya dijadikan anggunan. Seluruh uang pinjaman digunakan membayar penjualan lobster nelayan. Budi kembali mencari pembeli yang bisa dipercaya. Hingga bertemu dengan pengusaha asal Taiwan yang justru memberi pinjaman Rp 300 ribu untuk membuat kolam penampungan lobster.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search