Jumat, 13 Mei 2016

Norman Erikson: Pencarian Intelektual Minoritas Seksual

Jakarta - "Saya menulis untuk hari ini," kata Norman Erikson Pasaribu menjawab pertanyaan salah seorang hadirin di acara softlaunching buku kumpulan puisinya, 'Sergius Mencari Bacchus'. Sebelum diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, naskah tersebut telah memenangkan Juara I Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015.

Dalam salah satu puisi di buku tersebut, penulis kelahiran Jakarta, 1990 itu bercerita tentang sekelompok pemuda pada suatu masa yang belum lama berlalu. Mereka habis menonton 'Prayers for Bobby', sebuah film bertema gay, dan kemudian nongkrong di MC Donald's sampai pagi.

Pandji tertawa dan bilang, Toni nangis!/…/ Sepanjang sisa malam kalian mengobrol/ tentang orangtua/ dan mimpi pindah ke Belanda/…/Dua tahun lalu Toni mengaku pada orangtuanya, dan semenjak itu/ belum pernah pulang. Sekali ia menelepon ibunya…/ Sambil menangis ibunya bilang, "Pulanglah, Toni/ nanti Mami temani kamu ke Dokter Fani," —seolah Aku hanya bisa menyukai laki-laki adalah gejala diare. (puisi 'Aubade')

Apakah tema-tema kekinian, aktual —seperti LGBT— bisa bertahan lama dalam puisi? Apakah tema kontemporer akan berumur panjang? Demikian tanya hadirin tadi. Pertanyaan lain pun muncul: apa urgensi mengangkat tema LGBT ke dalam puisi?

Para puisi yang lain, berjudul 'Merebus Mie Instan di Ujung Pelangi', Norman berkisah tentang persahabatan dua orang waria yang dipisahkan oleh kematian. Karina —yang dulu bilang kepadamu Aku sedang menggedor pintu sorga, semoga kelak dibuka/... kini sudah tiada. Ditemukan tubuhnya di kolong jembatan. Dia datang ke mimpimu lusa lalu, dan bilang/ di ujung pelangi tak ada apa-apa.

"Menulis soal LGBT urgen bagi saya pribadi. Di samping itu, soal ini menggelisahkan. Ada rasa nggak fulfill kalau belum dikatakan. Jadi kalau ditanya soal urgensi, ya urgen buat saya sendiri dan perlu dibaca banyak orang. Misalnya soal waria yang menangisi sahabatnya yang dibunuh…saya nggak berharap bikin orang jadi lebih perasa tapi ini lho ada, ini terjadi. Mungkin kamu nggak pernah tahu, saya bantuin cari tahu. Apakah ini urgen bagi orang lain, saya nggak tahu…" tutur Norman santai.

Kendati mengangkat isu-isu kontemporer, Norman sadar bahwa bicara tentang hari ini tidaklah mungkin tanpa menengok ke masa lalu. Oleh karenanya, selain menulis kisah-kisah "tragedi" hari ini, ia juga berusaha melacak jejak sejarah dan landasan agama, dalam hal ini iman Katholik, untuk lebih mendalami dan memahami apa yang terjadi di dunia sekarang.

"Saya menemukan dan kemudian mengangkatnya kembali kisah percintaan Sergius, seorang santo martir dari abad ke-7 yang punya hubungan homoerotik dengan Bacchus. Saya menulis ini sebagai usaha pencarian, apa sih yang Gereja Katholik punya untuk LGBT? Apa cuma kutukan-kutukan keras? Hasilnya buku ini. Ini hasil pencarian intelektual saya. Baik atau buruk, ini satu step yang perlu saya ambil," tandasnya.

Menurut kritikus puisi Mikael Johani yang juga menjadi anggota dewan juri Sayembara Manuskrip Buku Puisi DKJ 2015, puisi Norman istimewa bukan semata karena mengangkat isu homoseksualitas yang jarang digarap oleh penyair Indonesia lainnya. Melainkan, karena tema yang "tabu" tersebut disajikan dari berbagai sisi baik kehidupan, bahasa, psikologis bahkan sisi teologisnya.

Mikael juga memuji kepiawaian sang penyair dalam mencampur aduk berbagai macam referensi, alusi dan gaya. Dari yang kuno sampai yang kekinian, dari high culture sampai ke pop culture. Bagi Norman sendiri, berkisah tentang tragedi memang tak mesti dengan cara bersedih-sedih.

"Saya tak ingin sedih, jadi tetap berusaha mempertahankan gaya yang santai, ringan untuk memberi panggung bagi orang-orang yang terpinggirkan karena orientasi seksual dan agama ini," ujar Norman.

(mmu/mmu)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search