Keterangan Gambar : Aktivitas ribuan pengunjung memilih pakaian di Pasar Blok B Tanah Abang, Jakarta, Minggu (26/6/2016). © Antara Foto / Reno Esnir
Wajah Masrizal tampak berseri-seri. Lelaki 48 tahun ini bersemangat nian melayani setiap pembeli pakaian dan aksesoris perempuan dagangannya. Bulan Ramadan menjadi ladang melipatkan penghasilan bagi Masrizal.
Selama bulan puasa, Masrizal membuka lapaknya mulai pukul 15.00 hingga 22.00. Lapaknya di Pasar Palmerah, Jakarta Barat tak pernah sepi dari pembeli selama bulan Ramadan. "Khususnya kerudung segi empat rawis," kata lelaki asal Batusangkar, Sumatera Barat ini ketika ditemui Beritagar.id, Kamis (30/6/2016).
Di lapak berukuran 3x3 meter di halaman depan Pasar Palmerah, Masrizal dapat memperoleh omset sekitar Rp1 juta setiap hari selama Ramadan. Omset selama bulan puasa itu jauh melesat dibandingkan hari biasa yang rata-rata menghasilkan Rp300 ribu per hari.
Kocek Masrizal menjelang Idul Fitri ini bisa kian tebal karena ia juga menyuplai pakaian, kerudung, atau pashmina untuk beberapa toko di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ia mengantar barang ke Kebayoran sejak pagi hingga sebelum pukul 15.00, atau waktu mulai berdagang di Pasar Palmerah dimulai.
Bagi Masrizal, Ramadan tahun ini menjadi penuh berkah. "Alhamdulillah, lah," ujar Masrizal seraya tersenyum.
Kucuran rezeki di bulan Ramadan itu juga dirasakan Mukmin Fushilat, 31 tahun, pedagang gamis di Pasar Tanah Abang. Lelaki asal Pariaman Sumatera Barat ini mengaku penghasilannya memang selalu meningkat manakala Idul Fitri mendekat.
Dalam sehari, ditambahkan Mukmin, ia bisa mendapatkan sekitar Rp80 juta per hari dari tiga toko yang ia punya di pasar grosir terbesar di Tanar Air itu. Padahal sehari-hari di luar Ramadan, kata Mukmin, ia hanya bisa beroleh omzet sekitar Rp20 juta.
Berbeda dengan penjual yang mulai menjaring rezeki saat Ramadan datang, peningkatan pendapatan Mukim dimulai bahkan saat Ramadan belum lagi datang. Hal ini, kata Mukmin, disebabkan para pengecer tak mulai memborong barang lantaran tak pengin kehabisan barang saat permintaan tinggi di bulan puasa.
"Tren di kalangan pedagang grosir memang begitu. Meningkat jelang puasa dan mulai turun sepekan menjelang Idul Fitri," kata Mukmin lagi.
Tak mengherankan, Mukmin bisa mudik lebih cepat ke kampung halamannya ketimbang pedagang eceran. "Udah sepi juga jual-beli hari ini. Makanya pulang saja."
Masrizal dan Mukmin merupakan sosok di antara ribuan pedagang yang menangguk untung kala Ramadan hingga Lebaran. Penghasilan berlipat sehingga perjalanan mudik menuju kampung halaman dapat dilalui dengan penuh riang.
Tumpah-ruah uang beredar
Bulan Ramadan yang berlanjut Lebaran biasanya ditandai dengan naiknya harga barang. Tengok saja laporan Badan Pusat Statistik (BPS) ihwal kenaikan harga barang sehingga menyebabkan inflasi meski terkendali.
Beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga pada Juni 2016, antara lain: tarif angkutan udara, daging ayam ras, ikan segar, telur ayam ras, gula pasir, kentang, wortel, beras, bayam, apel, tarif listrik, emas perhiasan, tarif angkutan antar kota, ayam hidup, daging sapi, jengkol, kacang panjang, kangkung, ketimun, petai, jeruk, kelapa, nasi dengan lauk, rokok kretek, rokok kretek filter, upah tukang bukan mandor, dan mobil.
Harga berbagai barang yang terus merangkak naik ternyata tak menghentikan gairah berniaga, terutama Jakarta. Pedagang kecil sampai besar tumpah-ruah menjaring konsumen. Setiap tahun, bulan Ramadan selalu diramaikan dengan transaksi pedagang berbagai kelas. Tak heran, uang beredar selama Ramadan selalu berada di atas bulan-bulan lainnya.
Pada periode Ramadan dan Idul Fitri, kebutuhan uang di masyarakat baik tunai maupun non tunai mengalami peningkatan yang dipengaruhi oleh meningkatnya kegiatan transaksi di masyarakat. Bank Indonesia (BI) memprediksikan jumlah uang yang beredar selama Ramadan hingga Lebaran menembus angka Rp160,4 triliun. Jumlah ini meningkat 14,7 persen dari tahun sebelumnya, Rp140 triliun.
Ramadan dan Lebaran tahun ini diperkirakan merupakan siklus peredaran uang dengan jumlah yang tertinggi dalam sembilan tahun. Pertumbuhan peredaran uang tahun ini disebabkan sejumlah faktor, di antaranya pembayaran gaji pegawai negeri sipil ke-13 dan ke-14, yang berlaku juga bagi TNI dan Polri.
Libur Ramadan tahun ini juga bersamaan dengan libur sekolah sehingga menyebabkan meningkatnya kebutuhan uang (outflow).
Permintaan kebutuhan uang terbesar diprediksi akan terjadi diwilayah pulau Jawa sebesar 33 persen atau dengan nominal sekitar Rp55,7 triliun. Khusus untuk wilayah Jabodetabek, kebutuhan uang diprediksi mencapai 28 persen atau sekitar Rp41,5 triliun.
Sementara itu, untuk wilayah di luar pulau Jawa diprediksi kebutuhan uang bervariasi tergantung daerah. Untuk wilayah pulau Sumatra kebutuhan uang sekitar 20 persen atau sekitar Rp32,6 triliun. Wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua serta wilayah Bali dan Nusa Tenggara diprediksi mencapai 11 persen dan wilayah pulau Kalimantan sebesar 7 persen.
Tak semua berujung bahagia
Peristiwa itu telah berlalu beberapa jam, tapi Salim masih terlihat kalut. Duduk bersandar di sisi luar pagar Pasar Palmerah, Jakarta Barat, ia melepas pandangan nanar. Riuh kendaraan dan pejalan kaki yang berlalu-lalang di sekitaran tak dihiraukannya.
"Dagangannya diangkut Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) tadi siang," kata Ajat, rekan yang duduk di sebelah Salim, menjelaskan musabab kekalutan pria asal Serang, Banten, itu.
Dua kuintal timun suri dagangan Salim raib diangkut petugas Satpol PP Kecamatan Palmerah dalam razia tersebut. Jumlah yang setara dengan uang sekitar Rp2 juta, karena ia menjual per kilo timun suri tersebut seharga Rp7-10 ribu. Tak mengherankan, Salim melalui malam Rabu (29/6/2016) itu dengan bermuram durja.
Keapesan Salim ini bermula saat ia membuka lapak di trotoar di depan Pasar Palmerah tak lama usai zuhur. Tapi baru sebentar menggelar dagangan lapak, Satpol PP Kecamatan Palmerah merazia dan membawa barang dagangannya.
Sesuai aturan, para pedagang kaki lima di luar bangunan Pasar Palmerah sejatinya memang baru diperbolehkan menggelar dagangan di luar bangunan pasar setelah pukul 15.00 WIB. Beleid itulah yang dilanggar Salim sehingga barang dagangannya akhirnya diangkut Satpol PP.
"Tapi biasanya enggak masalah (berdagang di trotoar), kok," katanya, mencoba membela diri.
Meski baru mendapat apes, toh, Salim mengaku tak kapok untuk berjualan lagi. Baginya, terjaring razia dan barang dagangan raib diangkut tak ubahnya sebuah rintangan yang memang harus dilewati kala berdagang.
Bagi Salim, bulan Ramadan masih tetap menjadi peluang mendapatkan pundi-pundi rupiah dari timun suri. Salim pun mengaku tetap akan menggelar barang dagangannya itu hingga Lebaran. Apalagi timur suri termasuk produk yang sering dicari pembeli untuk berbuka puasa. "Stok timun suri tinggal didatangkan lagi dari Serang," ujarnya.
Cerita nasib Salim ini adalah sepotong kisah para pedagang yang berharap menjaring rezeki kala Ramadan. Untuk membawa bekal yang besar bagi sanak keluarga di kampung halaman saat Idul Fitri. Walhasil, segala rintangan siap diterabas.
Hal ini juga ditunjukkan Kosasih, pedagang kurma dan kue lebaran di Pasar Palmerah. Demi bisa meraup keuntungan sebanyak mungkin, ia terpaksa mengakali celah aturan yang ada.
Sebagai pedagang yang berdagang di lapak di luar bangunan pasar --sama halnya seperti Salim, Kosasih hanya diperbolehkan berdagang pada pukul 15.00 hingga 08.00. Di luar kurun waktu itu, ia kudu merapikan barang dagangannya. Jika tidak, ia harus bersiap-siap menerima nasib seperti Salim.
Hanya saja lelaki asal Tasikmalaya, Jawa Barat, itu tak kehilangan akal. Ia berakal panjang dan menyiasatinya dengan membuat lapak darurat di bawah tangga pasar. "Ditumpuk saja di sana," ujar Kosasih, menunjuk sebuah celah di bawah tangga pasar. "Ada aja, sih, yang datang membeli."
Ditemui pada Kamis (30/6/2016) malam, lapak darurat di bawah tangga itu telah bersalin rupa menjadi semacam bilik untuk tidur. Seorang kemenakannya tampak terlelap dalam posisi tengkurap beralaskan terpal. Tapi stoples-stoples berisi kue dan kurma dagangan Kosasih masih menggunung, tersusun di atas papan berukuran 2x1,5 meter.
Menurut Kosasih, omzet berjualan kue lebaran dan kurma pada bulan puasa tahun ini memang tak sebesar tahun lalu sehingga barang dagangannya masih menumpuk. Stok kurma yang ia siapkan sebanyak sepuluh kilogram sejak awal Ramadan, misalnya, masih belum habis. Padahal tahun lalu, stok sejumlah serupa sudah bisa ludes dalam tiga hari.
Sepanjang bulan puasa kali ini, pria 38 tahun itu memang hanya mampu beromzet rata-rata Rp500 ribu per hari. Perolehan itu tak jauh berbeda dibanding hari biasa, yakni sekitar Rp300-400 ribu. Padahal di bulan puasa tahun lalu, ia bisa dengan mudah mendapat Rp1 juta saban hari.
Makanya, ia kemudian tak terlalu ambil pusing jika akhirnya terpaksa menerabas aturan yang telah ditetapkan di Pasar Palmerah. "Mau bagaimana lagi?," ujarnya, lantas tertawa. "Yang penting, enggak ada barang dagangan yang nanti dibawa pulang.
Sepinya pembeli juga yang akhirnya memaksa Kosasih meladeni pengunjung pasar yang menawar dagangannya. Persis seperti kejadian di malam itu, ia membuka transaksi dengan menawarkan sestoples kue atau kurma seharga Rp20 ribu. Namun berakhir dengan mengalah dengan menawarkan dua stoples seharga Rp35 ribu.
"Akhirnya, ya, pakai trik ini. Menawarkan dua dari harga yang seharusnya dijual," kata Kosasih.
Bukan tak menutup kemungkinan, ditambahkan Kosasih, barang -barang dagangannya itu akan dijual lebih rendah jika tak kunjung ludes hingga lebaran, atau sehari sebelum ia mudik ke Tasikmalaya. "Bisa nanti Rp30 ribu dua stoples. Atau Rp20 ribu," ujarnya lagi. "Lihat nanti kondisinya."
Tak jauh berbeda dengan Kosasih, manisnya rezeki Ramadan juga tak terlalu dinikmati Cici Haryati, seorang penjual beragam gorengan dan takjil tak jauh dari kampus Bina Nusantara di kawasan Palmerah, Jakarta Barat.
Nenek tiga cucu ini tak lagi beroleh omzet besar dalam bulan puasa kali ini. Pendapatannya bahkan tak jauh berbeda jika dibandingkan perolehan di luar bulan puasa. Mulai berjualan sejak pukul 14.00 hingga selepas magrib, ia hanya bisa mengantongi uang Rp500-600 ribu. Padahal dua tahun lalu, kata Cici, ia bisa mendapatkan Rp1 juta kala berdagang dalam kurun waktu sama.
Cici menduga, menurunnya pendapatan dari berjualan gorengan dan takjil ini lantaran kian banyaknya orang-orang yang berdagang serupa sehingga persaingan kian sengit. Kala Ramadan datang, pedagang takjil atau gorengan memang bak jamur di musim penghujan. Mereka bisa ditemui dengan mudah di setiap sudut jalan atau di depan rumah-rumah.
Namun berbeda dengan Kosasih atau Salim yang risau dengan terus turunnya pendapatan dari berjualan, Cici terlihat tak terlalu khawatir. "Saya jualan cuma buat bantu-bantu suami, kok. Daripada diam di rumah," katanya.
"Ini," kata Cici menunjuk barang dagangannya, "Juga buat beli baju lebaran cucu-cucu, kok."
Pedagang timur suri di kawasan pasar Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (29/6/2016) © Arie Firdaus /BeritagarHampir tengah malam, Salim dan Ajat masih duduk di sisi jalanan yang perlahan sepi. Perbincangan mereka seperti belum akan usai dalam waktu dekat. Sebuah ledekan sempat dilontarkan Ajat sebelum Beritagar berlalu.
"Saya mau menghibur (Salim) dulu," kata Ajat, melirik rekannya.
Meski digoda, Salim bergeming. Ia seperti enggan merespons ledekan Ajat. Ketika ditanya apakah ia bakal mengambil timun suri dagangannya ke Satpol PP Kecamatan Palmerah, ia hanya merespons dengan kegamangan.
"Enggak tahu juga dibawa ke mana," ujarnya.
Pun, Kosasih, yang masih setia menunggui lapaknya. Malamnya masih akan panjang, diisi dengan berjualan. Seorang pria tampak rebahan di sebelah kemenakan Kosasih yang lebih dahulu terlelap.
"Saya. sih, gampang," katanya, saat ditanya apakah ia akan berjejalan tidur di terpal yang menjadi kamar darurat tersebut.
"Kemarin juga tidur ditangga."
"Yang penting, dagangan habis sebelum pulang kampung."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar