Bagi warga Jakarta, mungkin nama Usmar Ismail ini terdengar tidak asing. Nama ini digunakan sebagai nama sebuah gedung di Jalan H.R Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan (Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail). Namun pernahkah kamu bertanya - tanya siapakah orang di balik nama gedung ini? Apa saja karyanya dan bagaimana kisah hidupnya? Dia adalah Usmar Ismail, salah satu perintis perfilman di Indonesia.
1. Bermula dari Sekolah Belanda hingga beasiswa ke Amerika
Usmar lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, 20 Maret 1921. Usmar terlahir sebagai anak yang cukup cerdas. Dia bersekolah di HIS, MULO B, AMS-A II. Hingga akhirnya mendapatkan beasiswa untuk belajar film di Amerika. Dia menjadi sarjana muda di UCLA hingga 1953.
2. Umar mendirikan perkumpulan "Maya" yang awalnya dianggap rendahan
Pada masa penjajahan Jepang, Usmar Ismail diangkat menjadi wakil kepala bagian Drama di Pusat Kebudayaan. Dari situ dia mulai melakukan perubahan terhadap seni drama dan sandiwara di Indonesia. Dia mendirikan sebuah perkumpulan bernama Maya. Perkumpulan inilah yang mendorong perubahan seni sandiwara di Indonesia karena pada saat itu masyarakat tidak terlalu menghargai seni sandiwara dan hanya menganggap seni sandiwara ini untuk kalangan rendah saja (seperti budak, bawahan, dll).
3. Usmar yang tetap bekarya walau dalam tekanan
Usmar Ismail adalah produser film yang aktif. Bahkan, pada masa penjajahan ketika ia ditangkap oleh penjajah, dia memproduksi dua film pertamanya yang berjudul Harta Karun dan Tjitra bersama dengan Andjar Asmara. Namun, kedua karyanya ini dianggapnya kurang berhasil karena kondisi pembuatan film yang tidak mendukung.
4. Punya banyak karya dan peraih Piala Citra
Selama hidupnya, Usmar Ismail menghasilkan berbagai karya-karya film, antara lain, Darah dan Do'a (1950), Enam Djam di Yogya (1951), Kafedo (1953), Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), dan Tamu Agung (1955). Melalui filmnya yang berjudul Darah dan Doa Usmar Ismail berhasil mencatatkan namanya sebagai pelopor perfilman tanah air. Dan pada tanggal 30 Maret 1950 (Hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa) dijadikan sebagai Hari Film Nasional. Selain itu, Filmnya yang berjudul Lewat Djam Malam dan Tamu Agung berhasil mendapatkan Piala Citra untuk kategori film komedi terbaik.
5. Punya pendirian yang kuat soal kualitas
Usmar Ismail selalu memegang prinsip mempertahankan kualitas dalam berkarya, seperti film Tamu Agung yang mendapat penghargaan sebagai film komedi terbaik dari FFA. Tetapi pemasaran karya - karyanya tidak berjalan sukses. Karena karyanya mengandung banyak sekali sindirian-sindirian politik yang ditentang oleh kaum elit. Sikap dan pandangan Usmar Ismail seperti inilah yang dianggap membawa PERFINI (Organisasinya setelah MAYA) pada kebangkrutan. Sehingga, pada tahun 1957 kompleks studio filmnya diambil alih bank.
6. Pejuang sekaligus seniman
Semasa hidupnya, Usmar Ismail tidak hanya berkreasi dalam industri perfilman saja. Tetapi dia juga pernah membantu Indonesia dalam peperangan melawan penjajah. Tercatat bahwa pada masa revolusi, Usmar Ismail menjadi tentara dengan pangkat mayor, berdomisili di pusat pemerintahan RI, Yogyakarta. Dari situlah dia menemukan ide-ide untuk karyanya sembari membantu Tanah Airnya berperang melawan penjajah.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah. Usmar Ismail adalah seorang seniman yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia dan demi karya-karyanya. Dia selalu berusaha keras untuk mempertahankan kualitas karyanya walaupun perusahaannya harus bangkrut saat itu. Dia punya jiwa patriotisme terhadap bangsa Indonesia dan mencoba menyadarkan rakyat-rakyat yang lain mealui filmnya Darah dan Doa.
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar