Sabtu, 26 Mei 2018

Kisah Perjuangan Para Tunanetra Membumikan Alquran Braille

Oleh Fariz Fardianto

SEMARANG, Indonesia —Suara lantunan ayat suci Alquran sayup-sayup terdengar dari bibir Fifi tatkala Rappler menemuinya di rumah Sahabat Mata, pojok jalan Blok D, Jatisari Asri, Kecamatan Mijen, Semarang, Jawa Tengah, Selasa 22 Mei 2018.

Meski mengalami kebutaan sejak lahir, namun Fifi tampak tak kenal lelah belajar melafalkan tiap ayat suci Alquran.

Siang itu, kedua jemari tangannya perlahan meraba tiap huruf braille Arab. Dengan dipandu seorang guru, ia perlahan membaca tiap huruf Alquran braille. "Coba dibaca yang halaman empat Mbak Fifi. Pelan-pelan saja nanti dikoreksi kalau ada yang salah," kata Sofyan, seorang guru mengaji di rumah Sahabat Mata.

Buku yang ia baca merupakan kitab Alquran braille yang sengaja diperuntukan bagi kaum tunanetra seperti dirinya.

Firi berkata bisa melafalkan Alquran braille lebih cepat atas dukungan penuh dari rekan-rekannya. "Saya yang tidak bisa melihat sejak lahir sudah belajar membaca braille sejak kecil. Nah, hampir setahun belakangan saya mulai belajar braille Arab di rumah Sahabat Mata," aku perempuan bernama lengkap Mei Hardianti tersebut, tatkala berbincang dengan Rappler.

Menurutnya rumah Sahabat Mata selama ini konsisten dengan pembalajaran Alquran braille bagi para tunanetra. Perempuan 22 tahun itu berkisah, perkenalannya dengan pengelola rumah itu berawal dari rasa kegelisahannya untuk mencari teman senasib.

"Kemudian saya secara kebetulan dikenalin sama seorang teman dari yayasan tunanetra di Kudus. Saya lalu datang kemari, ternyata ada komunitas radio tunanetranya juga. Yang lebih senangnya lagi, ada pengajian Alquran braille. Saya rasa ini sarana yang bagus biar punya tuntunan hidup yang lebih baik lagi," kata ibu satu anak ini.

Fifi mengaku tak kesulitan melafalkan Alquran braille. Sebab, dirinya tinggal memperbaiki cengkoknya saja agar dirasa enak didengar.

Butuh ketelatenan

Baginya, keberadaan rumah Sahabat Mata tak ubahnya seperti oase di padang pasir. Ia yang merasa terpinggirkan oleh keluarganya, nyatanya bisa mendapat teman senasib yang mampu menjalin keakraban. "Tidak rugi saya jauh-jauh datang dari kampung halaman di Lumajang ke sini. Sebab, selain bisa menetap di asrama, saya juga bisa latihan bermusik sama teman-teman," lanjutnya.

Di sela kesibukannya mengaji, Fifi sesekali unjuk kebolehan bermain musik bersama grup bandnya. "Itung-itung buat hiburan, Mas," terangnya.

Di tempat yang sama, Sofyan menceritakan bahwa tak semua tunanetra bisa membaca Alquran braille dengan cepat. Metode pembelajarannya, kata Sofyan dilakukan dengan tahapan yang berbeda tergantung kemampuan tiap individu.

"Gampang-gampang susah memang, karena huruf braille Arab itu lebih rumit ketimbang braille biasa. Sehingga harus ada penyesuaian. Jika orang tersebut tekun, seminggu sampai sebulan langsung bisa. Tinggal kemampuan orangnya," tutur Sofyan.

Sementara itu, Basuki sebagai pengelola rumah Sahabat Mata menyatakan tak mudah untuk mengajak para tunanetra untuk belajar membaca Alquran braille. Pasalnya, dengan keterbatasan penglihatan selama ini, tiap tunanetra kerap dimanfaatkan segelintir oknum demi kepentingan pribadinya.

"Maka, ketika hendak merangkul mereka, saya dikira punya niatan sama kayak oknum-oknum itu. Tetapi setelah saya buktikan atas ketulusan saya mengubah nasib, mereka lama-kelamaan mau bergabung dengan saya. Ikut mengaji bareng, sampai-sampai kalau ada acara luar kota terpaksa menolak peserta mengingat saking banyaknya yang ikut," jelasnya.

Merangkul teman senasib

Niatannya untuk mengubah hidup kaum tunanetra dimulai sejak 2003 silam. Semua itu bermula tatkala dirinya mengalami kebutaan akibat penyakit yang diderita selama ini.

Ia lalu kebetulan bertemu dengan beberapa tunanetra dan banyak mendengar ilmu agama yang dimiliki mereka sangat minim. Dengan berbekal keterampilan terapan teknologi, Basuki mencoba menggali tiap literatur mengenai Alquran braille.

"Harapannya ya biar para tuna netra itu bisa punya panduan untuk hidup lebih baik, mau terima kondisinya dan enggak banyak nyalahin orang lain." Dengan merogoh koceknya sendiri, Basuki lantas memesan beberapa Alquran braille ke Bandung dan Jakarta.

Langkahnya menunjukkan hasil menggembirakan ketika pada 2008 silam, ia berhasil membuka diklat pelatihan membaca Alquran braille. Tiap pelatihan selalu berpindah lokasi. Ada 22 instruktur braille yang membantunya dalam program diklat itu. Hingga saat ini, diakuinya sudah mampu menggelar 14 diklat.

"Diklatnya sering berpindah tempat. Misal di Gresik yang ikut ada 50 tuna netra. Terus lanjut ke Yogyakarta, Kudus, Temanggung, Wonosobo, Jepara sampai Aceh. Yang banyak itu ya Semarang karena jaraknya yang dekat," sergahnya.

Bila dibanding dulu, ia mengatakan perkembangan tunanetra untuk mengenyam pendidikan baca Alquran braille kian membaik.

Lomba khataman online

Setiap Bulan Ramadan, Basuki membuka jam sore untuk tadarus Alquran braille selama sejam menjelang buka puasa. Bahkan, pada tahun ini Basuki untuk pertama kalinya mengadakan lomba adu cepat khatam Alquran yang diikuti 200 tunanetra seluruh Indonesia.

"Caranya dengan lomba via online. Jadi, by phone yang terhubung ke 200 peserta, tiap peserta mengaji dan didengarkan langsung dari sambungan telepon, yang paling cepat khatam 30 juz dapat hadiah pulsa Rp 50 ribu," katanya sembari tertawa lebar.

Lomba adu cepat khatam ini diadakan disela kesibukan para tunanetra bekerja sebagai tukang pijat. "Dari jam 09:00-10:00 WIB pagi," katanya. Ia menyebut ini cara paling jitu untuk membumikan ajaran Rasullulah SAW dalam menyebarkan agama Islam.

Puncak acaranya nanti pada 5 Juni. Ia akan menggelar acara stand up comedy tunanetra serta pesantren Ramadan. Pesantren Ramadan bakal diikuti ribuan tunanetra yang datang dari segala penjuru daerah.

Walau begitu, di tengah aktivitasnya yang super padat  ia masih terkendala soal minimnya jumlah Alquran braille. Padahal, jumlah tunanetra Muslim sudah mencapai 3 juta dari total ratusan juta penduduk Indonesia. Namun, Alquran braille yang dicetak masih terbatas. Percetakannya pun hanya ada di Bandung dan Jakarta.

Ia mengungkapkan selama ini tak pernah disentuh pemerintah daerah. "Kita sering minta bantuan ke pemerintah tapi karena model bantuannya dalam bentuk proyek, maka kita kesulitan," urainya. "Mirisnya lagi, instrukturnya hanya digaji pulsa Rp 25 ribu," cetusnya.

Mengenai keluhan tersebut, Tommy Yarmawan Said, Kepala Dinas Sosial Kota Semarang mengakui adanya hambatan yang cukup krusial dalam membantu para tunanetra. Salah satunya, tak ada struktur organisasi resmi yang bisa mengikat mereka sebagai lembaga.

"Susah memang apalagi kalau bantuannya berupa dana, itu harus rinci dan syaratnya sangat banyak," kilahnya.

—Rappler.com

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search