Senin, 03 April 2017

Kisah Tersangka yang tak Berujung

Share ke BBM

Oleh: Wira Atma Hajri, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau Konsentrasi Ketatanegaraan (Siyasah Islam)

Kembali tokoh Islam ditetapkan sebagai tersangka. Kali ini menimpa Muhammad Al Khaththath. Sang ustadz yang merupakan Sekjen Forum Umat Islam ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus makar. Bagi Polisi, Al Khaththath merencanakan penggulingan Jokowi. Andaikata demikian, benar adanya, ya, tak ada soal lah penetapan tersangka itu.

Di sisi yang lain, ada pula yang berpendapat bahwa penetapan Al Khaththath sebagai tersangka sarat dengan nuansa pembungkaman atau sebagai bentuk membatasi langkah perjuangan sang ustadz. Sebab, selama ini sang ustadz dikenal kritis dengan rezim yang sedang berkuasa hari ini. Andaikata demikian, sekali lagi andaikata demikian, kembali penegakan hukum tidak sehat dimainkan. Biasanya saya sebut sebagai penegakan hukum sesuka hati.

Artikel ini menyoroti penegakan hukum sesuka hati ini secara umum di republik ini. Baik sebagai bentuk pembungkaman maupun motif balas dendam.

Merunut sejarah, berbicara mengenai pembungkaman terhadap seseorang ataupun penegakan hukum dengan motif balas dendam yang kemudian berujung pada penetapan tersangka, bukanlah barang baru di republik ini. Ini bukan rahasia lagi. Hal ini jamak terjadi. Penegakan hukum seperti ini, wajib kita kritisi. Sebab, ketika sesorang ditetapkan sebagi tersangka, kemudian kasusnya itu tak tau hendak dibawa kemana, atau didiamkan saja sampai hari ini, atau tidak ada ujungnya, berarti ada sesuatu yang tidak sehat dalam penegakan hukum kita.

Misalkan, Suparman Marzuki, Ketua Komisi Yudisial (KY) periode yang lalu. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik Hakim Sarfin Rizaldi. Suparman Marzuki merekomendasikan skorsing terhadap Sarfin dalam perkara Budi Gunawan yang dimenangkan gugatan praperadilannya oleh Sarfin. Sampai hari ini kasus tersebut tidak ada kejelasan, padahal penetapannya sebagai tersangka di pertengahan Juli 2015 lalu. Bukankah sekarang sudah awal April 2017? Ada apa ini? Ada apa ini? Apakah hanya sekedar penegakan hukum balas dendam? Andaikata demikian, sekali lagi, andaikata demikian, siap-siap sajalah mempertanggungjawabkannya di Mahkamah Allah SWT, di akhirat nantinya.

Konsekuensi penetapan tersangka ini, juga berimbas kepada terhalangnya Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta ini untuk seleksi Komisioner KY periode berikutnya.

Abraham Samad, Ketua KPK periode yang lalu. Ia tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen. Sulit untuk tidak mengaitkan penetapan tersangkanya dengan perkara Budi Gunawan yang ia tangani. Di 9 Februari 2015 ia resmi ditetapkan sebagai tersangka. Saat ini kita sudah menginjak awal April 2017, kasus Abraham Samad ini juga tidak tau hendak mau dibawa kemana. Ada apa ini? Ada apa ini? Apakah hanya sekedar penegakan hukum balas dendam? Apakah hanya sekedar untuk mencampakkan Abraham dari kursi Ketua KPK? Andaikata demikian, sekali lagi, andaikata demikian, ya, siap-siap sajalah "dimarahi" Allah SWT di akhirat nanti.

Begitu juga dengan kasus Bambang Widjojanto, Denny Indrayana, Taufiqurrahman Syahuri, dan banyak lagi. Tak jelas kejelasan kasus mereka. Ingat, setiap kita akan diminta pertanggungjawaban terhadap apa yang pernah kita lakukan. Ingat juga sesama manusia tidak ada kata taubat.

Sayangnya, Kapolri Tito sebagai "Presidennya" para polisi tidak menyoroti persoalan besar ini. Ini jangan bilang perkara sederhana. Ini menyangkut marwah, gerak langkah dan kehidupan seseorang di masa yang akan datang. Bukankah Allah bilang bahwa "Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan" (QS Al-Baqarah: 191)? Bukankah Allah telah berbicara kepada kita bahwa "Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh" (QS Al-Baqarah: 217)?

Saya berharap, semoga Kapolri tidak menyepelekan lagi persoalan ini di masa yang akan datang. Jadilah Kapolri seperti Jenderal Hoegeng. Takutnya cuma satu, yaitu takut kepada Allah. Ia tak takut kepada manusia. Ia tak takut kepada Soeharto ketika itu walaupun akhirnya berujung kepada pencopotannya sebagai orang nomor satu di tubuh Bhayangkara tersebut. Ini fakta. Fakta tak pernah bohong. Tak pernah. Semoga kisah tersangka yang tak berujung, tak terjadi lagi termasuk dalam kasus Ustadz Muhammad Al Khaththath. Semoga.

Tentang Penulis

Wira Atma Hajri, lahir di Bangkinang (Riau), 11 Maret 1990. Penulis adalah lulusan Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang (2008). Meraih gelar Sarjana Hukum dari Departemen Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) sebagai lulusan terbaik (2012), dan Magister Hukum dari departemen yang sama di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan predikat kelulusan 'Dengan Pujian' (Cumlaude) dalam waktu 13 bulan (2013). Saat ini adalah Dosen Tetap Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Riau pada Fakultas Hukum UIR. Di samping itu juga dipercayakan oleh Rektor UIR sebagai Pengelola UIR Press. Penulis bergabung dengan lembaga dakwah Majelis Dakwah Islamiyah Kota Pekanbaru (2011-sekarang).

Follow News : Riau | Kampar | Siak | Pekanbaru | Inhu | Inhil | Bengkalis | Rohil | Meranti | Dumai | Kuansing | Pelalawan | Rohul | Berita Riau

Share ke BBM

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search