Rabu, 14 Februari 2018

Kisah LGBT dan Sebatang Ilalang

KIBLAT.NET – Belakangan isu lesbian, gay, biseksula dan transgender (LGBT) kembali mencuat ke permukaan. Hal ini terkait putusan MK yang menolak permohonan uji materi pasal 284, 285, dan pasal 292 KUHP dan juga kicauan Zulkifli Hasan bahwa ada lima fraksi di DPR yang mendukung LGBT. Keributan agak kecil pun terjadi, perdebatan lama bersemi kembali, narasi-narasi usang dicetak ulang dan diedarkan kembali dalam kertas yang lebih lux dan tebal.

Hargai kami!
Akhiri diskriminasi terhadap kami!
LGBT adalah hak asasi manusia!
Kami ingin kesetaraan dan keselarasan!

Itulah sebagian narasi-narasi usang yang kembali kita dengar. Saya yakin manusia Indonesia manapun yang masih merasa beragama dan berakal sehat muak mendengar semua itu. Terlebih bagi para pelanggan ayam penyet Lamongan pinggir jalan, mengingat selera makan mereka yang tetiba hilang tanpa bekas ketika ada pengamen "bencong" datang.

Kita lupakan sejenak para LGBT, saya akan bercerita agak melenceng sedikit. Kali ini saya akan mengutip sebuah cerita dari Paulo Coelho, novelis berkebangsaan Brasil dalam bukunya Ser Como O Rio Que Flui yang dialih bahasa menjadi "Seperti Sungai yang Mengalir; Buah Pikiran dan Renungan".

Coelho menyajikan sepotong kisah hidupnya pada satu bab yang berjudul "Siap Tempur, Tapi Agak Ragu". Dia menceritakan tentang dirinya ketika sedang membabat ilalang di kebunnya. Ketika melihat setumpuk ilalang yang mati tiba-tiba terbersit dalam benaknya sebuah pertanyaan. Sudah benarkah tindakan saya ini?

Dalam perenungannya Coelho berpikir bahwa apa yang disebut "ilalang" sejatinya adalah usaha bertahan hidup dari spesies tertentu, yang tercipta dan dikembangkan oleh alam selama jutaan tahun. Bunga-bunganya dibuahi oleh serangga-serangga yang tak terhitung banyaknya, lalu diubah menjadi benih. Kemudian angin menyebarkannya di padang-padang sekitar. Karena ditanam tidak hanya pada satu tempat, melainkan di banyak tempat, kesepatan hidupnya menjadi lebih besar.

Dalam perenungan selanjutnya Coelho berpikir bahwa di satu pihak sekumpulan ilalang ini berhak menyebarkan dirinya di mana-mana. Namun di lain pihak, jika mereka tidak dihancurkan sekarang, mereka akan membunuh tanaman lainnya. Seolah tanaman-tanaman itu berkata, "Kalau kau tidak melindungiku, ilalang itu akan membunuhku." Tetapi ilalang itu juga berkata, "Aku sudah jauh-jauh datang ke kebunmu ini. Kenapa kau ingin membunuhku?"

Pada akhirnya Coelho menemukan dua jawaban yang mampu membuatnya bangkit, melanjutkan aksi "pembunuhannya". Yang pertama adalah bahwa Yesus telah menyebutkan dalam perjanjian baru tentang memisahkan gandum dari ilalang. Dan yang kedua adalah jawaban Krishna kepada Arjuna ketika membuang senjatanya dan memutuskan untuk tak ambil bagian dalam perang saudara, "Kau sungguh-sungguh mengira bisa membunuh siapa pun? Tanganmu adalah tanganku, dan sudah digariskan bahwa semua yang kau lakukan akan terjadi. Tak ada yang membunuh dan tak ada yang mati."

Tentu saja saya tidak bermaksud mengajak anda untuk meneladani Yesus ataupun Krishna. Umat Kristen dan hindhu tentu lebih berhak berbicara mengenai itu. Kita sebagai umat Islam tentu mempunyai kewajiban berbuat sesuai apa yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya, karena itu saya akan mencoba menemukan jawaban "pertanyaan" Coelho dari sudut pandang Islam (mohon dimaafkan jika salah).

Sebelumnya mari kita sepakati bahwa iblis merupakan "ilalang terhebat" dalam pandangan Islam. Bagaimana tidak, sejak awal mula sejarah kemanusiaan, dia sudah menolak perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Adam AS. Terlebih lagi setelah diusir dari surga, alih-alih bertobat dia malah berjanji akan menyesatkan anak cucu Adam dan menyeret mereka kepada api neraka bersamanya.

Selanjutnya mari kita perhatikan firman Allah SWT dalam surat Shad ayat 27, "Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia. Itu anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang yang kafir itu karena mereka akan masuk neraka."

Ayat tersebut menyiratkan bahwa semua eksistensi di muka bumi ini mempunyai hikmah, meskipun mudharatnya lebih besar ketimbang maslahatnya atau bahkan yang tak punya maslahat sama sekali. Sebagaimana khamr, babi, keburukan, kesyirikan, dan juga iblis tentu memiliki hikmah dari keberadaannya.

Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam Syifaul 'Alil menyatakan bahwa eksistensi iblis pasti memiliki hikmah yang hanya Allah SWT yang mengetahui detilnya. Namun diantara hikmah yang bisa dirasakan adalah bahwa eksistensi iblis akan menyempurnakan derajat penghambaan para Nabi dan para wali terhadap Allah SWT, dengan menentang dan melawan iblis.

Selain itu, "penurunan pangkat" yang dialami oleh iblis setelah membangkang perintah Allah SWT tentu akan menumbuhkan kewaspadaan dalam diri para malaikat dan orang-orang beriman. Mereka akan menambah rasa takut, tunduk dan lebih bertaqwa kepada Allah SWT. Dan apa yang telah menimpa iblis tentu akan menjadi pelajaran bagi siapaun yang melakukan dosa untuk segera bertaubat.

Dan terakhir, eksistensi iblis beserta seluruh bala tentara keburukannya merupakan sebuah keniscayaan kehidupan. Di mana Allah SWT tidak menciptakan sesuatu kecuali bersama pembandingnya. Ada siang ada malam, ada kemudahan ada kesulitan, ada ada kebahagiaan ada kesedihan dan ada kebaikan tentu ada keburukan.

Maka tugas manusia sebagai makhluk yang mempunyai kehendak bebas adalah memilih antara menjadi baik atau buruk. Di mana Iblis sebagai penyeru keburukan, sementara para nabi dan Rasul sebagai penyeru kebaikan.

Kesimpulannya, sebagaimana ilalang Coelho tadi, bahwa di kolong langit ini memang ada eksistensi bernama keburukan. Di mana dia ada memang untuk dijauhi dan ditinggalkan. Di sisi lain dia juga bisa menjadi tolok ukur kebaikan, seseorang dinilai kebaikannya berdasar jauh dekatnya dia dengan keburukan. Mengabaikan konsep berpikir seperti ini hanya akan mengacaukan pikiran dan menjadikan manusia kehilangan kemanusiannya secara perlahan alias gila.

Karena itu duhai para LGBT, ketahuilah dan camkan hal ini. Andaikan lima puluh atau seratus tahun lagi ditemukan bahwa ilalang dapat mengobati kanker, manusia tetap saja masih membabat ilalang. Mustahil rasanya dunia akan terbalik, mustahil rasanya ilalang dianggap setara dengan jagung, dan mustahil juga rasanya gandum akan dibabat habis demi ilalang.

Penulis : Rusydan Abdul Hadi

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search