Minggu, 30 April 2017

Menyingkap Sepertiga Malam bersama Umar Haen

Umar Haen merespon usia muda dan pencarian kemanusiaan-Nya dengan tepat: karya. Ruang Musrary yang digagas Indonesia Visual Art Archive (IVAA) Jumat (28/4) malam memperlihatkan bagaimana seorang Umar Haen dalam sembilan lagu yang disajikannya bersama Arok (nama perkusinya).

"Racau di Malam Kacau" dan "Tentang Generasi Kita" mengisahkan bagaimana Umar di sepertiga malam: Menolak terpejam lantaran imajinya menuju ke banyak tempat. Diajaknya mereka yang hadir di ruangan sederhana di IVAA mengingat kampung halaman masing-masing dalam "Kisah Kampungku" didahului pemutaran video yang sedikit mengintip bagaimana kampung halaman Umar di Temanggung.

"Sebelum main ke sini saya sengaja pulang dulu terus bikin video di Temanggung, dibantu sama teman-teman saya. Sekaligus minta buatkan Ibu celana untuk manggung hari ini di Musrary," kisahnya saat membuka sesi diskusi dan nonton video. 

Anak-anak muda di Desanya tidak banyak yang mau tinggal lalu menggarap sawah dan berdebam dengan meriam-meriam bambu saat malam Ramadhan. "Kisah Kampungku"juga memuat penggalan kelam program transmigrasi Orde Baru berdalih pemerataan pembangunan di mana budaya merantau jadi pisau operasi produksi wacana industri sementara para orang tua di desa dininabobokan dengan program-program pangan. Warisan berbahaya yang kini anak-anak muda desa sebagian besar tak mau tinggal membangun desanya masing-masing.

Kegelisahan alam pikirnya menuju wejangan orang-orang tua dulu soal tanah dalam "Nasihat Kakek: Jangan Jual Tanahmu" yang sukses meruangkan koor mereka di IVAA. Lalu, mendadak Umar bicara kematian dalam "Dalih". Tak usah besar mulut ingin mati muda seperti Soe Hok Gie, karena buatnya, mati muda itu tak enak. "Saya jujur saja tidak tahu bagaimana Soe Hok Gie menyimpulkan bahwa mati muda itu enak. Buat saya mati muda itu enggak enak, nanti saja umur 80 atau 90 tahun," sambungnya.

Akhirnya, laiknya anak-anak muda lainnya, Umar bicara cinta dan proses pelupaan panjang dalam "Kisah Tentang Baju". Untuk mereka yang pergi dengan maaf atau caci, bagi mereka yang kini tengah tertawa usai melenguh panjang di atas dipan kelambu yang halal, ketahuilah bahwa yang tersulit dari proses merelakan lalu melupakan itu adalah bau tubuh yang bisa tercium lalu terngiang di mana saja. 

Pertunjukkan ditutup dengan "Di Jogja Kita Belajar" yang juga sukses meruangkan koor saat Umar mengajak mereka bernyanyi "Tipis../Tipis.." dengan geli. Sembilan lagu yang dibawakan adalah materinya di album pertama yang rencananya rilis setelah Ramadan. Namun, mendengarkan komposisi dan liriknya malam tadi, albumnya sangat layak tunggu, khususnya bagi mereka yang juga punya kegelisahan sama dengan Umar si Ganteng Maut. "Semua karya saya memang saya ciptakan di sepertiga malam saat semua orang sudah terlelap. Semoga habis lebaran nanti bisa terealisasi," tutupnya. (Des)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search