/data/photo/2018/02/02/3237964408.jpg)
JAKARTA, KOMPAS.com - Gajinya hanya Rp 400.000 sebulan, namun kini Ahmad Budi Cahyono (26), tak bisa lagi menerima hasil jerih payahnya sebagai guru kesenian di SMAN 1 Kecamatan Torjun, Sampang, Jawa Timur.
Guru muda itu kehilangan nyawa akibat penganiayaan oleh HI (17), yang tak lain adalah muridnya sendiri di SMAN 1 Torjun pada Kamis, 1 Februari 2018 lalu.
Simpati pun mengalir dari masyarakat untuk keluarga Budi, seiring dengan hujanan kecaman bagi HI yang perilakunya dianggap tidak beradab.
Tak sedikit yang menilai kejadian itu sebagai cermin dunia pendidikan nasional yang rajin menanamkan aspek kognitif namun lupa atau abai menanamkan aspek penting lainnya dalam pendidikan, afektif dan psikomotorik.
"Saya kira kritik umum bagi dunia pendidikan kita," ujar Kepala Unit Kerja Presiden bidan Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Yudi Latif, Jakarta.
(Baca juga: Penganiayaan Guru oleh Siswa di Sampang, Begini Kronologinya...)
Sejak pendidikan sekolah dasar, aspek kognitif sudah dikenalkan kepada para anak didik lewat pelajaran-pelajaran yang ada. Namun perkenalan itu tak jarang berkembang lebih jauh dengan alasan daya saing.
Pada akhirnya, perkenalan itu justru dipaksakan dan para anak-anak didik dijejali dengan berbagai pengetahuan tanpa pondasi yang kuat.
Sebab, aspek afektif dan psikomotorik yang berkaitan dengan etika dan sikap justru tidak ditanamkan secara seimbang.
Hal berbeda diakukan di beberapa negara, Yudi mencontohkan Jepang. Di Negeri Sakura itu tutur dia, 3 tahun pertama sekolah dasar menekankan pendidikan budi pekerti.
Hal itu dilakukan agar pondasi etika sikap dan tindakan bisa kuat sebelum berbagai aspek kognitif diajarkan kepada anak didik.
Pendidikan tanpa pondasi afektif dan psikomotorik, justru akan melahirkan kekerasan.
"Kalau dasarnya tidak kuat, kita ini seperti membangun rumah di atas landasan yang rapuh," kata Yudi.
(Baca juga: Siswa Penganiaya Guru di Sampang Dikenal sebagai Pendekar)
Beberapa tahun silam, Yudi ingat betul pendidikan budi pekerti ditanamkan dan rasa saling menghormati kepada orang tua, juga guru, bisa terlihat jelas dalam masyarakat. Bahkan berkata kasar, meninggikan suara saja dianggap tidak memiliki adab.
Namun kini Yudi melihat perkembangan sikap anak-anak didik, hasil pendidikan tanpa pondasi yang kuat, sudah melompat jauh.
"Berani menempeleng, berani memukul guru. In adalah hasil apa yang ditanam. Kalau pendidikan hanya diajarkan kognitif, ya hasilnya akan seperti itu, kepekaan rasa itu menjadi rendah," tutur dia.
Tentu peristiwa yang menimpa Pak Guru Budi adalah bukti bahwa pekerjaan rumah di bidang pendidikan masih menumpuk.
Kini sudah saatnya pekerjaan rumah itu dikerjakan dan diselesaikan untuk masa depan pendidikan dan generasi bangsa yang cakap secara kognitif, namun punya pondasi afektif dan psikomotorik yang kokoh.
Polisi telah menetapkan H-1, siswa SMA 1 Torjun sebagai tersangka penganiayaan yang berujung meninggalnya guru honorer Ahmad Budi Cahyanto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar