Sheila Timothy, M. Irfan, dan Jay Subiyakto dalam acara Di Balik Banda, The Dark Forgotteb Trail, Jakarta Pusat, 20 Juli 2017. (BeritaSatu Photo/Dina Fitri Anisa)
Jakarta - Terlepas dari keindahan bawah lautnya, Kepulauan Banda memiliki sejarah panjang dengan daya tarik rempah-rempah pada abad ke-16. Wilayah ini, pernah menjadi pusat perdagangan pala dan fuli (bunga pala) dunia, karena menjadi satu-satunya sumber rempah yang bernilai tinggi hingga pertengahan abad ke-19.
Masa kejayaan Banda ternyata menjadi daya tarik bagi rumah produksi Lifelike Pictures milik produser Sheila Timothy. Menggandeng sutradara tenar, Jay Subiyakto, film Banda The Dark Forgotten Trail bukanlah sebuah dokumenter biasa, karena menjanjikan sebuah suguhan yang tak membosankan.
Menurut Sheila atau yang akrab disapa Lala, banyak orang yang tak tahu asal muasal penjajahan di Indonesia. Akar kolonialisme masuk ke wilayah Nusantara melalui Pulau Banda, lantaran tergiur hasil rempah-rempah (terutama pala) untuk dibawa ke negara masing-masing.
"Sejarah ini perlu dikomunikasikan kepada seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda. Sejarah panjang yang dimiliki Banda, sebagai jalur utama rempah dunia seakan-akan hilang. Kita ingin cerita ini dipahami banyak orang," ungkap Lala saat ditemui Suara Pembaruan, di kawasan Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Menurut Lala, kisah sejarah yang panjang ini dikemas dalam sebuah film dokumenter. Untuk penulisan cerita, dipercayakan kepada Irfan Ramli yang merupakan penulis cerita Cahaya dari Timur.
Menurut sutradara film Banda The Jay Subiakto, pembuatan film ini seperti sudah ditakdirkan karena banyak sekali kebetulan-kebetulan yang membawa dirinya untuk menguak sejarah Banda.
"Saya langsung terjun ke film dokumenter. Kita lihat film dokumenter di Indonesia jarang sekali. Saya ingin film seperti ini harus dibuat banyak dan dipasang di bioskop-bioskop Indonesia. Saya berpikir, kita kok tidak malu sih kalau tidak tahu akan sejarah bangsanya sendiri," katanya.
Menurut Jay, memahami sejarah bukan perkara mudah, sekalipun melalui visual. Oleh karena itu, dirinya mengemas film ini dengan merangkai setiap peristiwa yang ada di Banda, hingga kondisi terkini. Bahkan, Jay menggandeng enam kameramen dari profesi berbeda diantaranya fotografer kenamaan Davy Linggar dan pewarta foto Oscar Motuloh.
"Saya tidak mau yang mainstream dan komersil seperti kebanyakan film sekarang yang kebarat-baratan. Jadi, film ini seperti kumpulan esai gambar, esai fotografi. Kumpulan kolase dengan kaca mata sejarah. Banda punya gambar yang begitu kaya dan lagu yang bagus, supaya film ini tidak membosankan," jelasnya.
Jay menambahkan, Banda sejatinya tak hanya tentang jalur rempah. Banda memiliki banyak keistimewaan yang seharusnya diketahui banyak orang. Sebelum Indonesia merdeka, Banda menjadi wilayah titik nol Nusantara dan tempat orang Eropa berlomba mencari rempah bernama pala yang lebih mahal dari emas.
"Banyak yang tidak mengetahui bahwa pulau Banda atau disebut pulau Run itu ditukar dengan New York, yang sekarang menjadi kota dunia. Sementara, pulau Banda yang ada di sini tidak ada yang tahu. Bahkan, untuk datang saja tidak mau," kata Jay.
Menurutnya, selain akar kolonialisme, di Banda terdapat pula ide-ide kebangsaan yang lahir. "Berapa banyak tokoh bangsa yang dibuang ke Banda? Banyak. Selain itu, pada 1999 ada konflik agama yang sekarang marak juga terjadi. Itu yang ingin saya angkat dalam film ini," jelasnya.
Sumber: Suara Pembaruan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar