Memang seruan untuk mengubah undang-undang itu belakangan semakin kuat namun perjalanan tampaknya masih panjang.
Salah seorang perempuan muda yang dipaksa menikah berdasarkan UU itu adalah Shafa (bukan nama sebenarnya untuk melindungi privasinya).
"Ketika sedang belajar untuk ujian, saya jatuh cinta dengan seorang anak laki-laki," tutur Shafa dengan air mata menetes, mengenang ketika dia dipaksa kawin di luar keinginannya pada usia 15 tahun.
"Orang tua saya tidak suka dia. Mereka mengirim saya ke rumah paman. Ketika belajar di sana, seorang tamu yang sering datang mengatakan kepada bibi dan paman bahwa dia ingin menikahi saya."
Shafa -pemeluk Islam yang tinggal di sebuah kampung terpencil di Sri Lanka- menolak. Dia ingin menikah dengan anak laki-laki yang dia cintai setelah menyelesaikan pendidikan menengah.
Walau menolak, paman dan bibinya tetap saja merancang perkawinan dengan pria teman mereka itu.
Setiap kali menolak, diapun dipukuli. Paman dan bibinya bahkan mengancam akan membunuhnya jika dia tidak mematuhi mereka.
"Saya mengiris lengan saya karena tidak ada pilihan," kata Shafa sambil menarik lengan bajunya untuk memperlihatkan bekas luka. "Saya juga minum beberapa obat yang ada di rumah paman."
"Ketika saya sedang dirawat di rumah sakit, mereka menyogok dokter agar bisa membawa saya -bersama dengan botol infus- ke rumah sakit swasta. Beberapa hari kemudian mereka memaksa saya menikah dengan pria itu."

Perkawinan paksa terjadi juga.
Shafa kemudian memutuskan tetap bersama suaminya karena tidak ada jalan ke luar, namun sang suami menduga dia masih menjalin hubungan dengan pacarnya.
"Dia selalu memukul saya, Ketika saya mengatakan sedang hamil, dia mengangkat dan menjatuhkan saya ke lantai."
Suaminya kemudian mengatakan hanya menginginkannya untuk satu malam saja dan sudah mendapatkannya sehingga tidak membutuhkan dia lagi.
Di rumah sakit, Shafa mengetahui sudah kehilangan bayinya karena rangkaian kekerasan yang dialaminya.
Waktu dia melaporkannya ke polisi, tidak ada tindakan serius yang diambil.
Suatu hari dia mendapat telepon dari masjid kampung dan di sana sudah ada suaminya yang setuju untuk mempertahankan perkawinan namun dia menolak.
Beberapa hari kemudian dia mendapat telepon dan pesan dari orang asing yang bertanya, berapa dia harus membayar jika ingin tidur dengannya.
Rupanya suaminya menerbitkan foto dan nomor teleponnya di media sosial dan para penelepon menghinanya dengan kata-kata kasar serta mengatakan, "Kami mendapat nomormu dari suamimu."
"Saya merekam semua percakapan telepon itu. Saya masih punya semua pesannya," tambah Shafa yang tidak bisa menghentikan tangisnya namun tetap ingin menuturkan kisah pilunya.
____________________________________________________________________
Fakta: perkawinan anak- Satu dari tiga perempuan di negara berkembang menikah sebelum mereka berusia 18 tahun
- Negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi adalah Niger (76%0, Republik Afrika Tengah (68%), dan Chad (68%)
- Sebagai wilayah, Asia Selatan memiliki tingkat perkawinan anak tertinggi: 17% perempuan menikah pada usia 15 tahun dan 45% pada usia 18 tahun
- Bangladesh merupakan negara dengan tingkat perkawinan tertinggi di Asia Selatan yaitu 52%, disusul India (47%), Nepal (37%), dan Afghanistan (33%).
- Di Sri Lanka perkawinan anak berusia 15 tahun mencapai 2% dan sebesar 12% untuk usia 18 tahun.
- Hanya enam negara di dunia yang tidak memiliki batas usia menikah, namun banyak yang memberi pengecualian berdasarkan agama atau alasan lainnya dan beberapa negara hukum tidak diperdulikan.
Sumber: Perempuan bukan Pengantin - Pusat Riset Pew
_____________________________________________________________________

Ayah Shafa tidak mau terlibat dengan apa yang terjadi namun ibunya membawanya ke pusat kesejahteraan sosial untuk mendapatkan bantuan kejiwaan dan hukum dalam menghadapi trauma perkawinan.
Kunjungan mereka ke pusat kesejahteraan sosial berlangsung secara diam-diam karena meminta bantuan kejiwaan masih merupakan tabu di Sri Lanka.
Ibu Shafa harus membesarkan lima anak dengan bekerja kasar seharian di kampung. Dia mengungsi dari kampung halamannya oleh kelompok pemberontak Harimau Tamil tahun 1990.
"Saya mengirim putri saya ke rumah saudara saya karena satu insiden. Tidak pernah terpikir hal ini terjadi padanya," katanya sambil menambahkan tidak setuju putrinya dipaksa kawin namun saudara prianya itu tidak mau mendengar.
"Itu perkawinan paksa," katanya. "Saya kini khawatir dengan keselamatannya dan pendidikannya (karena kebohongan yang disebarkan suami putrinya). Dia tidak bisa pergi ke sekolah. Dia tidak bahkan tidak bisa naik bus. Seluruh masa depannya tidak jelas," jelasnya.
Setiap tahun, ratusan perempuan dari kelompok minoritas Islam di Sri Lanka dipaksa kawin oleh orang tua maupun wali mereka.
Pengacara hak asasi, Ermiza Tegal, mengatakan perkawinan di kalangan anak Muslim meningkat dari 14% menjadi 22% dalam waktu satu tahun di provinsi di sebelah timur negara itu, yang disebabkan oleh meningkatnya konservatisme.
Shafa dipaksa menikah ketika berusia 15 tahun namun kelompok pegiat perempuan mencatat sejumlah anak perempuan sudah dipaksa menikah pada usia 12 tahun.
Undang-undang umum Sri Lanka tidak mengizinkan perkawinan di bawah umur dengan batas 18 tahun. Namun undang-undang komunitas yang sudah berusia 10 tahun, yang disebut UU Perkawinan dan Perceraian Muslim atau MMDA, memungkinkan pemimpin komunitas Muslim -yang sebagian besar adalah pria- memutuskan usia perkawinan.
Dan tidak ada batas usia walau perkawinan yang melibatkan anak perempuan 12 tahun membutuhkan izin dari pejabat pengdilan Islam.

Anak-anak perempuan dan ibu mereka sudah menderita selama beberapa dekade namun pegiat perempuan Muslim mulai bergerak untuk mereformasi MMDA walau mendapat ancaman serius dari para ulama dan para pemimpin komunitas yang konservatif.
Sri Lanka sedang merencanakan untuk mengubah konstitusi dan pera pegiat yakin bahwa momennya tepat untuk bertindak.
PBB dan Uni Eropa juga sudah mendesak pemerintah Sri Lanka untuk mengubah MMDA dan undang-undang lain yang diskriminatif.
Namun tidak banyak harapan pada saat ini karena komite yang dibentuk pemerintah sekitar 10 tahun lalu untuk mengkaji MMDA gagal untuk menyusun usulan yang nyata,
Sementara kelompok-kelompok Muslim, seperti Jamiyathul Ulama dan Thawheed Jamaath sejak dulu menentang perubahan.
Bendahara Thawheed Jamaath, BM Arshad, mengatakan organisasinya mendukung reformasi MMDA selama usulannya berasal dari komunitas dan menolak penetapan batas usia perkawinan.
"Baik Islam maupun Thawheed Jamaath tidak menerima perkawinan anak," kata Arshad, "Namun Thawheed Jamaath tidak pernah akan setuju dengan penetapan usia minimum perkawinan."

"Kebutuhan anak perempuan untuk menikah yang seharusnya menjadi kriteria bagi pernikahan."
"Beberapa perempuan mungkin tidak perlu menikah bahkan setelah berusia lebih dari 18 tahun. Adalah hak seseorang yang menikah yang memutuskan kapan mereka menikah," tambah Arshad.
Dia membantah tuduhan bahwa organisasinya mengancam para pegiat perempuan.
Pusat kesejahteraan sosial yang didatangani Shafa dan ibunya sudah membantu lebih dari 3.000 perempuan Muslim dengan berbagai masalah selama tiga tahun belakangan, termasuk 250 korban perkawinan anak.
"Saya harus menjauh dari rumah karena ancaman dari kaum pria," kata pekerja sosial yang mengelola pusat tersebut,. "Saya khawatir mengirim anak-anak ke sekolah."
"Saya harus tinggal di kantor saya dan saya bahkan takut untuk naik becak ke rumah."

Shreen Abdul Saroor -pegiat dari Jaringan Aksi Perempuan, WAN- adalah salah seorang dari sedikit perempuan yang berani untuk mengungkapkan identitasnya, termasuk wajahnya.
"Perkawinan anak adalah pemerkosaan secara hukum," tuturnya sambil menegaskan bahwa usia 18 tahun seharusnya menjadi batas hukum menikah untuk semua komunitas di Sri Lanka terlepas dari kebangsaan dan agamanya.
Seorang anak, menurutnya, belum dewasa secara fisik untuk melahirkan anak yang lain dan mereka kehilangan kesempatan untuk mendapat pendidikan.
"Jika kita lihat anak-anak yang kawin ini, akan berpengaruh kepada semua komunitas. Semua komunitas menjadi mundur," tegas Saroor.
"Pesan saya kepada komunitas Muslim dan para pemimpin agama adalah mohon jangan hancurkan masa kanak-kanak para anak ini."
Walau menghadapi trauma, Shafa adalah murid yang cerdas dan bertekad untuk menyelesaikan pendidikan sementara keluarganya berharap dia kelak bisa mendapat pekerjaan yang baik walau masih banyak tantangan.
"Anak laki-laki datang ke saya dan membuat canda yang kasar jika saya ikut kelas tambahan. Itu gangguan serius. Saya merasa ambruk. Saya tidak mendapat bantuan. Saya tidak tahu harus melakukan apa."
Namun dia tidak mau para penggertaknya yang menang dan mengatakan akan menjadi pengacara.
"Apakah karena Anda ingin membantu korban-korban lain," tanya saya.
"Ya," jawabnya, kali ini dengan senyumnya dan saya bisa melihat tekadnya.
*Shafa bukan nama aslinya untuk melindungi privasi
(ita/ita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar