Kamis, 22 Maret 2018

Katsuko Saruhashi dan Kisah Perjuangan Feminis

Disparitas gender di dunia sains masih terjadi hingga saat ini. Meskipun sejumlah tokoh perempuan berperan penting dalam perkembangan sains dunia, namun gender laki-laki mendominasi di bidang sains menjadi stereotip yang langgeng.

Isu disparitas gender ini telah lama menjadi perhatian ahli geokimia asal Jepang, Katsuko Saruhashi. Perempuan kelahiran 22 Maret 1920, yang gambarnya diabadikan dalam Google Doodle hari ini, Kamis, 22 Maret 2018.

"Banyak perempuan yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang ilmuwan hebat. Saya ingin melihat suatu hari perempuan dapat berkontribusi dalam sains dan teknologi, dan setara dengan pria," demikian salah satu pernyataan Katsuko Sarahashi yang sekaligus membuatnya juga dikenal sebagai tokoh feminis.

Pada zamannya, menjadi seorang ilmuwan di bidang sains bahkan merupakan perjuangan yang luar biasa bagi Katsuko. Ini karena disparitas gender yang luar biasa dalam dunia sains kala itu.

Buku 'A Companion to the Anthrophology of Japan' mengulas alasan di balik fenomena tersebut. Dijelaskan bahwa minimnya tokoh ilmuwan perempuan bidang sains, karena perempuan memiliki kepentingan bawaan atau fitrah yang berat untuk ditinggalkan.

Menyeimbangkan keperluan penelitian dengan pekerjaan rumah adalah tantangan besar untuk para perempuan yang menggeluti bidang sains. Apalagi mengingat, budaya Jepang yang sangat kental dengan peran perempuan di rumah. Selain itu, Katsuko Saruhashi kala itu tinggal di pedesaan bersama kedua orang tuanya, Saruhashi Kuniharu and Saruhashi Kuno.

Dalam buku itu disebutkan, salah seorang ilmuwan di bidang matematika, Makita Raku bahkan menyerah dari karirnya karena komitmen berkeluarga.

Buku yang ditulis oleh Jennifer Robertson tersebut mengupas bahwa karena hal itulah mayoritas perempuan yang sukses di bidang sains, tidak menikah. Termasuk Katsuko Saruhashi. Lainnya di antaranya adalah Yasui Kono, Tange Ume, dan Kuroda Chika.

Isu gender memang sangat mempengaruhi kehidupan Katsuko Saruhashi. Nilai-nilai budaya dan politik kala itu, dilaporkan juga mempengaruhi persepsi Saruhashi untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam dunia sains.

Butuh waktu

Wanita yang meninggal dunia pada September 29, 2007 itu ternyata membutuhkan beberapa waktu sebelum akhirnya mantap memutuskan untuk memperjuangkan karirnya di dunia sains.

Sebagai wanita Jepang, Katsuko Saruhashi tunduk pada budaya setempat. Ia mematuhi keinginan orang tua yang menginginkan anak perempuannya tidak jauh dari rumah, dan bekerja di perusahaan asuransi setelah menyelesaikan pendidikan menengah. Di Jepang, melawan orang tua dianggap memalukan.

Namun empat tahun kemudian, tepatnya pada 1941, Katsuko Saruhashi akhirnya memberanikan diri untuk meyakinkan orang tuanya. Sebelum kemudian akhirnya bergabung di Imperial Women's College of Science.

"Saya bekerja keras, berkonsentrasi pada semua yang saya pelajari dalam sains. Ini saya lakukan bukan karena sebagai wanita yang ingin berkompetisi dengan pria. Tapi saya sadar bahwa dengan kerja keras, perlahan rahasia semesta bisa kita ketahui. Dan ini adalah hal yang menyenangkan bagi seorang ilmuwan," ujar Saruhashi, seperti dikutip dalam Yonezawa (2009).

Sepanjang karirnya selama sekitar 35 tahun, ia berhasil menjadi wanita pertama yang terpilih menjadi anggota Dewan Ilmu Pengetahuan Jepang pada tahun 1980, dan wanita pertama yang mendapat penghargaan Miyake Prize untuk geokimia pada tahun 1985.

Saruhashi dan perjuangannya akan kesetaraan gender menginspirasi ilmuwan perempuan untuk berkontribusi bagi dunia.****

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search