Kamis, 14 Juni 2018

Kisah Nenek Bulen, Penyapu Halaman Masjid Sulthan Malikussaleh

Suara.com - Ramlah akrab disapa Nek Buleun, 51 tahun, membiayai kebutuhan putranya belajar di dayah dari hasil pekerjaan sebagai penyapu halaman masjid. Nek Buleun menjadi tulang punggung keluarganya sejak suaminya meninggal dunia tahun 2000 silam.

Nek Buleun merupakan warga Gampong Teupin Ara, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Nenek ini tinggal bersama putranya, Bukhari (18 tahun), Fajri (20 tahun) dan Miska yang sudah berkeluarga (memiliki istri).

Mereka tinggal di sebuah rumah bekonstruksi kayu lapuk. Atap rumahnya terbuat dari daun rumbia yang sudah bolong di beberapa bagian. Ruangan dapur rumahnya berlantai tanah.

Bukhari saat ini tercatat sebagai santri Dayah Terpadu Nurul Islam, Kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara. Sementara Fajri santri Dayah Darul Munawwarah, Kuta Krueng Ulee Gle, Bandar Dua, Pidie Jaya.

"Beginilah kehidupan saya saat ini. Bagaimanapun saya harus berusaha membiayai kebutuhan anak-anak yang sedan belajar di dayah supaya mereka bisa menjadi orang yang berguna di kemudian hari. Sekarang apa saja saya lakukan untuk menghasilkan uang demi menutupi kebutuhan hidup. Yang penting halal," ujar Nek Buleun, dijumpai portalsatu.com, di rumahnya belum lama ini.

Nek Buleun bercerita sudah tiga kali mengajukan permohonan kepada pemerintah melalui aparat gampong setempat untuk rehabilitasi ataupun pembangunan baru rumahnya yang layak huni. Namun, kata dia, sudah beberapa kali pergantian geuchik setempat sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan diberikan bantuan rumah.

"Sekarang saya nikmati saja kehidupan seperti ini, dan tidak juga terlalu berharap, karena bantuan rumah itu tidak ada kepastiannya," ujar Nek Buleun.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Nek Buleun menjadi tukang sapu di Masjid Sulthan Malikussaleh, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Nek Buleun setiap hari bekerja menyapu halaman masjid tersebut pukul 08.00 hingga 11.00 WIB sejak tahun 2001.

Mulanya, tahun 2001, uang jerih yang diterima Nek Buleun hanya Rp 50 ribu per bulan. Beberapa tahun kemudian dinaikkan menjadi Rp 350 ribu sampai Rp 500 ribu. Saat ini ia mendapat honorarium Rp 750 ribu per bulan. Nek Buleuen juga berjualan di kantin Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 Kecamatan Samudera.

"Saya menyapu halaman masjid sekitar pukul 08.00 sampai 11.00 WIB. Setelah itu, saya melanjutkan berjualan alakadar untuk para siswa. Sekali-kali ada warga kaya di gampong menyuruh saya cuci piring atau menyapu di halaman rumahnya. Inilah pekerjaan saya untuk memenuhi kebutuhan hidup saya bersama anak-anak," ujar Nek Buleun.

Nek Buleun mengaku meminta pekerjaan menyapu halaman masjid pada imam masjid tersebut.

"Alhamdulillah, saya diterima untuk membersihkan halaman masjid, sedangkan di bagian dalam masjid ada orang laki-laki yang bertugas sebagai penyapu," katanya.

"Saya pun tidak terlalu mengambil suatu beban dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya nikmati saja dan tetap bersyukur kepada Allah SWT. Karena pasti ada orang lain yang lebih pahit kehidupannya ketimbang saya, semoga saja kesehatan saya sehat selalu untuk dapat beraktivitas," ungkap Nek Ramlah itu.

Sementara itu, Bukhari, putra Nek Buleun, mengaku belum memiliki baju baru menyambut hari raya Idul Fitri tahun ini. Ia bisanya memperoleh santunan dari warga pada hari meugang lebaran.

"Kalau ada rezeki rencana saya akan beli pakaian baru saat hari meugang nanti, karena pakaian lebaran tahun lalu sudah tampak kusam. Tetapi saya tidak terlalu menuntut ibu untuk membeli pakaian. Saya melihatnya sangat kasihan, dan saya belum mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup," ujar Bukhari yang mengaku ayahnya meninggal dunia saat ia masih kecil. (PortalSatu.com/Jaringan Suara.com)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search