SURATKABAR.ID – Deborah Sumini, warga Pati, Jawa Tengah, seorang mahasiswi dari Institut Pertanian dan Gerakan Tani, Bogor menuturkan kisah memilukan terkait penangkapan atas dirinya yang terjadi pada tahun 1965.
Ketika menuntut ilmu di Institut Pertanian dan Gerakan Tani di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, yang merupakan yayasan milik Partai Komunis Indonesia (PKI), ia masih berusia 18 tahun. Dirinya baru tiga bulan berada di tempat tersebut saat terjadi demonstrasi oleh KAPPI dan KAMI.
Lantaran situasi yang tak kondusif tersebut, mereka dipulangkan. Di sepanjang jalan ia melihat banyak papan nama PKI yang diturunkan, rumah-rumah dirusak. Semua pemandangan tersebut ia saksikan sepanjang jalan dari Bogor hingga Pati, tempat tinggalnya.
Dilansir Bbc.com, ketika itu tanggal 8 Oktober 1965, di mana kakak sulung Deborah sudah lebih dulu ditangkap. Saat itu situasi semakin memanas. Didapati bahwa lemari digeledah. Buku-buku pun diambil. Deborah memutuskan menyelamatkan diri dan tinggal di rumah seorang teman.
Baca Juga: Meski Parasnya Seperti Bule, Mereka Sebenarnya Warga Suku Pedalaman di Indonesia
Namun seseorang ternyata melaporkannya. Tepat pukul 12 malam, rumahnya digeruduk oleh polisi, Pemuda Pancasila, Banser dan Pemuda Marhaen. Rumah didobrak dan Deborah dipukuli hingga tak sadarkan diri. Bahkan di kantor Polres Pati, ia masih mendapatkan siksaan bertubi-tubi.
Setiap detik, sepanjang siang hingga malam, para penyiksa melontarkan pertanyaan serupa:
"Ini dia Gerwani yang mencukil mata para jenderal!"
"Ini tokoh Gerwani yang menyileti penis jenderal!"
"Ini penari Harum Bunga!"
Lantaran tak melakukannya, Deborah menampik semua tuduhan tersebut. Namun bukannya dibebaskan, ia justru mendapatkan siksaan yang lebih kejam. Disiksa oleh sepuluh orang, Deborah mengisahkan bagaimana kakinya diletakkan di bawah kaki meja dan meja tersebut diinjak oleh para penyiksa.
"Dalam kondisi tidak sadar, saya kemudian ditelanjangi. Terus tubuh saya dicolok dengan puntung rokok dan dialiri listrik. Saya baru tahu saya ditelanjangi, setelah terbangun dan mengetahui pakaian saya sudah diganti. Saya tidak bisa membayangkan," tutur Deborah, dikutip Bbc.com, Rabu (30/9/2015).
Penyiksaan tanpa ampun tersebut berlangsung selama lima bulan. Dan pada tanggal 30 april 1966, Deborah dipindah ke LP khusus perempuan di Bulu, Semarang, Jawa Tengah. Dalam ruangan yang seharusnya ditempati 25 orang, ia harus berbagi dengan 56 orang tahanan lainnya.
Tanggal 23 Februari 1971, Deborah akhirnya dipulangkan. Ia mendapatkan kartu penduduk dengan tanda ET (eks tapol) yang menyebabkan dirinya tak dapat bekerja di luar kota. Masyarakat mengecapnya sebagai mantan Gerwani, eks tapol, PKI hingga tuduhan pengkhianat yang membunuh jenderal.
Hal tersebut berlanjut hingga Deborah memiliki anak. Yang kejam, anak-anaknya turut mendapatkan siksaan batin. Mulai dari tak mendapat ranking meski nilai rata-rata 9 dan 10, ditolak diterima masuk SMA Nusantara di Magelang lantaran predikat yang diberikan oleh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar