KASUS dugaan korupsi dana rehap untuk Rumah Tidak Layah Huni (RTLH) paska gempa di dataran Tinggi Gayo khususnya Bener Meriah 2 Juli 2013, kini tengah bergulir di Pengadilan Negeri Tipikor, Banda Aceh. Hingga Rabu, (24/05/2017), sudah memasuki tahap pemeriksaan terdakwa.
Dalam kasus tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Redelong, Bener Meriah menyeret tiga terdakwa sesuai Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diserahkan pihak Polres Bener Meriah. Kasus ini penyelidikan hingga penyidikan ditangani penyidik Polres.
Ketiganya yakni mantan Kepala Dinas Sosial (Kadissos) Bener Meriah Drs Juanda yang dalam dakwaan disebut sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) pada proyek RTLH, terdakwa Jawahardi (Pegawai Dissos) sebagai PPTK dan Zahirianto (Pegawai Dissos) selaku bendahara pengeluaran anggaran.
Surat dakwaan ketiga terdakwa atas kasus merugikan negara Rp 257 juta dari anggaran Rp 1,9 milar ini, dibacakan Tim JPU diketuai Kardono SH dibacakan di PN Tipikor Banda Aceh pada 17 Maret 2017. Dalam dakwaan dituangkan, dana rehap RTLH Rp 1,9 ini seharusnya untuk merehap 100 unit rumah yang rusak atau retak-retak paska gempa di Bener Meriah.
Dengan rincian; Kecamatan Bukit 25 unit, Wih Pesam 14 unit, Kecamatan Bandar 19 unit, Kecamatan Bener Kelipah 1 unit, Kecamatan Permata 15 unit, Kecamatan Syiah Utama 9 unit, Kecamatan Gajah Putih 6 unit, Kecamatan Timang Gajah 6 unit dan Pintu Rimo Gayo 5 unit.
Namun menurut JPU, dalam pelaksanaan di lapangan perbaikan rumah yang berakhir hingga 31 Desember 2013 ini tidak sesuai mekanisme, sehingga merugikan keuangan negara. "Hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara dalam kasus ini Rp 257 juta dari anggaran Rp 1,9 miliar lebih," demikian tulis JPU dalam dakwaan.
Sementara menurut para terdakwa, terutama eks Kadissos Bener Meriah Drs Juanda yang menjadi terdakwa I dalam kasus ini, mengaku, sebenarnya tidak ada kerugian negara dalam kasus tersebut. Bahkan hitungan auditor independen yang dihadirkan ke persidangan, dana RTLH ini tidak ada yang dikorupsi, dana dikeluarkan sesuai dengan item rumah yang direhap.
"Jadi persoalan ini menjadi kasus, bukan soal tidak selesainya rehap rumah di lapangan. Tetapi bagaimana saya diseret menjadi terdakwa dan masuk penjara. Bagaimana supaya saya tidak lagi menjadi seorang Kadis di Bener Meriah. Di sini ada berbagai macam masalah, ada unsur politis, jabatan, ada ada unsur permintaan yang tidak saya kabulkan," kata Juanda pada media ini.
Juanda menjelaskan, dana Rp 1,9 miliar untuk RTLH sumber Otsus Provinsi Aceh tahun 2013 sifatnya swakelola penuh. Kadissos fungsinya memang menjadi KPA apabila dana tersebut ditransfer ke rekening Dinsos. Namun pada RTLH ini pengelolaannya melibatkan masyarakat yang disebut Komite.
Dana tersebut langsung ditransfer Dinsos Aceh ke rekening Komite Bener Maju yang diketuai Marzuki (tokoh masyarakat), Sekretaris Mahmudi (Tokoh Masyarakat) dan Bendahara Samidi (Tokoh Pemuda). "Dalam kegiatan ini saya hanya sebagai Pembina Komite bukan KPA. Semua anggarannya dikelola penuh oleh Komite yang percairan anggarannya langsung lewat Bendahar Komite," ujar Juanda.
Oleh karena itu, jika kemudian ada kejanggalan dalam pengelolaan anggaran ini yang seharusnya bertanggung jawab penuh adalah pihak Ketua dan Bendahara Komite bukan Kadissos selaku pembina. Namun karena kasus tersebut yang hendak diseret adalah dirinya selaku Kadissos, sehingga dialah yang kemudian dijadikan sebagai terdakwa 1 dalam kasus tersebut.
Untuk menyeret dirinya menjadi seorang tersangka, hingga kini jadi terdakwa sudah tampak sejak awal penyelidikan kasus ini di Polres Bener Meriah. Menurutnya kasus ini menguak setelah RTHL selesai. Anggaran RTLH sudah selesai sejak 31 Desember 2013, sementara kasus mulai mengemuka pada 30 September 2014 atau seminggu sebelum Hari Raya Idul Adha (Lebaran Haji) tahun itu.
Pada 30 November 2014 itu ada permintaan uang menjelang lebaran (uang meugang) yang tidak terkabulkan. Kemudian permintaan tak terkabulkan kembali terjadi lewat telfon pada 22 dan 23 Februari 2015. "Rekaman percakapan itu masih ada sama saya, nanti akan saya berikan kepada majelis hakim. Siapa yang meminta uang itu, nanti juga akan saya sampaikan dalam Pledoi usai tuntutan."
"Permintaan itu angkanya tidak tanggung-tanggung, Rp 150 hingga 200 juta. Tetapi semuanya tetap tidak diberikan karena memang tidak ada korupsi dalam pelaksanaan RTLH ini seperti yang dituduhkan. Namun kalau tidak diberikan iya ancamannya persoalan RTLH ini akan dikasuskan, seperti yang terjadi sekarang ini pada saya. Jadi saya memang sudah tau kalau saya akan begini," katanya.
Diakuinya, dalam pengelolaan dana RTLH tersebut dirinya pernah menerima uang sebesar Rp 41 juta yang diberikan oleh Ketua Komite padanya. Namun uang tersebut, tidak ia nikmati dan Juanda mengaku punya rincian kalau uang tersebut diambil oleh siapa saja.
Uang tersebut harus diadakan oleh Ketua Komite kepadanya karena ada permintaan dari orang yang posisinya di Bener Meriah sebagai pimpinan dari Juanda lagi. "Desakan pengambilan uang bahkan sudah sejak awal dana ini bergulir. Saya diminta pimpinan itu, memotong 10 persen dari anggaran, tapi saya tidak mau, soalnya ini untuk korban gempa jangan ada Pungli," katanya.
Namun apa yang terjadi kemudian, kerugian negara dalam kasus ini besarannya menjadi Rp 257 juta. Ironisnya, menurut Juanda, kerugian tersebut dihitung dari berbagai macam item pengeluaran dinas sosial. Pengeluaran itu terjadi terjadi setelah masa pengerjaan RTLH selesai. "Ada banyak persoalan dengan fakta terbalik dalam kasus ini," ujarnya lagi.
Menurut Juanda, pada awal-awal pemeriksaan saksi, majelis hakim diketuai Hakim Faisal dengan dua anggota Hakim Deny dan Fathan, sempat mempertanyakan, mestinya dalam kasus ini pihak Komite Bener Maju juga harus bertanggung jawab.
Namun demikian yang terjadi malah sebaliknya, bahkan dalam dakwaan, Juanda semakin diberatkan. Pemberatan itu tak lain adalah keterangan dalam BAP yang ia tandatangani. Dalam BAP ini banyak keterangan yang menurut dia, bukan keterangannya tetapi keterangan penyidik itu sendiri atau diduga keterangan saksi lain yang kemudian dituangkan dalam dalam BAPnya.
Pada pemeriksaan terdakwa di PN Tipikor Banda Aceh, Rabu (24/05/2017), Juanda menegaskan kepada majelis hakim untuk mencabut keterangannya dalam BAP penyidik. Sebab, apa yang tertera dalam BAP Polisi tersebut bukan keterangannya. Dan, sebelumnya Juanda mengaku sudah menyatakan mencabut keterangan itu di depan penyidik Polres. Namun Juanda heran, mengapa surat keterangan pencabutan isi BAP tersebut tidak dilampirkan dalam surat dakwaan JPU.
"Saya mencabut keterangan BAP itu pak hakim. Dan saya sudah mencabutnya sejak dari penyidik sebelum BAP saya teken," ujar Juanda dihadapan majelis hakim, JPU dan kuasa hukumnya. Majelis hakim pun menyuruh Paniteranya (PP) Maskur untuk mencatat pencabutan isi BAP tersebut.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang ditanyai soal tidak adanya salinan pencabutan isi BAP milik Juanda ini, mengatakan, dalam kasus RTLH itu pihaknya hanya menjalankan sesuai yang diserahkan penyidik Polres Bener Meriah. Tugas JPU hanya sebatas melimpahkan kasus ke pengadilan.
Jawaban serupa dari JPU juga disampaikan terkait tidak adanya pihak Komite Bener Maju yang menjadi tersangka dalam kasus merugikan negara Rp 257 juta tersebut. Fuji Rahmadian, seorang anggota JPU mengatakan, pihak yang menetapkan tersangka adalam kasus RTLH ini adalah penyidik Polres, sementara pihaknya selaku JPU hanya menerima berkas dan tersangka di tahap dua.
"Dalam surat petunjuk dulu sebelum P-21, pernah kami tanyakan, ada tidak tersangka dari Komite Bener Maju dalam kasus ini. Ternyata hanya ini yang menurut penyidik tersangkanya. Jadi persoalan kenapa pihak Komite tidak ada, itu hanya penyidik Polres bisa menjawab," jelas Jaksa Fuji kepada wartawan usai sidang pemeriksaan para terdakwa, Rabu (24/05/2017). []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar