
Pada 1982, Hari Darmawan yang dikenal sebagai Raja Ritel Indonesia membeli sebidang tanah di kawasan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Ia membiarkan lahan seluas 15 hektare tetap digarap warga pemilik semula. Sebab dalam benak pendiri Matahari Departemen Store itu, dirinya cuma butuh seper sekian lahan untuk tempatnya beristirahat.
Dari interaksi dengan warga sekitar setiap akhir pekan di saat dirinya tetirah ke kawasan itu, Hari menemukan satu hal yang selalu mengganggu pikirannya. Penduduk di kawasan Megamendung, tempat tinggalnya, rata-rata menggantungkan hidup dari pertanian. Taraf ekonomi penduduk sangat rendah. Bahkan, banyak perempuan muda yang terpaksa menikah di usia dini.
Karena itu ia secara berkala memberi bantuan pada para penduduk. Ikan, bukan pancing. Penduduk di Megamendung tak pernah membeli buku dan tas sekolah karena seberapa pun banyaknya anak sekolah di kampung itu, semua akan dipenuhi kebutuhan alat tulisnya oleh Hari Darmawan. Ia juga selalu berderma di setiap hari raya. Berupa uang atau pun berupa material yang dibutuhkan penduduk.
"Tapi kemudian Pak Hari sadar betul, bantuan berupa ikan tak akan banyak mengubah nasib warga. Dia harus memberikan kail atau pancing," kata Kristin Samah yang bersama Sigit Triyono menulis buku 'Filosofi Bisnis Matahari' kepada detiktravel, Selasa (13/3/2018).
Setelah 25 tahun menjadi tetangga penduduk di Megamendung, Hari Darmawan berniat menjawab keresahan hatinya. Ia mulai merancang suatu bisnis. Usaha yang didedikasikan untuk para penduduk di Megamendung. Dibantu Haji Udin Saefudin (Pak Dedi), kontraktor lokal yang pernah diminta membangun villa tempat istirahatnya, Hari mulai merancang sebuah taman wisata pada 2007.
Konsep usaha yang dinama Taman Wisata Megamendung (TWM) memadukan rekreasi dan taman pendidikan untuk segmen menengah ke bawah. Para pengunjung bukan sekadar menikmati pemandangan alam, namun juga ada wahana-wahana edukasinya terutama untuk anak-anak.
Dengan adanya wisata alam, air, taman bermain anak, flying fox, villa, penginapan dan kolam renang, lengkaplah fasilitas berekreasi dan beredukasi di Megamendung. Dalam perjalanannya, TWM kemudian berganti nama menjadi Taman Wisata Matahari.
"Hampir semua pegawai termasuk para para pedagang kecil adalah warga sekitar Megamendung yang jumlahnya ribuang orang. Mereka dididik dan dilatih sesuai konsep dan filosofi Matahari," kata Kristin.
Meski memprioritaskan warga sekitar Megamendung, tapi Hari tetap sangat memperhatikan usia kerja. Mereka yang masih di bawah umur diminta Hari untuk bersekolah. Ia mendorong mereka dengan memberi bantuan alat tulis, bahkan beasiswa bagi mereka. Setelah selesai pendidikan, barulah mereka diterima di TWM.
Karena TWM sejak semula dirancang untuk membantu warga sekitar, Hari Darmawan benar-benar mengesampingkan perhitungan bisnis. Jika menilik modal yang dikeluarkan untuk membangun TWM, idealnya tarif masuk yang seharusnya ditetapkan minimal Rp 200 ribu. Tapi Hari tak mau mengejar keuntungan semata.
"Saya enggak tega. Tarif masuk agar terjangkau masyarakat kebanyakan saya tetapkan Rp 35 ribu," ujarnya.
Bila sebelum ada TWM, banyak orang yang datang sekedar untuk melihat-lihat pemandangan alam setiap sabtu dan minggu, kini yang berkunjung dari senin sampai minggu terus mengalir. Menurut Hari Darmawan dalam buku 'Filosofi Bisnis Matahari', TWM dikunjungi lebih dari 300 ribu orang setiap bulannya.
Bahkan 100-an siswa Victoria Junior College (Singapura) pernah datang ke TWM. Menurut Law Kum Seng, Trainer dan Pendiri Life Smith yang membawa rombongan siswa tersebut, mereka memilih TWM karena memiliki konsep rekreasi alam yang bagus.
"Di Singapura tidak ada wahana yang bisa mengenalkan alam seperti TWM," ujarnya. (jat/fay)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar