JARI manis Mochamad Roby terlihat membiru ketika salah seorang dokter di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) membuka perban yang melilit dua jarinya. Bahkan, kuku Roby telah menghitam. Pekat.
Jari tengah dan kelingking Roby itu juga bengkak. Berair. Dokter pun bertindak. Setelah membersihkan luka, dokter segera mengambil jarum suntik dan menyedot cairan bening yang memenuhi ujung jari.
Di ruang inap 611 lantai 6 RSUA tersebut, Roby tidak sendiri. Dia ditemani Yasak. Rekannya satu tim dalam Airlangga Indonesia Denali Expedition (AIDeX) Unit Kegiatan Mahasiswa Pencinta Alam Wanala Universitas Airlangga (Unair). Seperti Roby, Yasak mengalami penyakit yang sama: frostbite alias radang dingin. Bahkan, enam jari di tangannya membiru.
Ya, radang dingin itu menjadi salah satu ''oleh-oleh'' mereka dari pendakian Gunung Denali, Alaska, Amerika Utara. Gunung yang memiliki ketinggian 6.164 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut memang punya suhu ekstrem. Bisa mencapai minus 67 derajat Celsius. ''Saat ini rasanya masih cenut-cenut,'' terang Roby kepada Jawa Pos Selasa (27/6).
Ketidakberesan dua jari kanan itu sebenarnya dirasakan Roby sejak berhasil mencapai puncak Denali pada 15 Juni. Roby penasaran dengan kondisi tangannya yang terus terasa dingin. Saat sarung tangan dibuka, Roby sempat shock. Jari tengah dan manis di tangan kanannya berwarna putih. Pucat. Mati rasa.
Namun, dia tidak bisa banyak berbuat. Pertolongan pertama untuk mengatasi gejala awal frostbite tersebut baru bisa dilakukan setelah dia turun ke kamp lima. Jaraknya mencapai 5–6 kilometer dari puncak. Sampai di kamp lima, Roby langsung merendam kedua tangannya dalam air hangat. Namun, upaya pertolongan pertama itu tidak membuahkan hasil.
Jari tersebut bahkan menjadi biru tua dan menghitam. Kondisi itu juga dialami Yasak. Hal tersebut tentu mengkhawatirkan. Dalam gejala frostbite, kondisi Roby dan Yasak sudah masuk kategori sedang. ''Jari manis saya bahkan sudah masuk kategori parah,'' jelasnya.
Tidak ingin kondisi keduanya makin parah, Muhammad Faishal Tamimi, ketua tim pendakian AIDeX, memutuskan untuk mengevakuasi kedua sahabatnya. Setelah berhasil turun ke kamp empat, keduanya diterbangkan menggunakan helikopter menuju base camp. Faishal memilih berjalan kaki untuk sampai ke base camp.
Pendakian yang berat dan berisiko tinggi itu memang sudah mereka pikirkan secara matang. Termasuk berkorban jiwa raga. ''Saya sudah bilang ke orang tua,'' tegas mahasiswa Jurusan Budi Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK), Unair, tersebut. Juga, tentang kemungkinan operasi kalau jarinya tidak kunjung sembuh dalam beberapa minggu mendatang.
Di antara berbagai gunung bersalju, Denali yang juga disebut Gunung McKinley adalah salah satu yang terberat. Lokasinya dekat dengan Kutub Utara. Karakternya khas. Salah satunya adalah perubahan suhu.
Temperatur bisa berubah dalam waktu singkat. Misalnya, saat tim AIDeX mendaki dari kamp satu menuju kamp dua. Saat awal pendakian, tim hanya mengenakan baju satu lapis. Sebab, suhu mencapai 30 derajat Celsius. Tetapi, dua jam kemudian, temperatur drop menjadi minus 20 derajat Celsius. Angin juga berembus kencang. Para pendaki muda itu pun langsung mengenakan pakaian berlapis-lapis agar tidak membeku kedinginan.
Perubahan suhu ekstrem tersebut juga membuat perjalanan tiga orang itu sering tersendat. Tim harus beberapa kali menunggu cukup lama di kamp hingga cuaca membaik. ''Kami sempat menemui beberapa rombongan yang terpaksa balik karena cuaca buruk,'' ungkap Fais, sapaan akrab Muhammad Faishal Tamimi.
Ekstremnya suhu Denali itu juga disampaikan Yasak. Alumnus jurusan ilmu politik tersebut menerangkan bahwa kesulitan Denali mencapai tiga kali lipat dari pengalamannya mendaki Gunung Elbrus, Rusia. Saat sampai di puncak Denali, ketersediaan oksigen tinggal 60 persen. Kondisi itu membuat pendaki sulit bernapas secara normal. ''Kami akan terus terengah-engah ketika mendaki,'' tuturnya.
Selama pendakian, tim AIDeX juga memilih tidak memanfaatkan jasa porter untuk membantu mengangkut perbekalan. Seluruh barang mereka panggul di punggung. Berat, memang. Tapi, membanggakan. Mereka bisa merasakan kemandirian.
Misalnya, saat ketiganya ingin mendirikan tenda dalam setiap kamp pemberhentian. Sebelum mendirikan tenda, mereka harus mencangkul salju yang akan digunakan sebagai alas tidur. Tingginya bisa sampai setengah meter.
Melubangi salju untuk mendirikan tenda tersebut harus dilakukan agar mereka terlindungi dari badai dan tiupan angin. Teknik menggali salju itu juga membuat kondisi tubuh mereka sedikit lebih hangat.
Selama pendakian, mereka terus berupaya menjaga rasa kangen kepada keluarga di rumah. Salah satunya, membawa perbekalan masakan khas Indonesia. Mulai rendang, empal gepuk, hingga nasi kuning.
Semua makanan tersebut dipersiapkan sejak mereka berada di Indonesia. Rendang dan empal gepuk sudah dibuat matang. Saat pendakian, tim tinggal memanasi lauk tersebut. Setiap beristirahat di kamp, mereka memasak nasi. ''Kami masak sendiri setiap berhenti,'' jelas Faishal, lalu tertawa berderai. Dia teringat membayangkan keanehan orang menyantap rendang di ketinggian 5.200 mdpl. Di tengah salju, di bawah titik beku.
Gogor Waseso, salah seorang senior Wanala Unair yang menjenguk tim AIDeX siang itu, juga mengungkapkan rasa bangga. Dia tidak percaya bahwa impiannya bersama teman-teman angkatan 90-an tentang misi seven summits terus dilanjutkan.
Dia menyatakan, anggota Wanala Unair terus berkoordinasi untuk menuntaskan dua gunung lagi yang belum ditaklukkan. Yakni, Vinson Massif di Antartika dan Everest di Himalaya. ''Kami semua siap solid membantu agar misi ini dapat rampung dan membanggakan almamater,'' terangnya. (*/c14/dos)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar