Saat Jepang kalah di penghujung Perang Dunia II, Onoda menolak untuk menyerah. Ia juga tak mau mengikuti langkah serdadu lain: hidup menanggung malu atau melakukan hal ekstrem, bunuh diri alias harakiri.
Onoda tetap memilih tinggal di pedalaman hutan di Pulau Lubang, dekat Luzon, Filipina selama 29 tahun, hingga 1974. Ia tak percaya perang sudah berakhir.
Kala itu, saat Perang Dunia II hampir usai, prajurit Onoda tersudut di Pulau Lubang oleh pasukan Amerika Serikat yang merangsek ke utara.
Prajurit muda itu terdesak. Tapi ia diperintahkan untuk tidak menyerah. Perintah yang ia patuhi selama 3 dekade.
Di Lubang, Onoda tidak bersembunyi. Ia terus melakukan survei fasilitas militer dan terlibat dalam bentrokan sporadis. Saat itu, dia keliru membunuh 30 warga yang ia kira tentara musuh.
Dunia telah mengetahui keberadaannya sejak tahun 1950 ketika salah satu rekannya sesama tentara, muncul dari dalam hutan dan akhirnya kembali ke Jepang. Teman Onoda terakhir tewas dalam baku tembak dengan tentara Filipina pada tahun 1972 .
Perintah untuk menyerah berkali-kali ia tampik. Onoda mengira informasi soal Jepang kalah perang, termasuk dari selebaran yang disebar pemerintah Negeri Sakura, sebagai tipuan.
Pengasingannya berakhir saat komandannya yang sudah sepuh jauh-jauh terbang dari Jepang khusus untuk menemuinya pada Maret 1974. Sang komandan membatalkan perintah yang ia berikan sendiri pada Onoda -- yang kala itu menyambutnya dengan tangisan hebat.
Onoda lalu menghormat ke bendera Jepang, bersiap menyerahkan samurainya, dengan mengenakan baju tentara lawasnya yang sudah lusuh.
Pada 11 Maret 1974, Onoda secara resmi menyerahkan pedang samurainya pada Presiden Ferdinand Marcos di Istana Malacanang, Manila. Pada 16 Januari 2014, Onoda meninggal, di usia 91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar