TAK ADA yang meragukan kualitas persaingan klub sepakbola yang disajikan oleh Liga Inggris. Para klub di Negeri Ratu Elizabeth ini terkenal royal menghamburkan dana besar untuk mendatangkan pemain berkualitas ke tim masing-masing demi meraih prestasi.
Sebut saja Chelsea, yang sejak berada di bawah kendali taipan minyak asal Rusia, Roman Abramovich di tahun 2003, sukses menghasilkan prestasi. Setelah dua tahun dimiliki Abramovich, John Terry dan kawan-kawan akhirnya merasakan gelar juara usai puasa selama 50 tahun.
Kesuksesan Chelsea, diikuti oleh Manchester City sejak dimiliki oleh raja minyak dari Timur Tengah, Sheikh Mansour. Tetangga Manchester United itu berubah menjadi tim kaya raya dengan mendatangkan pemain bintang, sebut saja Carlos Tevez, Yaya Toure, David Silva, dan Sergio Aguero. Terhitung sejak tahun 2009, mereka telah menggelontorkan dana sebesar 500 juta Pounds sekira Rp8,251 triliun.
Hasilnya, City sukses meraih juara Liga Inggris dua musim pada musim 2011-2012 dan 2013-2014. Kala itu Manchester Biru bersaing ketat dengan Setan Merah, lantas tim asuhan Roberto Mancini berhasil menjadi juara dengan perbedaan selisih gol yang lebih baik.
Sinar Liga Inggris terus gemerlap di tengah derasnya persaingan kekuatan uang melimpah. Namun di tengah kegelimangan itu, muncul sebuah klub yang jauh dari kata kaya atau memiliki dana besar yakni Leicester City. Kehadiran Leicester mampu membius pecinta sepakbola lewat perjalanan menuju tangga juara. Bahkan, kisah anak asuhan Claudio Ranieri bak suatu dongeng.
The Foxes -julukan Leicester- pada awal musim 2015-2016 hanya mengeluarkan dana sebesar 50,16 juta euro sekira Rp757 miliar. Hal tersebut terbilang kecil dibandingkan dengan Manchester City yang menganggarkan dana 203 juta euro (Rp2,8 triliun), Man United 146 juta euro (Rp2,05 triliun) dan Liverpool 127 juta euro (Rp1,7 triliun).
Namun siapa sangka dua laga sisa Liga Inggris, Jamie Vardy dan kawan-kawan didapuk sebagai juara. Sebab, Tottenham Hotspur pesaingnya di klasemen ditahan imbang 2-2 oleh Chelsea. Hasil tersebut membuat raihan poin Leicester (77 poin) tak mungkin terkejar oleh Spurs (70 poin).
Atas kesuksesan itu pula, nama Ranieri kembali terangkat. Maklum saja, mantan pelatih Chelsea itu kerap dicap sebagai pelatih gagal di liga domestik. Sosok asal Italia tersebut mampu mengusung permainan kolektif dan konsisten, tak pelak mental juara tertanam dalam diri masing-masing anak asuhnya.
Tak ada yang menyangka langkah Leicester meraih gelar pertama Liga Inggris begitu manis. Dalam perayaannya berbagai kalangan turut mengucapkan selamat sekaligus memuji kesuksesan tim yang berdiri pada 1884 silam tersebut. Kisahnya begitu inspiratif bak dongeng David vs Goliath.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar