Selasa, 04 Juli 2017

Kisah Induk 7-Eleven, Saham Gocap Hingga Utang Triliunan

Jakarta - Belakangan ini nama PT Modern Internasional Tbk (MDRN) ramai diperbincangkan. Perusahaan ini jadi pusat perhatian lantaran sudah mengibarkan bendera putih tanda menyerah mengembangkan 7-Eleven (Sevel) di Indonesia.

Modern Internasional pada awalnya berdiri dengan bisnis fotografi, alat percetakan dan perdagangan pada umumnya. Bisnis perusahaan ini kala itu juga cukup apik.

Hingga akhirnya Modern Internasional melakukan pencatatan saham perdana di Bursa Efek Indonesia pada 1991. Emiten berkode MDRN ini melepas 4,5 juta lembar saham dengan harga penawaran Rp 6.800.

Kala iitu sahamnya cukup diminati. Bahkan pada November 1995 saham MDRN sempat menyentuh level Rp 13.700 per saham.

Namun perseroan juga beberapa kali melakukan aksi korporasi seperti penerbitan rights issue dan pemecahan nilai saham (stock split). Setidaknya MDRN telah melakukan 2 kali stock split yakni pafa 22 September 1997 dan 3 Juli 2012 dengan rasio 1:5. Kalau itu saham MDRN langsung berubah dari Rp 3.100an menjadi Rp 700an per saham.

Sejak saat itu saham MDRN cenderung bergerak sideway di kisaran Rp 600-800 per saham. Namun pada Agustus 2015 saham MDRN jatuh ke level Rp 180 dan terus bergerak di kisaran Rp 100an, seiring dengan melesunya bisnis andalan perseroan yakni Sevel.

Pada 2008 MDRN mulai menjajal peruntungannya di ranah bisnis baru, yakni convenience store. Kala itu perusahaan memboyong waralaba Sevel ke Indonesia. Akhirnya pada 2009 melalui entitas usahanya PT Modern Sevel Indonesia membuka gerai pertama Sevel di Bulungan, Jakarta dengan konsep 'Food Store Destination'.

Perseroan pun semakin serius mengembangkan sevel di Indonesia. Terlihat dari pembukaan cabang yang begitu masif di Jakarta, bahkan dalam beberapa tahun sudah ada ratusan gerai.

Namun bisnis Sevel mulai terguncang pada 2005, sejak keluarnya kebijakan pemerintah yang melarang penjualan minuman beralkohol di tempat-tempat tertentu. Padahal mayoritas penjualan Sevel didapat dari penjualan bir dan camilan ringan.

Peraturan pelarangan penjualan minuman beralkohol ditempat tertentu itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Alhasil pada 2015 gerai Sevel mulai berguguran. Perseroan dikabarkan menutup 25 toko di tahun itu dan kembali menutup 20 toko di 2016. Menurut catatan perseroan hingga September 2016 jumlah Sevel di Indonesia sebanyak 175 gerai.

Menurut Lembaga Pemeringkat Global Fitch Ratings, kejatuhan Sevel selain disebabkan kebijakan pemerintah tersebut, juga rancunya jenis bisnisnya. Sevel hadir sebagai minimarket namun sekaligus sebagai restoran cepat saji. Hal itu membuat Sevel bersaing di dua ranah sekaligus.

Perseroan pun akhirnya tak kuasa untuk menahan bisnis Sevel. Mereka memutuskan untuk menjual master franchise Sevel di Indonesia dari MSI ke PT Charoen Pokphand Restu Indonesia (CPRI). PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) selaku induk usaha dari CPRI sudah menyiapkan Rp 1 triliun untuk mengakuisisi seluruh gerai Sevel beserta asetnya.

Namun apa daya, perjanjian jual beli yang harusnya dilakukan pada 30 Juni 2017 akhirnya batal ketika dalam proses perundingan. Alasannya karena beberapa pihak tidak mencapai kesepakatan.

Lantaran batalnya akuisisi tersebut, kini MDRN mengumumkan akan menutup seluruh gerai Sevel. Terhitung per tanggal 30 Juni 2017 seluruh gerai Sevel di bawah manajemen MSI akan berhenti beroperasi. Sejak saat ini saham MSI pun akhirnya tidur di level terendah Rp 50 alias gocap.

Menghitung Utang Induk Sevel

Entah karena Sevel atau lini bisnis lainnya, kinerja Modern Internasional belakangan ini semakin memburuk. Hingga kuartal I-2017 perseroan mengalami kerugian hingga Rp 447,9 miliar.

Melansir dari laporan keuangan konsolidasian perseroan, kerugian perseroan tersebut berbanding terbalik dengan kondisi perseroan di kuartal I 2016 yang masih mampu membukukan laba sebesar Rp 21,3 miliar.

Rapor merah perseroan sepertinya juga dibebani dengan meningkatnya pos liabilitas atau utang. Tercatat total liabilitas MDRN meningkat dari Rp 1,34 triliun di kuartal I-2016 menjadi Rp 1,38 triliun di kuartal I-2017.

Peningkatan total liabilitas terbesar terjadi di liabilitas jangka pendek yang naik dari Rp 1,03 triliun menjadi Rp 1,07 triliun. Sementara total liabilitas jangka panjang masih tetap sebesar Rp 305,01 miliar.

Total aset perseroan juga turun 20,84% dari Rp 1,98 triliun menjadi Rp 1,57 triliun. Di mana terdiri dari total aset lancar sebesar Rp 335,6 miliar dan total aset tidak lancar sebesar Rp 1,23 triliun.

Tidak hanya itu, tanah dan bangunan perseroan sebesar Rp 864,39 miliar digunakan sebagai jaminan atas pinujaman bank berjangka pendek dan panjang dari Standard Chartered Bank Singapore, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Permata Tbk dan PT BNI Tbk.

Selain itu berdasarkan akta fidusia, mesin dan peralatan sebesar Rp 580,6 miliar digunakan sebagai jaminan atas pinjaman bank jangka pendek dan panjang dari deretan bank yang sama. (ang/ang)

Let's block ads! (Why?)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Incoming Search