Jumat, 20 Mei 2016

Kisah Aan, Batal Meneguk Jeruk Hangat karena Diculik di 1998

Jakarta, CNN Indonesia -- Senja itu berbeda. Tiga belas Maret 1998, Aan Rusdianto dan ketiga kawannya di Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) –Mugiyanto, Nezar Patria, dan Bimo Petrus– tengah berada dalam kamar mereka di Rumah Susun Klender, Jakarta Timur. Mereka duduk santai setelah seharian beraktivitas di luar.

Air dijerang. Keempatnya hendak membuat jeruk hangat. Namun tiba-tiba pintu diketuk. Saat Aan membuka pintu, tampak sekitar lima sampai enam orang pria bertubuh tegap berdiri di sana. Mereka mengenakan penutup kepala dari wol.

Aan kemudian memanggil Nezar. Kala Nezar bertanya kepada para tamu tak dikenal itu, ada perlu apa gerangan, ia mendapat bentakan. "Jangan banyak tanya, mari ikut kami," demikian tutur Nezar dalam kesaksiannya yang menjadi arsip Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) yang menjadi afiliasi SMID.

Aan dan Nezar langsung dicengkeram. Tamu mereka rupanya membawa pistol. Tangan kiri Aan dan tangan kanan Nezar lalu diborgol jadi satu, dan mereka berdua dimasukkan ke dalam jip yang langsung meluncur kencang.

Jeruk hangat pun tak jadi diteguk Aan dan kawan-kawannya. Belakangan, dari temuan Tim Pencari Fakta Gabungan, Aan tahu yang menculiknya ialah Tim Mawar Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Kala penculikan terjadi, Prabowo Subianto menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad).

Aan dan Nezar menghadapi interogasi dan siksaan fisik setelah diturunkan dari jip dan dibawa ke sebuah bangunan oleh para penculiknya. Demikian pula kawan-kawannya.

"Mata kami ditutup dan kepala kami dibungkus oleh kain. Kami diinterogasi dalam satu ruangan, tapi tak dapat melihat siapa yang menginterogasi kami," kata Aan kepada CNNIndonesia.com di kantornya, Jakarta, Selasa (17/5).

Aan masih ingat jelas memori kelam itu. "Mereka bertanya kenapa kami ingin menggulingkan Soeharto, dan mengaitkan kami dengan bom di Tanah Tinggi. Selebihnya mereka menanyakan di mana Andi Arief. Kami jawab tidak tahu, namun jawaban itu dianggap tak logis sehingga kami dipukuli."

Soal bom Tanah Tinggi, satu rumah susun di Tanah Tinggi Jakarta Pusat dua bulan sebelumnya, 18 Januari 1998, dikagetkan oleh ledakan bom di salah satu kamarnya. Pada kamar bernomor 510 yang porak-poranda itu, ditemukan bahan peledak dan sejumlah barang lain, termasuk surat dari salah satu tokoh SMID kepada anggota PRD.

Sementara Andi Arief yang menjadi target penginterogasi Aan dan Nezar ialah salah satu pemimpin SMID, juga jadi bagian dari Dewan Pengurus PRD.
Aan kembali bercerita, ia dan Nezar mendapat pukulan dan tendangan selama interogasi. Aan pun diminta untuk melepas semua pakaian yang ia kenakan. Alat vitalnya kemudian disetrum hingga ia pingsan.

"Luka yang kami dapatkan usai penyiksaan tidak disembuhkan dengan obat, tapi didiamkan saja sampai kering sendiri," kata Aan.

Di ruangan yang sama, Mugiyanto pun diinterogasi dan disiksa. Di kemudian hari, Aan tahu ruangan itu merupakan bagian dari Markas Kopassus yang terletak di Cijantung, Jakarta Timur.

Dua hari disiksa di sana, Aan, Mugiyanto, dan Nezar kemudian dipindahkan ke Polda Metro Jaya. Namun rekan mereka, Bimo Petrus, hilang sampai sekarang.

Di Polda Metro Jaya tak ada siksaan fisik, namun mereka diisolasi dalam ruangan berukuran 4 x 10 meter, tak diperbolehkan bicara dengan tahanan lain, dan tidur beralaskan triplek.

"Kami tetap dapat makanan tiga kali sehari. Pagi diberi roti bungkus yang dulu harganya Rp500, siang dan malam makan nasi keras dengan irisan tipis tempe dan sedikit sayur sawi," kata Aan.

Dalam kondisi demikian, Aan sungguh haus informasi. Ia biasa titip koran pada tahanan yang sering ditugasi sebagai pesuruh oleh sipir.

Lima belas hari setelah Soeharto jatuh, 5 Juni 1998, Aan dibebaskan. Ia dan kawan-kawannya yang menghirup udara bebas kemudian melakukan proses pencarian atas para aktivis yang hilang. Namun hingga kini, sejumlah kawan mereka yang hilang tak jua ditemukan apalagi kembali.

Gabung Gerindra

Aan yang mulai menentang otoritarianisme Orde Baru saat masih menjadi mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, tahun 1992 itu, sempat bergabung ke Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto.

Tentu saja pilihan Aan dan sejumlah aktivis korban penculikan lain –Desmond Junaidi Mahesa, Pius Lustrilanang, dan almarhum Haryanto Taslam– untuk bergabung dengan Gerindra, mengejutkan rekan-rekan mereka.

"Saat itu Prabowo tahu saya adalah korban penculikan. Ia berusaha menjelaskan dari versi dia tentang hal itu (penculikan aktivis 1998), meski ada hal yang juga tak berani ia ungkap," kata Aan.

Aan saat itu masuk Gerindra karena hendak mengikuti Pemilihan Umum Legislatif 2014 dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Namun keberadaannya di Gerindra tak lama. Aan kemudian mengundurkan diri dengan alasan program partai berbeda dengan keinginannya.

Aan yang kini menjadi Redaktur Pelaksana di majalah internal Kementerian Pemuda dan Olahraga, menyatakan tak pernah bisa melupakan penculikan dan penyiksaan yang ia alami. Pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, ujarnya, harus dapat dituntaskan.

"Sampai kapanpun, Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju jika pelanggaran HAM di masa lalu tidak pernah diselesaikan," kata Aan.

Aan, sembari menuding dalang Tragedi 1998 tak mau kasus diusut tuntas, mendukung negara melakukan rekonsiliasi untuk para korban kejahatan HAM.

(agk)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search