Pembagian wilayah di Xi'an terbilang unik. Daerah yang tidak terlalu besar itu dibagi menjadi dua bagian, Xi'an Luar dan Xi'an Dalam. Sebagai pembatas Luar dan Dalam, pemerintah setempat membuat tembok besar dan sungai dengan lebar 10 meter yang mengelilingi Xi'an Dalam.
"Tujuannya untuk menjaga keamanan Xi'an Dalam yang rata-rata dihuni para pedagang kaya," jelas Wu.
Xi'an Dalam memang dulunya dihuni oleh para pedagang, baik itu para pedagang asli China, maupun dari manca Negara, terutama dari timur tengah. Sedangkan Xi'an Luar dihuni oleh masyarakat China dari berbagai kalangan.
"Kalau sekarang semua sudah berbaur. Ada 7 juta orang yg menghuni Xian Luar dan 1 juta orang yang menghuni Xian Dalam. Di Xian Dalam banyak sekali orang yang wajahnya seperti wajah Timur Tengah," papar Wu.
Apakah kedatangan para pedagang Timur Tengah juga membawa Islam ke Xian? Menurut catatan sejarah, Islam masuk ke China sejak 1300 tahun lalu yakni pada masa Dinasti Tang. Saat itu, Kaisar meminta bantuan peralatan perang dan prajurit kepada kerajaan di Timur Tengah. Itu dilakukan untuk menyelesaikan perang saudara yang sudah lama terjadi.
"Tapi masuknya Islam bisa jadi lebih dari itu karena jalur perdagangan dengan Timur Tengah sudah dibuka sebelumnya. Bahkan sebelumnya orang-orang dekat sahabat Nabi juga berkunjung ke China. Khusus untuk Xian, mereka datang karena Kaisar meminta bala bantuan prajurit dari kerajaan Timur Tengah," terang Imam Masjid Huajeu, Ismail.
Setelah perang usai, para prajurit Timur Tengah itu tidak kembali ke negaranya. Mereka memilih tinggal di sekitar jalan Huajeu dan akhirnya menjadi perkampungan muslim terbesar di Xi'an. Selain itu, mereka juga membangun masjid Huajeu di Xi'an pada 1300 tahun lalu, yang akhirnya menjadi masjid tertua di China. Bentuknya tidak seperti masjid-masjid di Indonesia tapi dibuat seperti bangunan-bangunan yang ada di China pada umumnya.
"Saat itu katanya mereka mendapat pesan untuk menghargai kebudayaan setempat. Makanya mereka membangun masjid seperti bangunan-bangunan yang ada. Mereka sangat toleran dan menghormati budaya orang," jelas Ismail yang juga Ketua Asosiasi Umat Islam di Provinsi Shaanxi.
Masjid yang menempati lahan sebesar 1.200 meter persegi itu tampak begitu asri dengan pepohonan yang ditata rapi. Bagunan-bangunan di sekitar Masjid juga dibuat meyerupai kuil yang ada di China. Satu bangunan Utama sebagai tempat Salat yang mampu menampung sekitar 1.000 orang. Kemudian ada beberapa bangunan sedang dan kecil sebagai tempat belajar dan ruang para guru.
"Bangunan boleh beda dengan kebanyakan masjid yang ada di Negara lain, tapi fungsinya sama saja," ujarnya.
Saat ini para wisatawan lebih mengenal lokasi Masjid Huajue tersebut dengan nama Gang Muslim. Setiap harinya, orang dari berbagai daerah berwisata ke masjid tersebut. Umat muslim bisa datang gratis. Sedangkan umat non muslim diharuskan membayar sekitar 25 Yuan atau Rp 50 ribu untuk masuk dan menikmati suasana masjid.
Berbagai cinderamata juga melengkapi keragamanan yang ada di Gang Muslim. Wisatawan bisa tawar menawar harga untuk mendapatkan barang-barang khas Gang Muslim dan ornamen China yang diinginkan. "Sebelum beli tanya dulu dan tawar ya," kata pak Wu mengingatkan.
Selain cenderamata, pesona kuliner di Gang Muslim juga begitu menggoda. Yang paling banyak mendapat perhatian para pengunjung adalah toko-toko makanan yang mengolah daging kambing menjadi makanan super lezat.
Ada satu makanan yang paling digemari, yakni Sate. Bentuknya besar, mirip seperti sate Klatak di Yogyakarta. Tapi, jika sate Klatak menggunakan jeruji besi dan tidak berbumbu, maka Sate ala Gang Muslim menggunakan batang pohon dengan panjang 40 cm dan dibumbui rempah-rempah khas China.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar