Sabtu, 21 Januari 2017

Istirahatlah Kata-Kata; Kisah Hidup Sang Penyair Wiji Thukul

Istirahatlah Kata-Kata; Kisah Hidup Sang Penyair Wiji Thukul

Istirahatlah kata-kata

KLIKBONTANG.COM- Wiji Thukul adalah penyair yang kritis terhadap ketidakadilan penguasa. Rezim Soeharto telah 30-an tahun memegang pemerintahan di Indonesia dan mematikan demokrasi. Puisi-puisi Wiji lugas dan selalu diteriakkan dalam demonstrasi-demonstrasi melawan rezim.

Pada Juli 1996, pecah kerusuan di Jakarta, Wiji Thukul dan beberapa aktivis pro-demokrasi ditetapkan sebagai tersangka pemicu kerusuhan. Wiji lalu melarikan diri ke kota Pontianak. Selama hampir 8 bulan di Pontianak, Wiji tinggal berpindah-pindah rumah bahkan tinggal bersama dengan orang-orang yang sama sekali belum dia kenal.

Wiji mengawali pelariannya dengan ketakukan, karena status baru menjadi buronan. Namun, Wiji tetap menulis puisi dan beberapa cerpen dengan menggunakan nama pena lain. Wiji juga berganti identitas untuk mengelabui administrasi negara, tercatat Wiji menggunakan beberapa nama di dalam pelariannya.

Ada kata-kata Wiji yang begitu mendalam : /menjadi diri sendiri, adalah tindakan subversi di negeri ini/

Di Solo, Sipon istri Wiji Thukul hidup bersama dua anaknya. Sipon ditekan, rumah diawasi polisi, koleksi buku-buku disita dan beberapa kali Sipon digelandang ke kantor polisi untuk diinterogasi. Mei 1998, Wiji Thukul hilang, sebulan sebelum Soeharto diturunkankan rakyatnya sendiri.

Sang penyair meninggalkan anak dan istrinya serta sajak-sajak perlawanan miliknya. Hingga kini, hampir dua dekade kemudian, Wiji tidak diketahui ke mana rimbanya.

Kini kisahnya kembali dihidupkan lewat film Istirahatlah Kata-Kata. Film yang diarahkan oleh sutradara muda Yosep Anggi Noen ini telah diputar di sejumlah festival film dunia, seperti Festival Del Film Locarno, Busan International Film Festival, Rotterdam International Film Fesival, dan lain-lain.

Film Istirahatlah Kata-kata memboyong kisah dan sajak Wiji Thukul yang selama ini ada di buku tersebut ke medium visual. Dari serangkaian kisah hidupnya yang dramatis, Yosep Anggi Noen, sebagai penulis naskah dan sutradara, memilih peristiwa pelarian Wiji Thukul dalam rentang waktu 1996-1998 sebagai latar cerita.

Pilihan ini tentu saja beralasan, dan alasan itu dibeberkan dengan gamblang dari awal film lewat teks narasi yang ditayangkan di adegan pembuka. Dalam teks itu disampaikan bagaimana Wiji menjadi seorang 'menakutkan' bagi pemerintah Soeharto yang mempelopori berdirinya Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kerusuhan yang direkayasa pada insiden Juli 1996 lalu menempatkannya sebagai satu dari daftar orang yang diburu.

Dari pijakan narasi ini, Anggi kemudian menghantar penonton pada kisah pelariannya yang misterius dan terasing. Jalan sunyi yang mendominasi sepanjang film seolah menjadi penanda bahwa hingga kini pun kehadiran Wiji Thukul tidak pernah diketahui dengan jelas, apakah ia hilang atau dihilangkan.

Anggi juga tak melepaskan imej Wiji Thukul sebagai penyair, malah mencoba menerjemahkan sosoknya ke layar dengan menjadikannya puitis, sunyi dan medium untuk berkontemplasi. Menikmati film ini juga kemudian tak jauh beda saat menikmati puisi dalam diam dan penuh tanda-tanda.

Tanda-tanda itu menyebar di hampir setiap adegan, antara lain ekspresi kosong Wiji Thukul, kegelisahan Sipon, anak muda berseragam polisi yang tak waras, hingga pertanyaan akan kartu tanda penduduk. Semua menjadi tanda-tanda yang saling terkait satu sama lain.

Di luar itu, Anggi menyelipkan sentuhan personal Wiji Thukul lewat perhatiannya yang besar untuk Sipon dan anak-anaknya, walaupan dalam masa pelarian. Sisi lain ini menjadi menarik karena jarang terungkap ke publik. (*)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search