Senin sore (10/7), kampung tempat saya tinggal terlihat sepi-tenang seperti biasa. Tidak banyak kendaraan yang lalu-lalang. Orang-orang yang seliweran berjalan kaki pun tak begitu banyak. Hanya sesekali. Maklum, kampung saya yang sedikit berada di pelosok Sumatera Selatan itu berjarak cukup jauh dari ingar-bingar kota. Jangankan dengan kota Palembang yang merupakan ibukota provinsi, dengan kota terdekat saja nyaris 60 kilometer jaraknya.
Di satu sisi, kondisi itu semacam rehat dan membuat saya lebih tenang, terlebih satu tahun ke belakang benar-benar penuh kesibukan yang melelahkan. Tapi di sisi lain, kondisi seperti itu membuat saya jenuh dan seperti terkurung. Saya benar-benar merasa jauh dari dunia. Saya tak bisa sering-sering menemui kawan lama yang sebagian besar berada di kota, tak bisa berkunjung ke toko buku, dan tentu saja tak bisa ke bioskop untuk menonton film Spider-Man terbaru. Sedikit hal yang bisa membuat saya lebih dekat dengan dunia adalah televisi, buku, dan internet. Pada titik tertentu, kadang-kadang kondisi seperti itu membuat saya ingin masa liburan ini cepat berakhir.
Kondisi berbeda dialami anak-anak di kampung saya. Jika saya kerap merasa jenuh, mereka justru selalu menampakkan senyum dan tawa. Di jalanan kecil beraspal yang jarang dilewati kendaraan, sebagian dari mereka bermain sepakbola – dengan kaki telanjang tentu saja. Suatu kali mereka terjatuh. Logikanya, terjatuh di jalan beraspal semestinya akan terasa sangat sakit dan akan membikin siapapun merintih yang kemudian diakhiri tangis, apalagi bagi anak-anak. Namun, anak-anak yang saya lihat itu lekas berdiri dan dengan tawa, kembali berlari mengejar bola bersama kawan-kawannya yang lain.
Saya pikir, anak-anak itu tetap merasakan sakit. Tapi bola yang berada di hadapan mereka seperti memaksa untuk tetap tersenyum dan lekas bangkit lalu berlari, sebagaimana saya sewaktu kecil dan sebagaimana Bradley Lowery yang terus memasang senyum sekalipun menderita neuroblastoma.
Bradley Lowery dan Perjuangan Melawan Kanker
Pada usia sekitar 5 tahun, Bradley Lowery mestinya punya banyak kesempatan bermain dan belajar bersama kawan-kawan seusianya. Dan sebagai penggemar sepakbola serta pendukung Sunderland, boleh jadi pula ia dan orangtuanya berharap agar suatu saat nanti, ia mendapat kesempatan mengenakan seragam putih merah Sunderland sebagai seorang pemain.

Namun, aktivitas bermain dan belajar sebagaimana anak-anak Inggris seusianya tak bisa Lowery dapatkan. Pun dengan harapan agar kelak menjadi pemain Sunderland, orangtuanya dan ia mungkin sama sekali tidak akan terpikir mengenai hal itu. Satu-satunya hal yang ketika itu mereka pikirkan adalah bagaimana mengalahkan neuroblastoma yang menyelinap di tubuh mungilnya.
Ya, kanker langka yang banyak menyerang anak-anak itu sudah berada dalam diri Lowery sejak usianya 18 bulan. Pasca didiagnosa menderita penyakit tersebut, kehidupan masa kecil Lowery mesti ditukar dengan perjuangan berat: bertahan hidup lantaran serangkaian operasi yang harus ia hadapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar