Kamis, 04 Mei 2017

Surga Buddha di Hiraizumi yang terinspirasi kisah pengkhianatan

Hiraizumi barangkali adalah desa di Jepang paling penting yang belum pernah kita dengar.

Dalam kehidupan keseharian kaum samurai, periode feodal Jepang mirip Game of Thrones dalam kehidupan nyata, yang diwarnai pengkhianatan dan balas dendam antar keluarga, intrik politik dan kedigdayaan sekaligus kekalahan kekaisaran.

Itulah kenapa seorang sosok samurai, Fujiwara no Kiyohira, yang tinggal di Tohoku di wilayah timur laut Jepang mulai 1056 sampai 1128, benar-benar muncul sebagai sosok mengagumkan.

Walaupun kehilangan ayah, istri dan anaknya lantaran pengkhianatan, Fujiwara memutuskan untuk menghentikan siklus pertumpahan darah dan menggunakan kekayaannya yang melimpah demi perdamaian dan bukan untuk perang.

Membangun markas besar di desa Hiraizumi, dia mengabdikan sepuluh tahun masa akhir hidupnya untuk menciptakan surga Buddha di bumi, di mana jiwa para sahabat dan musuhnya, baik manusia dan hewan, dapat menemukan hiburan dan kehidupan lain nan harmonis. Di bawah pengawasannya, anak dan cucu laki-lakinya menambahkan lbanyak taman, biara dan pagoda, menyebarkan citra Hiraizumi ke seluruh Jepang, hingga ke Cina.

Sedihnya, inilah akhir cerita itu

Pada tahun 1189, hanya setelah 100 tahun pemerintahan yang penuh damai di bawah tiga generasi Fujiwara, utopia Buddhis diserang Minamoto no Yoritomo seorang pendekar perang yang berambisi menjadi shogun dan membangun kediktatoran militer di Kamakura, sebuah kota yang tidak jauh dari Tokyo sekarang.

Selama berabad-abad kemudian, pengabaian dan kebakaran menghancurkan bangunan kayu Hiraizumi yang megah. Namun demikian prestasi dinasti Fujiwara sangat berpengaruh dalam sejarah Jepang dan tidak pernah berkurang dalam imajinasi populer khalayak.

Aula Kencana yang disepuh emas, satu-satunya bangunan yang dapat bertahan sejak abad 12, dianggap salah-satu bangunan paling penting di Jepang, setara dengan apapun yang mungkin Anda temui di Kyoto.

Nyatanya, Hiraizumi mungkin merupakan desa yang paling penting di Jepang yang pernah Anda dengar.

Saya pertama kali mengunjungi Hiraizumi pada 2011, sekitar enam bulan setelah gempa bumi dan tsunami yang meluluhlantakkan desa-desa pesisir di wilayah itu, dan menewaskan 19,000 orang.

Tumpukan puing-puing besar berjejer di jalanan dalam perjalanan saya dari bandar udara Sendai, tetapi suasana di Hiraizumi yang tidak menderita kerusakan terasa penuh harapan.

Pariwisata di Tohoku mungkin telah anjlok, tetapi desa itu baru saja diakui sebagai situs Warisan Dunia oleh Unesco.

Kota sederhana yang rapi, bersih dan dihuni 8,000 orang, hanya memiliki segelintir tempat penginapan dan beberapa toko suvenir yang kurang menarik, tidak seperti tujuan favorit Jepang lainnya yang mengalami wabah hotel dan toko cendera mata.

Kota ini tidak begitu luas hingga Anda dapat berjalan, bersepeda atau menumpang bis turis yang berkeliling ke hampir semua tempat - tetapi Anda tidak akan menyerap visi Fujiwara tentang perdamaian dan kemurnian hanya dengan berkeliling secara buru-buru.

Untuk menyerap jejak-jejak tersisa yang berharga dari masa kejayaan Hiraizumi selama 900 tahun yang lalu, satu-satunya cara untuk menghargainya adalah dengan membayangkan bagaimana tempat ini pada jaman dulu dan membiarkan semangat itu melahirkan keajaiban.

Pemberhentian pertama saya adalah Pusat Pusaka Budaya , di mana saya mempelajari makna sejarah dan budaya Hiraizumi yang begitu luas sekaligus mempelajari tokoh yang berusaha menerapkan Tanah Murni Budha.

Kehidupan pribadi Fujiwara juga memukau, berawal dari usia 7 tahun ketika ayahnya dieksekusi dan ibunya dipaksa untuk menikahi keluarga pembunuh ayahnya.

Fujiwara tumbuh di antara musuh-musuh bebuyutannya, dan tahun-tahun berikutnya, setelah membunuh salah seorang saudara tirinya demi membalaskan dendam atas kematian istri dan anaknya, dia mengalihkan kesetiaan dari pasukan setempat ke pasukan kerajaan dan meningkat menjadi penguasa tertinggi atas wilayah terpencil yang luas dan kaya akan emas yang disebut Oshu, yang sekarang bernama Tohoku.

Tetapi karena tidak ada yang dapat mengurangi kesedihannya, Fujiwara memutuskan untuk menciptakan surga Buddha di bumi untuk menghibur jiwa-jiwa orang mati.

Prestasinya yang luar biasa segera terlihat di Kuil Chuson-ji, yang pernah menjadi tempat bagi lebih dari 40 aula dan pagoda yang dihuni 300 biarawan.

Saat ini para pengunjung dapat menjelajahi ruangan utama untuk pelayanan dan ritual; mengunjungi museum pusaka yang menyimpan lebih dari 3.000 pusaka nasional dan barang-barang kebudayaan penting, termasuk patung Buddha dan benda-benda milik pendekar perang Fujiwara yang terkubur; dan mengambil tempat di sebuah panggung yang langka, beratap jerami dan terbuka untuk pertunjukan tradisional Noh, yang ditampilkan setiap tahun selama festival musim semi dan musim gugur oleh para biarawan dan pendeta Chuson-ji.

Tetapi satu-satunya struktur yang tersisa dari peninggalan masa Fujiwara adalah Balairung Kencana yang memesona (Konjikido), yang selesai dibangun pada 1124.

Awalnya saya benar-benar terpaku ketika mengetahui ruangan itu tersembunyi di balik bangunan beton, yang benar-benar mengurangi daya tarik dan kecemerlangannya. Tetapi kemudian saya mengetahui bahwa Balairung Kencana sangat dihormati sehingga tempat itu benar-benar dilindungi dari berbagai elemen sejak 1288, ketika kelompok shogun Kamakura yang menggulingkan keluarga Fujiwara mendirikan tempat penampungan pertama di ruangan itu.

Dibuat dari kayu cendana merah dan dilapisi hampir seluruhnya oleh daun emas, Balairung Kencana mengabadikan Amida, Buddha utama di Tanah Murni, yang diapit oleh patung-patung para pembantu dan dengan relief-relief burung merak dan bunga-bunga yang menggambarkan surga.

Perak, gading, logam, serbuk mutiara dan pernis Jepang yang berkilau oleh bubuk emas menutupi altar dan empat kolom detil yang menipu, membuat Balairung Kencana sebagai keajaiban seni dan arsitektural pada masanya.

Pemberhentian saya berikutnya adalah Kuil Motsu-ji, dibangun oleh anak Fujiwara dan diselesaikan oleh cucunya. Tempat ini lebih besar ketimbang Chuson-ji pada masanya, dengan tempat tinggal bagi 500 biarawan; sebuah catatan saat diresmikan tempat ini tidak ada bandingnya di seluruh negeri.

Sayangnya, hanya fondasi batu yang tersisa sekarang, tetapi peta ilustrasi yang besar menggambarkan bagaimana tempat ini menampilkan kegaungannya bertahun-tahun silam.

Di sini, juga adalah tempat favorit saya di Hiraizumi, yaitu Taman Tanah Murni. Yang tampak jelas telah dirawat dengan baik, dan dianggap salah satu contoh taman paling indah dari abad ke 12.

Taman tersebut berada di tengah sebuah kolam besar yang dirancang untuk mewakili samudera, dengan teknik lanskap sederhana seperti tebing terjal, pegunungan, pantai yang melengkung dan pulau-pulau yang menyajikan keindahan visual.

Tampak sangat polos jika dibandingkan dengan lanskap taman-taman tradisional Jepang, inilah yang saya bayangkan sebagai surga Buddha yang menenangkan.

Seperti tempat-tempat paling bersejarah di Jepang, saya berharap dapat melihat Hiraizumi di masa kejayaannya. Penyair Haiku, Basho, yang mengunjungi Hiraizumi 500 tahun lalu sesudah kejatuhannya, pasti merasakan hal yang sama ketika dia menulis:

Rumput musim panas

Hanya itu yang tersisa

dari mimpi para prajurit masa lalu

Tetapi ini merupakan mimpi besar, dan yang mengejutkan, di dasar Balairung Kencana, terbaring tubuh-tubuh Fujiwara, anak dan cucunya yang telah dijadikan mumi, begitu juga potongan kepala dari cicitnya, yang dikirim kepada Kamakura oleh pendukung Minamoto sebagai bukti kematian Fujiwara

Jadi, sisa dan legenda mereka dipertahankan dalam satu-satunya struktur dari Taman Murni Buddha yang bertahan selama berabad-abad ini. Jika hal itu bukan karma, saya tidak tahu lagi apa.

Anda bisa juga membaca tulisan ini dalam bahasa Inggris berjudul A pure land inspired by treachery atau artikel lain di BBC Travel.

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search